4. Awal Kisah

1207 Words
Bab 4   Tawa Ika berlangsung lama, ia sampai terpinggal dalam duduknya di jam istirahat siang itu. Zizah kawan baiknya sedang bercerita bagaimana anak lain hobi menggoda dirinya, khususnya perlakuan itu datang dari anak laki-laki. Apa karena masa puber, Zizah merasa teman laki-lakinya suka bermain fisik mulai dari pegang pundak, tarik rambut atau colak-colek sembarangan. Tapi yang diterawakan Ika bukan tentang itu, melainkan julukan nama yang didapat Zizah. “Udah bagus-bagus nama lo Zizah, kenapa mau aja lo dipanggil Acing?” Tanya Ika tak habis pikir. Saking puasnya ia tertawa sampai harus menghapus air diujung mata. Zizah menekuk wajahnya. “Kesannya nama asli gue terlalu alim, lo tahu sendiri gue gimana...” Wajah Ika mendekat, bibirnya mencibir. “Emang gimana? Kayak ayam sekolah maksud lo! Hah, sadar diri nih?” Canda Ika. “Hush!” Zizah memukul lemah bibir Ika. “Maksud gue ‘kan mulut ini terlalu agresif dari pada alim.” Zizah terlalu senang membicarakan orang lain alias gibah. “Jadi? Udah pastikah? Lo yakin seratus persen?” Ika dengan cepat berganti topik pembicaraan. Saat jam istirahat mereka tidak perlu merasa cemas seseorang mendengar pembicaran, karena sebagian besar anak pasti meninggalkan ruang kelas untuk ganti suasana. “Iya, yakin!! Gue liat sendiri kok Salman ada di sana. Dia bareng temen-temennya daftar ekskul paskibra.” Karena Zizah sendiri juga mendaftar ke ekskul yang sama. “Yahh...” Ika kecewa berat. Pupus harapannya untuk bisa satu ekskul dengan sang pujaan hati. “Kalo memang segitu pengennya bareng, kenapa gak ikut paskibra juga aja.” Bagi Zizah perkaranya simpel. Jari telunjuk Ika mengacung tegak di depan wajah Zizah. “Gak bisa gitu! Sorry, gue juga punya mimpi dan rencana. Jauh sebelum kenal Salman, gue udah lama pengen jadi PMR.” Rupanya nalar Ika masih berfungsi dengan normal, Zizah pikir Ika sudah tahap tergila-gila dan cinta buta pada Salman. “Terus rencana lo selanjutnya apa?” Tidak seharusnya Zizah bertanya, karena setelahnya ia amat menyesali itu namun terlambat. Ika menopang dagu dengan tangannya di pemukaan meja. “Ya apa lagi kalau bukan mengutus spy.” “Spy? Mata-mata?” Zizah tidak paham. Ika mengangguk tersenyum aneh, saat itu Zizah merasakan sesuatu mulai berjalan dengan salah. Zizah menunjuk dirinya sendiri, Ika mengangguk. “Lo mau gue jadi spy buat awasin Salman?” “Yups!” Ika terdengar ceria. “Kebetulan gue belom punya mata-mata di kegiatan ekskul.” Dengan kata lain, jika di tempat lain seperti kelas dan OSIS Ika sudah meminta orang lain melakukan tugas spy untuknya. “Hah? Serius?” Pekerjaan apa pula spy itu, seumur hidup Zizah pasti baru kali ini mendapat misi rahasia untuk mengawasi seseorang. Lalu kini seseorang itu adalah gebetan teman baiknya, ya ampun. Zizah harap saat tiba masa di mana ia menyukai seseorang nanti tidak berakhir jadi aneh seperti Ika. Ya setidaknya Zizah bisa berkaca dan mengambil pelajaran tentang hal ini. *** Deby Anggara di sela waktu istirahat siang, bermeditasi di sudut kelas. Ami pergi keluar bersama teman lain untuk mengunjungi kantin sekolah. Deby bukannya tidak lapar, ia sudah berpesan beberapa cemilan pada Ami untuk minta tolong dibelikan. Sementara dirinya fokus membaca manga. Bukan apa-apa, permasalahannya itu kantin sekolah kalau jam istirahat pasti diserbu siswa dengan antrian mengular. Selain itu juga berada dikerumunan ramai paling Deby hindari. “Oh, baca manga itu juga ya? Gue punya series lengkapnya di rumah.” Mendengar kata ‘manga’ dan ‘punya’ mengalihkan perhatian Deby dari lembaran kertas di hadapannya. Sarah rekan satu kelas Deby, yang belum lama ini ia hafal namanya menyapa dengan sikap sangat ramah hingga enggan untuk Deby acuhkan, atau mungkin bisa merasa bersalah. “Punya?” Pikir Deby dalam benak. Jelas teman satu ini berada di level berbeda dengannya. Entah keluarganya sangat kaya atau orang tuanya teramat baik. Dan bisa juga kedua alasan itu benar. Deby selama ini hanya bisa sewa manga karena alasan satu, uang jajannya tak semelimpah itu hingga bisa membeli. Ia harus rajin menyisihkan uang jajan bila ingin memiliki manga. Dua, mama di rumah akan sangat murka bila tahu Deby menggunakan uang jajan untuk membeli manga. Pernah kejadian di rumah, mama hampir membakar koleksi manga-nya. Saat itu Deby menangis seperti bocah kecil memohon agar harta karunnya tidak dibumi hanguskan. “Lo baca manga juga?” Tanya Deby penasaran. “Oh, gak juga. Tapi kalau manga judul ini, iya gue baca.” “Serius punya di rumah jilid lain?” Deby amat penasaran, diam-diam berharap. “Iya, Scramble-d ‘kan? Lo mau gue pinjemin?” Saat itu di mata Deby sosok Sarah bagai malaikat tanpa sayap. Dengan kuat Deby mengangguk semangat. Sarah tersenyum menganggap tingkah Deby lucu, ia pikir selama ini hanya anak aneh yang pendiam dan sulit didekati. “Oke, gue bawa besok.” Janji Sarah. Benar juga, kenapa tidak pernah terpikir sebelumnya ide itu dibenak Deby. Jika punya teman yang memiliki hobi dan minat sama akan lebih mudah baginya. Mereka bisa saling bertukar buku bacaan, saling pinjam tanpa mengeluarkan uang jajan. Ah tapi, bagaimana Deby bisa menemukan teman semacam itu jika ketertarikannya pada orang lain dan sekitarnya zero. Contohnya waktu istirahat siang tidak Deby manfaatkan mengakrabkan diri dengan teman-teman. Saat ini Deby masih nyaman berada di dunianya sendiri, menjadi katak dalam tempurung. “De ini pesenanmu.” Hantaran makan siang Deby sudah tiba. “Oh, hai Sarah...” Sapa Ami yang baru kembali dari kantin. Tumben melihat kombinasi Sarah dan Deby, juga sedikit merasa senang menemukan Deby sedang bersama orang lain selain dirinya. “Hai, by the way kalian ikut ekskul apa?” Tanya Sarah. Sudah lama ia ingin menanyakan hal itu tapi selalu lupa. “Kita berdua masuk paskibra, kamu?” Ami yang menjawab. Deby sibuk mengisi perut dengan cemilan dari kantin. Tidak banyak waktu tersisa sampai istirahat siang berakhir. “PMR. Sabtu nanti kita pergi bareng ya...” Ajak Sarah. “Oh boleh banget, makin seru kalau pergi rame-rame.” Ami merasa senang bisa bertambah teman. Tapi Deby terlihat tidak begitu memperdulikan hal itu. Deby sibuk melakukan dua pekerjaan sekaligus, menjejalkan makanan ke mulut dan bola mata bergerak lincah membaca dialog dalam buku manga. Sudah terhisap kembali jiwanya dalam dunia fantasi. Sarah pergi kembali ke kursinya bersiap mengikuti pelajaran berikutnya. Deby dengan lahap meludeskan makanan yang Ami bawakan dari kantin. Somay, roti, teh kotak dan gorengan cimol― tren jajan ringan yang sedang hit. “De makannya jangan cepet-cepet nanti keselek loh!” Kata Ami cemas. Untungnya dia juga membelikan Deby minuman selain makanan. Hanya satu alasan Deby makan dengan cara kurang beradab itu. “Gak ada waktu, nanti keburu bel masuk.” “Hhah...” Ami geleng kepala. “Tapi tugas buat mata pelajaran berikutnya udah kamu kerjain? Harus dikumpulin loh itu.” “AH!” Deby terperanjat. Wajahnya langsung tegang dan pucat, kemudian panik. Dan benar saja, Deby lupa belum mengerjakan tugasnya. Padahal ia sudah sengaja bilang ke Ami agar bisa menyalin tugas. Semua gara-gara cerita manga yang sedang dibacanya masuk ke bagian k*****s cerita hingga Deby geregetan dengan kelanjutan cerita itu. Kalau sudah begini, hanya satu cara Deby mengatasi kesempitan dalam memanfaatkan kesempatan. Kerjakan sekarang juga dan terus mengerjakan tugas sembunyi-sembunyi meski guru sudah masuk ke kelas dan mulai mengajar sekali pun. Kalau tanpa Ami, entah bagaimana nasib Deby dalam kehidupan sekolahnya. ***bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD