HAPPY READING
***
Satu jam kemudian, akhirnya Vero tiba di Gunung Pancar. Vero keluar dari mobil, sementara pak Irwan menunggu di dalam mobil. Ia menatap banyak sekali mobil terparkir di sana. Sepanjang jalan menuju lokasi, dikasih penerangan dan para security dan polisi, berjaga di setiap titik. Ia menatap foto-foto praweding terjejer rapi di sepanjang jalan menuju lokasi.
Vero melangkah menuju tangga, ia menatap ada beberapa tamu undangan yang hadir. Para tamu undangan tersebut mengenakan pakaian putih. Malam yang gelap seperti ini, minim penerangan di sulap menjadi terang benderang, pencahayaanya sangat baik. Ia yakin sang pemilik acara pasti deg-deg kan mengingat bahwa Bogor adalah kota hujan, acara di mulai dari jam enam sore hingga malam hari.
Vero mendengar suara music jazz dari arah venue. Ia melihat jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 19.20 menit, ia tahu bahwa acara sudah di langsungkan. Ia mendengar MC sudah memasuki acara inti.
Beberapa menit kemudian, Vero menghentikan langkahnya, ia menatap security berjaga di dekat pintu masuk. Ia memandang beberapa penjaga wanita yang berjaga buku tamu.
“Maaf, RSVP nya bisa di tunjukan? Tanpa RSVP tidak boleh masuk.”
Vero mengerutkan dahi, ia bergeming di depan. Masalahnya tadi mas Andre tidak memberinya kartu RSVP. Oh God, kenapa ia tidak kepikran dengan RSVP. Karena mas Andre buru-buru, hingga lupa memberikan kartu RSVP dan ia bersiap di tertawakan karena tidak bisa masuk, apa lagi ia melihat semua tamu undangan yang baru masuk, mengenakan dresscode putih.
“Dresscode nya putih ya pak?” Tanya Vero.
“Iya bu, putih.”
“Mampus!” Ucap Vero dalam hati, ia salah dress code, ia juga tidak ada kartu RSVP.
“Bisa ditunjukan kartu RSVP nya?” Ucap security itu lagi.
“Bentar ya pak, saya telfon saudara saya dulu. Soalnya yang nikah itu sahabatnya saudara saya.”
“Maaf, bu. Tetap sesuai peraturan, tidak ada RSVP tidak bisa masuk.”
Rasanya ingin menangis saat ini juga. Jauh-jauh pergi ke Gunung Pancar, sudah tiba di tempat malah langsung pulang. Harusnya ia tidak usah datang saja kalau begini, soalnya buang-buang waktu dan tenaga.
Vero merogoh handbag nya, ia di sini ingin menghubungi mas Andre, mengatakan bahwa ia tidak bisa masuk tanpa RSVP. Ia menunggu sang pemilik ponsel mengangkat panggilannya, ia masih berdiri di depan pintu masuk, dengan wajah cemas sekaligus malu, karena dresscode berbeda.
“Haduh, mas Andre angkat dong,” ucap Vero dgelisah. Vero dengan wajah cemas, masih berusaha menghubungi mas Andre, namun mas Andre tidak kunjung mengangkat panggilannya. Vero mulai frustasi, jika sekali lagi mas Andre tidak mengangkat panggilannya, ia akan pulang.
Dari tadi seseorang memperhatikan wanita mengenakan silk dress berwarna hitam dengan potongan d**a rendah. Rambut wanita berwarna coklat terang terurai dengan anting-anting bulat besar berwarna silver menambah kesan manis, dan bibir penuhnya berwarna nude. Dia sangat cantik dan sexy, seperti wanita masa kini pada umumnya.
Namun, wanita itu salah dress code, semua tamu undangan harusnya mengenakan dress code putih, bukan hitam. Rasa penasarannya cukup kuat dan menggelitik hatinya, siapa wanita itu?
“Dia tamu saya,” ucap seorang pria dengan suara bass-nya.
Otomatis Vero lalu menatap ke arah sumber suara, ia menatap seorang pria mengenakan kemeja putih yang ditumpuk dengan jas hitam. Aroma parfume perpaduan antara smoky, woody dan earthy, tercium di hidungnya. Pria itu mendekat dan merangkul bahunya dengan satu tangan.
Vero masih shock, belum sempat ia bertanya, siapa pria itu, kini pria itu membawnaya ke depan buku tamu. Lalu tatapannya fokus kepada pria itu, pria itu memandangnya balik. Jantungnya tiba-tiba berdesir tidak karuan.
Pria itu memegang pulpen, “Nama kamu siapa?” Tanyanya tenang.
“Veronica,” ucap Vera pelan.
Tiba-tiba Vero tercekat dan mulai berpikir, menatap pria itu mencari nama Veronica di daftar buku tamu.
“Tidak ada nama Veronica di sini,” ucapnya lagi.
“Eh bukan, Veronica itu nama saya. Saya di sini gantiin mas Andre. Nama lengkapnya Andre Mallory.”
Vero menatap buku tamu secara bersamaan, dan pria itu menemukan nama Andre tertera paling atas, dan dia mulai menandatanginya.
“Kenapa pria itu menolongnya?” Gumam Vero dalam hati, ia masih memperhatikan pria itu dan mereka masuk ke dalam.
***
Belum sempat ia bertanya apapun, siapa pria itu. Ia ingin tahu kenapa menolongnya. Ia melihat semua para tamu undangan sudah duduk di table kosong. Vero memperhatikan sepasang pengantin, yang sedang melakukan frist dance dan wedding kiss. Si wanita terlihat malu-malu dan si pria tampak bersemangat melakukannya di depan banyak orang.
Vero tahu konsep pesta ini adalah wedding forest, di lakukan pada hutan pinus, kemeriahan terlihat di sini. Pesta ini terlihat sangat intim di mana hanya mengundang keluarga dan sahabat dekat saja. Ia melihat ke arah panggung, panggung hiburan itu diisi salah satu artis ternama di Indonesia.
Sejujurnya ia suka dengan konsep pesta seperti ini, terkesan simple dan sangat elegance. Di banding dengan megah dan mewah di ballroom hotel. Namun sesuai dengan konsep dan selera masing-masing. Untuk dirinya yang sudah lama di luar negri, ia lebih suka pernikahan seperti ini. Ia menatap pengantin wanita, dia sungguh sangat cantik, wedding dress nya juga sangat simple, namun itulah kelebihannya. Dia tahu bahwa jika mengenakan pakaian simple sekalipun, pembawaanya tetap elegan dan terlihat mahal.
Kafka mengedarkan pandangannya, mencari kursi kosong, ia menatap ke arah sebelah kiri, melihat dua kursi kosong masih tersisa.
“Duduk di sana,” tunjuknya.
Vero mengikuti langkah pria itu, menuju kursi kosong, ada beberapa orang tamu menatapnya dengan aneh, karena dialah satu-satunya wanita yang salah kostum. Namun ia tetap berusaha tenang, dan duduk di kursi kosong, dan di temani pria itu.
“Makasih ya, by the way, kamu siapa?” Tanya Vero.
Pria itu mengulurkan tangannya, “Saya Kafka Carrigan. Panggil saja Kafka, saya adik dari pengantin pria.”
“Owh, jadi tuan rumah?”
“Iya.”
Vero menyambut uluran tangan pria itu, “Saya Veronica, panggil saja Vero. Senang berkenalan dengan anda.”
Kafka merasakan tangan halus di telapak tangannya. Ia menggenggamnya, sedetik kemudia genggaman tangan itu. Kafka menyungging senyum, ia memperhatikan struktur wajah wanita bernama Vero, dia memilik wajah berbentuk V, hidung mancung dan bibir sangat sempur. Ia tahu, wajah sempurna itu ada suntikan filler dan botox, sehingga membuatnya lebih menarik.
“Jadi kamu ke sini menggantikan saudara kamu?” Tanya Kafka, membuka topik pembicaraan, karena ia juga kurang fokus dengan pengantin di depan, fokusnya kini pada wanita bernama Vero.
“Iya, tadi mas Andre buru-buru pergi ke Sulawesi, katanya ada kerjaan yang harus diselesaikan.”
Kafka mengangguk paham, “Saudara kamu kerja apa?” Tanya Kafka lagi.
“Kamu tahu CSM Group?”
“Apa itu?” Karena ia selama ini terlalu fokus dengan bidang medisnya, hingga melupaka hal lainnya.
“Itu perusahaan keluarga saya. Orang tua saya punya perusahaan nikel, tambangnya ada ada di Sulawesi.”
“I see,” Kafka tahu kalau yang hadir di sini adalah orang-orang berpengaruh di negri ini.
“Dan kamu sekarang kerja di mana?”
Vero menyungging senyum, “Rencananya masih mau rintis sih.”
“Rintis apa?”
“Cookies kali ya, es krim atau rendang. Tapi nggak tau sih, masih bingung juga mau ngelakuin apa. Nanti deh tanya papa, mana baiknya,” Vero terkekeh.
Alis Kafka terangkat, “Jadi kamu nggak tau arah kamu mau ke mana?”
“Enggak, tapi saya salah satu investor starup yang lagi berkembang saat ini.”
“Starup apa?” Tanya Kafka penasaran.
“Dailyfood, sama Hangry, semua sedang berjalan dengan baik dan sudah tersebar di Jadetabek, Medan, Bandung dan Surabaya. Sejauh ini oke, masih lancar.”
“Dulu awalnya, seperti apa?”
“Sebenernya starup itu nawarin papa buat jadi investor. Soalnya ini dunia baru buat papa, kita itu fokusnya memang tambang Nikel. Tapi papa inget lagi, bahwa saya kuliah di Ecole Ducasse di Prancis spesialis Patisserie.”
“Jadi, papa sudah terjun langsung, lihat secara detail jenis bisnisnya, perkembangannya seperti apa, evaluasi sama founder dan tim, bagaimana perputaran modal. Akhirnya papa setuju, dan pakai nama saya, bukan papa.”
“I see.”
“Jadi kamu memang minat di Patisserie?”
“Enggak terlalu sih sebenernya. Saya kuliah kuliner karena menurut saya kuliah itu yang paling mudah. Saya nggak terlalu suka belajar, bahkan sangat payah dalam menghitung dan menghafal.”
Kafka menahan tawa, kuliah Patisserie hanya untuk menghindari hitung menghitung dan menghafal. Ia baru tahu bahwa ada seorang wanita memilih kuliah hanya alasannya ini
“Bagaimana dengan kamu?” Tanya Vero.
***