Hubungan rahasia itu membuat Lania semakin menjaga sikapnya pada Vino. Ia juga kerap mewanti-wanti Vino agar merahasiakan pernikahan mereka. Namun, bak pisau bermata dua. Di satu sisi Lania memang ingin pernikahan mereka menjadi rahasia, di sisi lain ia merasa cemburu dengan segala kedekatan Vino dengan para wanita lainnya.
Selayaknya apa yang terjadi kali ini, Lania menyaksikan Vino yang tengah dikerumuni oleh para wanita dan Lania hanya berusaha menelan segala rasa yang ia miliki dalam keheningan.
Hari ini adalah hari yang istimewa ada acara untuk departemen mereka. Acara tahunan yang memang diadakan di perusahaan tersebut. Sebuah acara liburan bersama rekan satu departemen. Tentu saja hal itu membuat sebagian dari mereka harus mempersiapkan berbagai hal. Termasuk Vino dan Lania yang terpilih menjadi panitia acara tersebut. Lantas di saat itulah Lania menyaksikan hal yang sebenarnya sangat menyebalkan.
"Wah.. Kamu menyiapkan ini semua, ya? Hebat sekali. Aku saja memotong pita ini tak ada habis-habisnya. Bahkan belum selesai sampai sekarang," ujar Vino dengan ekspresi sedih pada salah satu karyawan wanita yang ada di sana.
"Bagaimana kalau kami bantu saja --" ucap seorang gadis manis berbaju kuning sambil melihat teman di sampingnya yang seolah menawarkan bantuan mereka untuk Vino.
"Ah.. tidak usah. Ini kan, memang tugasku!" seru Vino dengan nada suaranya yang rendah.
"Vino.. biarkan kami saja yang melakukannya. Vino istirahat saja.."
"Kamu pasti lelah, sedari tadi kamu sudah bekerja keras. Bahkan kamu juga tadi datang lebih awal, kan," tutur salah satu gadis yang ada di sana.
"Tidak usah, lah! Kalian juga sudah bekerja keras, kan!" tolak Vino yang bersikeras tidak ingin dibantu.
Layaknya seorang pangeran dari negeri dongeng. Tidak hanya wajahnya yang tampan dan latar belakangnya yang bersinar. Sosok Vino terkenal akan keramahannya pada semua orang. Dia menjadi pria idaman semua wanita. Baik hati, tampan dan kaya. Tapi, itu semua hanya karena mereka tidak tahu sosok Vino yang sebenarnya. Vino yang asli itu sangat menyebalkan.
"Vino ... kamu ini, benar-benar ya! Sudah biar kami saja. Sedikit lagi juga siap, kok."
"Eehmmm.. tidak usah saja!" Vino tersenyum nakal seolah membujuk mereka untuk menyerah atas niat mereka dalam membantu Vino.
Merasa Vino yang bersikeras tidak ingin dibantu, salah seorang dari para gadis itu memutar otaknya. Mereka pun tiba-tiba saling berbalas pandang.
"Yah ... kalau begitu kamu pergi saja belikan kami roti dan minuman. Bagaimana?"
"Kali ini kamu tidak boleh menolak!" sambut salah satu dari mereka menyetujui saran tersebut sebagai solusi yang paling tepat dalam kasus kali ini.
"Baiklah ... " Vino kini tersenyum lebar menyetujui tawaran terakhir dari segerombolan gadis tersebut.
Vino kemudian memutar bola matanya seolah mencari sesuatu. Ia yang tengah melihat ke sekitar tersebut akhirnya menangkap sosok Lania yang sedang duduk termenung di tengah tumpukan balon yang ia pompa. Ia terlihat sangat bosan dan kelelahan dengan mata sendunya yang sudah layu serta rambut kusut Lania yang menutupi setengah wajahnya.
"Lania, ayo temani aku! Aku tidak bisa membawa semua makanan itu jika aku pergi sendirian." Vino tersenyum lebar menatap Lania. Berharap Lania menyetujui ajakannya untuk membeli makanan.
Sementara Lania malah bengong begitu mendengar ajakan dari Vino. Ia tak tahu harus memasang ekspresi seperti apa pada sosok yang paling ingin ia hindari itu. Pasalnya ia sama sekali tidak menyangka jika Vino akan menyebut namanya.
"Kenapa harus aku?" kesal Lania lagi padahal yang sedari tadi bertingkah sok baik dan beramah tamah adalah Vino. Rasanya tak adil bagi Lania jika ia malah harus ikut terlibat dalam sandiwara Vino tersebut.
Sebenarnya apa yang Vino lakukan sejak awal sudah bisa diterka oleh Lania. Kebiasaan Vino yang menjaga wibawanya di depan umum itu sudah tidak asing bagi Lania. Ia akan selalu terlihat ramah, baik hati dan juga tersenyum dengan lebar tak peduli apapun yang akan terjadi.
"Apa dia seperti itu karena dia penerus satu-satunya dari perusahaan besar?"
"Hmm.. Jangan-jangan itu semua memang karena dia hanya ingin tebar pesona pada siapa saja!"
Terkadang pikiran-pikiran seperti itu melintas di dalam benak Lania dan tertanam rapat di hatinya dengan segala pemikirannya sendiri tanpa mengkonfirmasi lebih jelas pada Vino.
Walau pun demikian, Lania sama sekali tidak mengerti kenapa Vino malah sering bersandiwara di hadapan orang lain. Ia tidak faham kenapa Vino harus menahan segala perasaannya hanya demi sebuah citra yang mungkin bisa lebih apa adanya.
Apa lagi, latar belakang Vino juga memang sudah luar biasa. Jika Vino sedikit berulah juga tidak akan membuat orang merasa itu sebuah masalah yang besar. Toh, banyak orang kaya di dunia ini yang memanfaatkan kekayaan mereka.
"Ah, padahal banyak juga orang kaya sombong yang bertindak sesuka hati tanpa perlu menyembunyikan sikap aslinya di depan umum. Manusia seperti itu malah amat teramat banyak."
Entah apa motivasi dari Vino melakukan itu hanya saja Lania sudah tidak ambil pusing lagi. Walau dulu, ia sempat menduga-duga apa alasan Vino selalu tampil sebagai pria baik hati, bijaksana dan manis di depan umum. Lalu malah menjadi pria licik, menyebalkan, cerewet, serta rewel di hadapan Lania.
Apa pun itu, Lania sudah tak ingin memikirkannya lagi. Dia hanya akan berusaha menyesuaikan dirinya dengan tingkah Vino atau mengabaikan Vino yang selalu tebar pesona itu. Karena yang terpenting bagi Lania saat ini adalah Vino yang bersedia menjaga rahasia pernikahan mereka.
"Sebab aku tak ingin terlibat lebih jauh tentang Vino, nantinya."
Akan tetapi, segala perbuatan Vino itu memang sering memancing perhatian Lania dan tak jarang pula Vino yang secara langsung menyeret dirinya untuk terlibat dengan segala ulah Vino.
Sama seperti saat ini. Vino yang berpura-pura menolak apa yang mereka tawarkan dengan kelicikan yang ia sembunyikan agar ia bisa lepas dari kegiatan menyebalkan memotong konveti tersebut. Tetapi, di saat yang bersamaan dia pasti akan mencari beragam kesempatan untuk bisa menyeret Lania.
"Loh, Loh, apaan itu. Kenapa dia dari tadi mendelik ke arahku?"
Dari gelagat Vino yang mencurigakan Lania sudah tidak enak hati. Ia berpura-pura tidak tahu dengan memasang tampang tak mengerti apa-apa dan memalingkan wajahnya. Berharap Vino tidak akan mengusik ketenangannya.
"Ayo, jangan lihat aku Vino!!" benak Lania seraya segera memalingkan wajahnya.
"Apa lagi yang akan kamu lakukan untuk menggangguku kali ini!"
Pikiran Lania sudah langsung ke arah sana saat pandangan mata mereka tak sengaja bertemu dan Vino yang terus menatap lurus pada dirinya itu. Benar saja, semua usaha Lania sia-sia dan apa yang menjadi dugaan Lania itu pun terjadi. Seperti apa yang Lania khawatirkan Vino tiba-tiba saja bersuara lantang mengajak Lania untuk pergi bersama dengan dirinya ke kantin.
"Tidak mau!!"
"Kenapa harus aku? Ajak yang lain saja sana!" Lania langsung menolak dengan tegas ajakan Vino, tanpa pikir panjang.
"Huft.. sudah jelas dari senyumnya itu. Dia hanya ingin menyeret paksa aku lagi," keluh Lania dalam benaknya saat menangkap senyuman licik dari Vino. Lania tahu betul sikap asli dari Vino tersebut yang sangat menyebalkan menurutnya.
Sebenarnya, di kantor adalah kesempatan bagi Lania untuk melakukan berbagai hal yang ia inginkan di luar dari statusnya sebagai seorang istri dari Vino. Lania hanya bisa mendapatkan kekebasannya sebagai seorang Lania di kantor. Sebab mereka sepakat untuk tidak mengatakan pada siapapun tentang hubungan mereka.
Sedangkan di rumah, Lania tidak akan bisa sebebas ini. Dia akan lebih sering bertingkah layaknya seorang istri. Terlebih lagi, kakek Reno atau ayahnya yang rajin berkunjung ke rumah mereka sehingga Lania tidak bisa lengah jika ada di rumah. Ia harus terus bertingkah sebagai istri yang baik demi keluarga kecilnya yang bahagia.
"Sejak kerumunan itu mulai bercek-cok aku sudah tahu betul apa tujuan dari Vino."
Lania kesal yang sejak awal sudah bisa menduga kelicikan dari Vino. Bisa melihat dengan jelas motif yang sebenarnya telah disembunyikan oleh Vino.
"Menolak bantuan apanya? cih!"
"Jelas-jelas itu palsu. Apa semua orang buta. Tidak bisa lihat jika ia hanya pura-pura menolak bantuan dari mereka."
Lania masih tenggelam dalam pikiran kotornya. Ia sangat kesal dengan sikap Vino yang licik tersebut. Ia mungkin tidak akan peduli jika Vino mengabaikannya dan meneruskan segala sandiwara itu tanpa keterlibatan Lania. Tapi, karena Vino mengusiknya. Kebencian yang Lania pendam itu meningkat drastis. Ia kesal setengah mati akan hal tersebut. Seolah ingin mencabut satu per satu rambut yang ada di kepala Vino.
"Awas saja, kalau kamu tidur. Aku benar-benar akan mencabut satu per satu rambut kepalamu sampai botak!" kekeh Lania sembari membayangkan kepala Vino yang botak.
Wajah tampan yang mempesona, jajaran alis tebal yang tegas, rahang yang memperlihatkan garisnya yang sempurna, bibir merah yang lembab dan menggoda serta hidung mancung Vino yang kokoh semua telihat jelas dalam bayangan Lania dengan kepalanya yang botak mengkilat terkena silau dari cahaya matahari yang terik.
"Ffft... Fttt..." Kekehan tawa itu terus mengisi Lania. Ia tak bisa menghentikannya dan malah terus terkekeh geli dengan bayangannya itu.
Meski demikian Lania tidak bisa menghindari dari segala tindakan Vino yang menyeret paksa dirinya itu.
Vino selalu bersikap sangat lembut dan ramah. Ia terkenal sebagai pangeran baik hati yang sempurna. Parasnya yang tampan, sikapnya yang santun dan hartanya yang melimpah. Siapa saja pasti menempatkan Vino sebagai pangeran idaman mereka. Sosok pangeran yang sama sekali tidak pernah ada dalam bayangan Lania.
Sehingga, Lania sendiri kesulitan jika ia bersikap kasar pada Vino. Ia akan benar-benar terlihat bagaikan wanita jahat jika terus menekan Vino. Hal itu membuat Lania kerap menyadari ketidakberdayaannya dalam menghadapi Vino dan lagi-lagi akan pasrah begitu saja bila Vino sudah melibatkan Lania dalam segala halnya.
"Lania, sudah. Temani Vino saja sana!"
"Kan, kamu juga sudah selesai memompa balon-balon itu," pinta sang ketua panitia acara tersebut secara langsung.
"Iya, sana bantu Vino saja, dari pada kamu duduk bengong di situ!"
Begitu pula dengan rekan panitia lainnya yang tiba-tiba mendorong Lania untuk ikut membantu Vino membelikan beberapa makanan untuk mereka.
Lania yang tidak bisa menolak perkataan ketua panita tersebut itu pun akhirnya menuruti keinginan Vino. Untuk pergi bersama membeli minuman dan makanan ke kantin.
Meski mereka akhirnya melangkah dengan damai bersama, keluar dari ruang rapat yang menjadi tempat mereka mempersiapkan segala hal, tapi kedamaian hanya terlihat saat ada orang di sekitar mereka. Wajah masam Lania langsung terlihat dengan jelas begitu mereka meninggalkan tempat tersebut. Ia cemberut dengan kekesalan yang sudah memuncak, mencapai batas waras Lania.
"Awas saja kalau dia tidur, aku benar-benar akan mencabut rambutnya," gumam Lania dengan sangat kesal yang merencanakan balas dendam ketika Vino tertidur nanti malam.
Vino hanya tersenyum senang saat ia berhasil menggoda istrinya itu. Seperti makanan sehari-hari, Vino sendiri tidak sadar sejak kapan kebiasaan usilnya itu muncul sehingga rasanya ia tidak akan tenang sebelum bisa membuat Lania marah dan kesal serta menjerit atau malah mengumpat dirinya.
"Ah, apa seleraku yang seperti itu?" Vino bergidik sendiri membayangkan betapa senang hatinya saat ia mendapat umpatan dan makian dari istrinya tersebut.
Semua itu Vino pendam sendiri apa lagi ada hal yang jauh lebih menarik perhatian Vino selama ini.