Suara tegas Lania menggema di telinga Vino. Bola mata yang terlihat tanpa keraguan itu bersinar menatap lekat ke arah Vino. Debaran hati Vino yang bahkan tak lagi bisa terkendali membuat Vino bisa saja tidak sadarkan diri saat itu juga.
“Ja-jadi maksud Lania, dia juga memikirkan hal yang sama denganku?”
“Apakah Lania tidak keberatan untuk melakukan itu denganku, kan?”
“Dugaanku benar, kan? atau ini hanya bayanganku saja?”
Gejolak hati Vino sudah nyaris tidak terkendali. Setiap kali ia mencoba mencerna ucapan Lania, semakin membuat Vino tidak berdaya.
“Aku benar-benar bisa gila jika seperti ini!”
Vino masih sibuk dengan pemikirannya sementara Lania dengan penegasannya bahwa Lania juga bisa saja berniat melakukan hal yang di luar dugaan dan itu menjadikan Vino terus mematung sedangkan Lania merasa malu yang luar biasa.
Lania pun melempar bantal pada wajah Vino. Menjadikan Vino semakin tercengang dan menganga lebar. Akan arti dari lemparan bantal tersebut.
Tak membiarkan sedikit pun kesempatan bagi Vino untuk bertindak, Lania kemudian tak segan untuk merebut selimut yang sedari tadi menutup tubuh Vino dan membungkus tubuhnya sambil mengacungkan dua jari tanda sebuah perdamaian, dengan rasa malu yang sudah menenggelamkan Lania pada malam itu.
"Hei.. kita damai.”
“Tapi, aku tidak janji untuk tidak menyentuhmu!" ucap Lania dari balik selimutnya.
"Haaaaah!!!!!!" Vino benar-benar tercekat.
“Apa kamu bilang?”
“Tidak janji untuk tidak akan menyentuhku?”
“Itu artinya kamu akan menyentuhku, kan?”
Vino kalang kabut dengan pernyataan Lania tersebut. Akan tetapi, Lania tentu tidak terlalu ambil pusing. Ia sudah mengacungkan dua jarinya dengan tinggi. Syarat bahwa ia sudah mengajukan damai dan tak ingin lagi membahas hal tersebut.
Mana mungkin Vino melepaskan hal tersebut. Sebab, dibandingkan apapun. Justru Vino lah yang nyaris tak lagi bisa menahan dirinya.
“Hei, Lania! Jawab aku dulu dong!”
“Kamu benar-benar akan menyentuhku?”
Seandainya saja, Lania mengakui itu. Vino sudah bersiap-siap untuk menerkam istrinya tersebut. Kapan lagi bagi Vino untuk mendapatkan sebuah kesempatan emas seperti itu. Ini mungkin satu-satunya kesempatan yang tak boleh ia lewati. Saat ia mendapatkan sedikit pengakuan bahwa Lania juga menginginkan hal yang sama dengannya.
“Lania, ayo jawab aku!”
Lania yang sudah malu bukan main itu, kini malah merasa kesal dengan segala ocehan Vino yang membuatnya semakin merasakan malu. Sebab, saat ini Lania berada di antara gengsi untuk mengakui itu dan ia tidak ingin yang pertama memulai.
“Harusnya kamu buat pergerakan dong. Jangan cuma berisik seperti itu. Kalau kamu memelukku saat ini, mungkin aku akan memberikan diriku untukmu!”
Merasa bahwa pernikahan ini bukan yang benar-benar Vino inginkan membuat Lania merasa jika Vino tidak menginginkan dirinya. Vino yang tidak mencintai dirinya itu mana mungkin akan menyentuh Lania. Membayangkan bahwa Vino mendambakan Lania saja rasanya tidak mungkin. Vino selalu membuatnya kesal, mengganggunya dengan kurang ajar, menggoda Lania tanpa tahu tempat, dan tentu saja selalu mengambil kesempatan yang akan membuat Lania kesal.
“Tidak, aku harus ingat. Vino tidak mungkin seperti itu.”
“Dia paling akan mengejek aku dan menertawakan aku karena aku berharap dia akan menyentuhku sebagai istrinya dan melakukan kewajiban suami istri itu bersama.”
Lania langsung menggelengkan kepalanya. Ia merasa yakin jika apa yang ia pikirkan itu tidak benar. Vino mana mungkin mengharapkan hal tersebut, selama ini saja Vino selalu membuatnya kesal dan Lania yakin bila kali ini pun Vino hanya ingin mengerjai dirinya.
“Aku tidak boleh kalah kalau begitu!”
Menepis segala hasrat yang sebelumnya sudah bergejolak. Lania pun memulai aksi lainnya.
“Hei, berisik. Jika kamu masih tidak mau diam dan tidur. Aku akan merobek pakaian yang kamu kenakan itu dan menggigit tubuhmu.”
Teriakan kesal Lania bersamaan dengan selimut yang ia singkap dan mendorong tubuh Vino. Berada tepat di atas tubuh Vino dengan memegang kerah baju tidur Vino dengan kasar. Kancing baju tersebut bahkan sudah terbuka dua buah, akibat tarikan kasar yang Lania berikan.
Mata Lania kini mengarah pada tubuh Vino yang terlihat di balik baju tidur Vino yang tersingkap itu. Otot kekar yang terlihat mengintip dengan kulit mulus Vino yang terlihat lembut memikat.
Lania mengerti jika ia sendiri masih tidak bisa lepas dari jerat mengagumkan tubuh Vino yang menggoda itu. Tetapi, harga diri dan juga keyakinannya membuat hasrat itu menghilang begitu saja. Terkubur oleh harga diri yang tak mungkin akan goyah begitu saja.
“Kamu itu terlalu berisik. Sekarang tidur yang benar!”
Perlahan Lania melepas cengkeramannya yang erat dari kerah baju Vino dan kembali pada posisinya. Vino yang masih bisa merakan cengkraman erat dari Lania itu kali ini benar-benar hanya bisa terdiam.
Vino sudah kalah telak, ia percaya jika saat ini Lania telah berhasil mempermainkan dirinya. Vino menahan rasa malu yang ia rasakan atas pemikiran liarnya sebelumnya. Saat ini, ia juga tidak masalah dengan perdamaian yang Lania ajukan tadi.
Akan tetapi, selain perdamaian tersebut. Ungkapan bahwa Lania tidak berjanji untuk tidak menyentuh dirinya membuat Vino malah berharap akan sesuatu yang sangat ia inginkan. Ia mengharapkan jika Lania benar-benar memberikannya izin untuk menyentuhnya.
"Vino, apa yang kamu harapkan! Mana mungkin Lania benar-benar ingin melakukan hubungan suami istri seperti itu!" gerutu Vino dalam hatinya menghujat khayalannya sendiri yang sedari tadi terus menghantuinya. Pikiran liar yang semakin tidak terkendali kala ia ingin mencecar liar wanita yang kini ada di sampingnya itu. Bak binatang buas yang kelaparan dan baru saja menangkap mangsanya.
Sebesar apapun bayangan yang muncul dalam pikiran Vino. Vino paham jika Lania tidak akan serius dengan ucapannya. Apa yang ia lakukan mungkin hanya sedikit pembalasan dari Lania yang pantas untuk ia terima atas dendam yang Lania miliki. Lantas hal itu malah semakin membuat Vino kesal dan tak mau mengalah atas tingkah Lania, Vino pun dengan sengaja mengancam Lania. "Awas saja kalau kamu menyentuhku!"
Dari balik selimut, Lania justru terkekeh kecil. Ia menyadari kemenangannya kali ini. Ia merasakan nada kekesalan yang jelas dari ancaman Vino barusan.
"Memangnya kamu bisa apa kalau aku menyentuhmu, Vin!" tantang Lania lagi yang akhirnya semakin membuat Vino kesal.
Vino sendiri menyadari tak ada hal yang bisa ia buat untuk mengancam Lania kali ini. Terlebih saat ini ada kakek yang menginap di rumah mereka. Menjadikan Vino semakin berhati-hati dalam bertindak.
"Ah, seandainya tidak ada kakek. Aku pasti akan meninggalkan kamu saat kita berangkat kerja besok!" omel Vino lagi yang akhirnya mengakui kekalahannya dan mulai mengatur posisi tidurnya dengan benar.
"Aku biarkan kamu malam ini. Awas saja kamu besok Lania!"
Sampai Vino benar-benar tertidur ia terus memikirkan cara untuk membalas Lania. Ia bertekad akan membuat Lania lebih kesal dari apa yang ia rasakan saat ini dan begitulah malam Vino yang berakhir dengan kekalahannya.
Berbeda dengan Lania, ia menyadari jika Vino tidak akan tinggal diam dengan apa yang sudah dia lakukan malam ini. Lania yakin saat ini Vino sedang memikirkan banyak cara untuk mengerjainya besok. Sehingga ia pun tentu memutar otaknya dan tak akan membiarkan Vino begitu saja. Ia juga harus bisa bertindak cepat dan mengalahkan Vino.
Oleh sebab itu, Lania juga memutar otaknya agar Vino tidak berdaya lagi besok. Ia cukup puas melihat kekalahan Vino dengan wajah merah padam malu-malunya. Ekspresi Vino yang bahkan belum pernah ia lihat sebelumnya.
"Apaan, sih! Bukannya seharusnya aku yang resah bakal di sentuh olehnya. Dimana-mana itu yang rugi adalah wanita. Bisa-bisanya Vino berpikir aku yang akan menyentuh tubuhnya dan dia malah menolak tidur di kamar yang sama!"
“Hmm.. tapi, apa jadinya jika aku benar-benar menyentuh Vino ya?”
Setelah bertanya-tanya dalam hatinya. Lania mencoba membayangkan seperti apa kesalnya Vino jika ia melakukan hal yang gila dengan tubuh Vino tersebut. Meski sejujurnya, Lania berharap Vino tidak keberatan untuk di sentuh olehnya. Nyatanya, Vino benar-benar terlihat tidak suka bila Lania menyentuh tubuhnya itu. Berulang kali Vino memperingati Lania agar tidak menyentuh dirinya. Memastikan bahwa ia tak ingin disentuh oleh Lania, padahal Lania adalah istri sahnya.
"Hmmmm.. setidaknya dia merasakan keresahan yang sama. Aku kira dia sama sekali tidak menganggap aku sebagai seorang wanita!"
Mungkin saja, Lania sudah harus merasa cukup puas dengan Vino yang merasakan keresahan tersebut. Setidaknya, Lania merasa jika ia di anggap sebagai seorang wanita dan bukan angin lalu yang sama sekali tidak di anggap.
Tidak heran Lania terus merasakan hal tersebut. Tak terhitung berapa kali Vino mengerjainya. Lania tidak merasa sedikit pun perhatian lebih dari Vino untuk dirinya.
Hal itu pula yang membuat Lania ragu akan perasaan Vino sesungguhnya pada Lania. Ia tidak yakin Vino mencintai dirinya dan ia berkali-kali merasakan jika perlakuan Vino pada dirinya itu memang berbeda. Vino seolah tidak menjaga wibawanya pada Lania. Vino bertingkah sesuka hatinya dan membuat Lania merasa jika sebenarnya Vino tak memiliki perasaan apapun untuknya.
Sedangkan di hadapan orang lain, Vino selalu memasang wajah penuh karisma. Bertingkah bijak sana, baik, ramah dan selalu memperlihatkan sisi baiknya. Benar-benar berbeda dengan apa yang Vino perlihatkan pada dirinya.
Hal itu pula yang terkadang membuat Lania terpacu. Mengetes apakan benar Vino sama sekali tidak memiliki perasaan apapun pada dirinya. Terlebih lagi, Lania sama sekali tidak pernah mendengar pernyataan cinta langsung dari VinO, bahkan setelah pernikahan mereka berlangsung.
Jangankan pernyataan cinta, lamaran pernikahannya saja tidak ada. Mereka menikah begitu saja saat kedua keluarga sepakat akan pernikahan tersebut.
"Bukan salahku, meragukan kamu Vin, dan itu pula alasanku merahasiakan pernikahan kita."