Bab 7
Pagi hari saat Ami baru saja tiba di kelas, Deby sudah duduk manis di bangkunya. Sesaat ekpresi wajah Ami terlihat tegang mendapati keberadaan Deby pagi itu. Perlahan ia berjalan ke tempat duduk, suasana hati Ami pagi itu berkabut rasa gelisah.
“Pagi...” Sapa Ami pada Deby.
“Pagi juga.”
Ami meletakkan tas di atas meja, duduk di bangku seraya melihat sekilas ke arah Deby yang seperti biasa bergulat dengan bacaan manga-nya. “De, mau main ke rumahku gak pulang sekolah nanti?” Ajak Ami.
“Rumah lo? Boleh!” Tanpa pikir panjang Deby menerima ajakan Ami.
“Emm...” Malu-malu Ami berkata, “Tapi sedikit jauh De, gimana?”
Deby mengangkat wajahnya menatap wajah gugup Ami. Dengan seulas senyuman Deby bicara, “Iya gak masalah, gue juga mau tahu rumah lo.”
“Oke... Juga ada yang mau aku omongin.” Ami berubah murung saat bicara. Tapi Deby tidak cukup perhatian untuk menangkap gelagat Ami itu.
“Apa?”
“Eng... Nanti aja deh pulang sekolah.” Ami memaksakan senyuman menutupi suasana hatinya.
Bel penanda dimulainya jam pelajaran mengakhiri pembicaraan itu. Ami tampak berbeda tidak seperti biasa, seharian ia tidak bisa fokus pada apa pun. Pikirannya dibebani hal yang ingin ia kabarkan pada Deby namun terasa sulit dan berat untuk membicarakannya. Sampai Ami sama sekali tidak memperhatikan apa yang guru sampaikan pada jam pelajaran. Begitu juga apa yang Deby sampaikan tentang kegiatan ekskul minggu lalu.
“Persami?” Tanya Ami.
Dengan sabar Deby kembali menjelaskan. “Iya, tadi ‘kan udah gue jelasin. Ekskul dan pihak sekolah bakal adain persami.” Ami pun merasa heran sendiri mengapa ia bisa melewatkan infomasi itu tepat di depan matanya. Jelas sesuatu yang membebani pikirannnya telah mengambil alih konsentrasinya hari ini.
“Kita harus ikut, oke?”
Ami tegang bercampur gelisah. Tidak bisa memberi jawaban pasti pada Deby. Sebaliknya ia malah bertanya dengan tegas. “Kapan?”
“Itu... Ah, tunggu.” Deby lupa menyerahkan formulir persetujuan yang sudah disimpannya untuk Ami. Formulir itu Deby simpan dalam tas sekolahnya. “Ini, lo bisa baca sendiri.”
Ami menerima lembaran kertas yang Deby sodorkan, langsung membacanya secara seksama. “Terus apa lagi?”
“Hmm... Saat kegiatan ekskul nanti baru dijelasin lebih detail.” Ya, Deby ingat begitu yang disampaikan kakak senior kemarin.
“Aku―aku belum tau bisa ikut atau gak.” Ami kembali gugup dan tampak gelisah.
“Kenapa?”
Ami berpikir keras sebelum menjawab, “Itu... Harus ijin orang tua dulu ‘kan.” Lagi wajah senyuman kaku yang muncul.
“Oh benar juga.” Apa yang Ami katakan memang logis tapi Deby menangkap kejanggalan pada sikap Ami kali ini. “Lo kenapa sih seharian ini kok gak kaya biasa? Ada masalah?”
“G-gak! Enggak apa-apa...” Meski Ami tersenyum, Deby dapat melihat itu adalah senyuman yang dipaksakan. Tapi Deby tidak bisa mendesak setelah Ami berkata seperti itu.
***
Baru pertama kali Deby pergi sejauh ini, dan itu pun benar-benar jauh melebihi perkiraan Deby. Alamat rumah Ami berada jauh dari pusat kota tempat biasa Deby tinggal. Untuk sampai ke sana mereka harus berganti angkutan umum sebanyak tiga kali. Dua trayek angkutan yang ditumpangi mereka turun hingga pemberentian terakhir, lalu di sanalah Ami tinggal.
Deby sampai meresa lelah dalam perjalanan, ia sempat merasa kantuk disebabkan bosan berada di dalam mobil terlalu lama.
“Jauh banget ya De rumah aku...” Ami merasa bersalah.
“Haha...” Deby hanya dapat tertawa canggung tidak kuasa menyanggah apa yang benar-benar ia rasakan.
“Sebentar lagi kita sampai kok! Aku udah kabarin Ibu di rumah kalau aku pulang ajak teman jadi minta siapin camilan, kamu pasti lapar.”
“Ooh makasih...” Mendengar kata camilan semangat Deby kembali terisi.
Angkutan umum yang mereka tumpangi berhenti di pemberhentian akhir, hanya tersisa mereka berdua di dalam mobil selain sang sopir yang duduk di belakang setir.
“Ayo De, tinggal sedikit lagi sampai.” Ami mengajak Deby turun dan berjalan sedikit untuk mencapai rumahnya.
Sejak awal perjalanan Deby tidak bisa memprotes betapa jauhnya jarak yang perlu ia tempuh untuk mencapai rumah Ami, demi menjaga perasaan temannya Deby menahan untuk mengeluh. Satu hal yang terpikirkan dalam benak yang membuatnya bertanya.
“Lo setiap hari pulang-pergi sekolah harus mengulang jarak ini Ami?” Deby tidak pernah mengira bahwa temannya adalah seorang pejuang.
Ya, jelas ini adalah perjuangan setidaknya itu yang Deby rasakan. Ia yang hidup di tengah kota, hanya membutuhkan waktu 15 menit berkendara ke sekolah masih merasa kepayahan untuk bangun pagi dan pergi sekolah.
“Iya. Kenapa? Jauh yaa?” Ami merasa lucu mendengar pertanyaan yang Deby ajukan, jelas temannya itu merasa kaget dengan jarak yang harus ditempuh Ami untuk ke sekolah.
“Lo gak takut? Setiap hari pergi-pulang sekolah di jalan sendirian?” Tanya Deby cemas.
“Kadang Ayahku antar pakai motor, kalau pergi kerja bareng. Tapi kalau pulang, ya aku sendiri.”
Deby berpikir dan teringat, “Aah karena itukah Ami selalu pulang begitu bel sekolah, nggak pernah main bareng sepulang sekolah?!” Renung Deby seorang diri.
Kepergiannya ini menjadi jarak terjauh Deby main ke rumah teman, ia tidak pernah mengenal daerah itu atau pun pernah ke sana sebelumnya. Dalam hati Deby merasa sedikit takut dan cemas akan perjalanannya pulang ke rumah nanti. Karena ketika pulang nanti sepanjang perjalanan ia akan seorang diri.
“Ini rumahku De, hehe... Ayo masuk!”
Kedatangan Ami dan Deby disambut hangat oleh Ibu Ami yang memang sudah sejak tadi menunggu kepulangan putrinya. Saat Deby menyapa, Ami memperkenalkannya secara singkat. Lalu keduanya langsung menuju kamar Ami, memilih tempat itu untuk bicara santai mereka. Jamuan camilan juga minuman yang sebelumnya Ami janjikan, ia bawa ke dalam kamarnya.
“De, aku sebenarnya mau cerita sama kamu. Ada yang mau aku sampain tapi rasanya sulit...” Dirasa sudah cukup memberi waktu beristirahat pada temannya, Ami membuka percakapan serius.
“Ya, seharian ini gue udah merasa ada yang gak beres. Ada apa? Bilang aja.” Deby memasang sikap siap untuk memperhatikan apa yang ingin Ami sampaikan.
Rasa gugup itu kembali, meski berat kali ini Ami harus mengatakannya. “Begini, aku harus pindah sekolah. Semester dua nanti mungkin kita gak bareng lagi.”
“Pindah sekolah?! Kenapa?” Deby terkejut sampai tanpa sadar suaranya meninggi.
“Maaf De... Aku coba kasih tahu kamu lebih cepat.” Namun akhirnya Ami hanya meragu sepanjang hari untuk memberitahu Deby tentang kabar kepindahannya.
“Kenapa? Kenapa harus pindah sekolah? Padahal kita udah dekat banget.” Deby langsung sedih dan sudah merasa kehilangan lebih dulu.
“Orang tuaku yang memutuskannya, aku bisa apa...” Tentu ada satu dan lain hal yang menjadi alasan tapi pada intinya itulah yang menjadi keputusan akhir.
“Terus kalau lo gak ada gue main sama siapa?!” Rengek Deby dengan nada protes.
“Jangan begitu De, walau udah pisah kita tetap teman kok. Aku gak akan lupain kamu...”
“Jelas kita tetap teman tapi gue bakal kesepian...” Deby memberi Ami pelukan erat, mencari ketenangan mengobati hatinya yang bersedih atas kabar ini. Deby kini tahu kerisauan yang Ami pikul seharian ini, dan Deby tidak cukup peka untuk mengerti temannya.
Ami menyambut dengan pelukan erat juga. “Aku juga De...” Menepuk pundah Deby untuk menenangkannya, seharusnya bukankah Ami yang butuh dihibur.
“Jangan pindah sekolah Ami...”
“Deby...” Hati Ami semakin pilu, tapi bebannya sudah lepas.
Deby memang merasa sedih akan berpisah dengan Ami, tapi jika memikirkan derita dan perjuangan Ami yang harus menempuh jarak pulang-pergi ke sekolah setiap harinya. Mungkin dengan pindah sekolah adalah pilihan terbaik untuk Ami. Sekolah tujuan Ami yang baru nanti jaraknya lebih dekat dengan tempat tinggalnya.
Pertemanan Deby dan Ami baru berjalan, tidak sampai hingga satu semester. Tentu Deby merasa sedih bila Ami pindah ke sekolah lain. Ami adalah teman pertamanya sejak masuk SMA, mereka selalu bersama. Bila Ami pergi, itu akan menjadi perpisahaan pertama yang Deby hadapi di masa SMA.
Pengalaman yang mengajarkan rasa kehilangan seseorang yang berarti dalam keseharian kehidupannya di sekolah. Sebelum perpisahaan itu mendekat, Deby tidak pernah mengira, dengan wajar berpikir bahwa mereka akan selalu bersama hingga akhir masa sekolah nanti.
***bersambung