Tumbal sebuah Ambisi #2

1032 Words
Selanjutnya sosok Prajurit yang mengantarkan Pranajaya tadi meminta izin pada Yang Mulia untuk undur diri dan kembali ke dalam lorong tempat mereka masuk tadi. "Mari ikuti aku, Pranajaya." Yang mulia turun dari singgasananya dan berjalan ke pintu lain, Pranajaya secara spontan menurut saja apa yang dikatakan oleh Yang Mulia. Di ruangan berikutnya tampaklah sebuah meja besar yang berisi beraneka makanan lezat serta buah-buahan segar, ada empat orang wanita cantik yang berdiri di ujung ruangan. "Kamu tentu lapar, sekarang makanlah dulu, nanti salah satu dari mereka akan mengantarkanmu lagu kepadaku." Yang Mulia mempersilakan Pranajaya untuk duduk di salah satu kursi, lalu Yang Mulia kembali keluar, di ruangan yang ukurannya lebih kecil dari ruangan sebelumnya itu kini hanya tinggal Pranajaya bersama keempat wanita cantik yang perlahan berjalan mendekatinya. Sungguh Pranajaya tak pernah mengira akan mengalami semua kejadian ini, dalam bayangannya sebelumnya dia menduga kalau dia hanya akan bertemu dengan sosok tua yang tinggal di dalam gua yang kumuh dengan aroma yang menusuk hidung dan membuat mual, tapi apa yang dibayangkannya berbeda sama sekali, tentu saja hal ini sangat sesuai dengan pengakuan Yang Mulia sendiri kalau dirinya adalah sosok jin penguasa Gunung Tidar. Sambil menikmati lezatnya makanan yang disajikan wanita-wanita cantik tersebut, tersirat dalam pikirannya, kalau Yang Mulia sudah tinggal dan menetap lama di sini, lantas mengapa masih ingin kembali ke Gunung Tidar? Mengapa dia tak menetap saja dan menjadi penguasa di Gunung Lawu ini? Kalau memang dia seorang raja jin yang kuat lagi berkuasa, mengapa bisa dikalahkan dan terusir dari tempatnya sendiri oleh sosok yang dia sebut dengan nama Syaikh Subakir? Pranajaya benar-benar tak habis pikir dan pikirannya tak bisa menemukan jawaban dari apa yang menjadi pertanyaan mengganjal di batinnya. Yang lebih penting lagi dari itu adalah, apakah Yang Mulia mampu membantunya menjadi sosok paling sakti sekaligus penguasa di tanah jawa ini, sementara dia sendiri terusir dari tanahnya sendiri? "Tuan meragukan kekuasaan Yang Mulia?" Entah bagaimana caranya tahu-tahu salah satu dari wanita cantik itu berkata, seakan tahu dan bisa membaca apa yang terlintas di pikirannya. Pranajaya tak menjawab, tetapi wajahnya memerah karena malu, tak sepantasnya dia memiliki pikiran seperti itu sementara dia sendiri tengah berada di dalam istana yang jadi kekuasaannya. Wanita itu melanjutkan perkataannya, "Yang Mulia memiliki bala tentara jin ratusan ribu, dan salah satu tentaranya adalah prajurit yang tadi mengantarkan tuan masuk ke istana Yang Mulia ini, bukankah tadi tuan nyaris mati di tangannya jika tak berhasil menjawab dengan tepat apa yang ditanyakan oleh prajurit itu?" Sampai di sini insaflah dia, dan menyadari kalau Yang Mulia benar-benar seorang penguasa yang tentu bisa membantunya menjadi sosok paling sakti di tanah jawa. Jika seorang prajuritnya saja sudah mampu membuatnya sampai berkeringat dingin menahan takut, bagaimana lagi jika dia harus berhadapan dengan ratusan ribu bala tentara Yang Mulia? Tak terasa dia sudah menghabiskan banyak sekali makanan yang tersedia di meja makan itu. Keempat wanita tersebut lantas membereskan piring dan gelas bekas makan Pranajaya. Dua orang wanita cantik berjalan keluar lewat pintu berbeda membawa piring dan gelas bekas makan Pranajaya, sedangkan seorang lagi membereskan meja makan, sementara itu satu wanita cantik lainnya menggandeng tangan Pranajaya. "Saya antarkan Tuan sekarang ke hadapan Yang Mulia." Rasa gemuruh di dadanya bergejolak saat tangan halus wanita itu menggandengnya, debaran napsu birahi yang ditahannya sejak tadi malah semakin menjadi dan menuntut dipuaskan. Tapi bagaimana pun juga Pranajaya harus tahu diri, otaknya masih cukup jernih untuk tidak melakukan hal bodoh di tempat orang. "Aku tahu yang kamu pikirkan dan inginkan, Pranajaya. Dan aku mengizinkannya." Yang Mulia berkata pada Pranajaya, ternyata apa yang ada di kepala Pranajaya pun Yang Mulia bisa membacanya. "Anggita, layani tamuku ini di kamarmu sampai puas. Aku beri kalian berdua waktu satu hari penuh untuk bersama bersenang-senang." Betapa gembiranya hati Pranajaya, gadis cantik dengan bentuk tubuh yang indah itu melirik Pranajaya dengan manja, lalu dia menjura hormat pada Yang Mulia. Selanjutnya dia menarik tangan Pranajaya meninggalkan ruangan Yang Mulia dan mengajaknya ke kamarnya. Seharian kedua makhluk beda jenis dan beda alam itu bergumul dalam kenikmatan tiada tara, setelah sama puas mereka mandi bersama, selanjutnya gadis cantik bernama Anggita mengantarkan kembali Pranajaya ke hadapan Yang Mulia. "Aku sudah tahu apa keinginanmu, seperti yang kujanjikan bahwa aku akan membantumu dengan syarat, syarat yang kuminta ringan saja, yaitu kamu hancurkan batu hitam besar yang ada di puncak Gunung Tidar," berkata Yang Mulia. "Hanya itu sajakah, Yang Mulia?" tanya Pranajaya ragu. "Hanya itu, Pranajaya. Aku tahu apa yang kamu pikirkan. Kita beda alam, Pranajaya. Aku dan seluruh pasukanku tak kuasa menghancurkan batu itu, batu yang mengeluarkan aura panas yang menaungi seluruh Gunung Tidar, bagaimana mungkin bisa kami menghancurkannya kalau mendekat saja sudah bisa membuat tubuh kami terbakar karenanya. Batu itu adalah benda dari alammu, maka kamulah yang bisa menghancurkannya." Kini Pranajaya mengerti alasannya, Yang Mulia kemudian memberi Pranajaya sebuah kendi berisi air, juga sebuah mantra yang harus dibacanya, Pranajaya harus melakukan satu tirakat lagi di tempatnya. "Gunakan air ini untuk menyusun pasukanmu, siapa pun yang kamu beri minum air ini, maka salah satu prajuritku akan otomatis masuk dan menguasai tubuhnya, semakin banyak orang yang kamu beri minum air ini, semakin banyak pula kamu membangun pasukanmu. Mereka semua adalah pasukan Harimau Hitamku. Dan orang-orang di duniamu menyebutnya dengan nama Santet Harimau Hitam atau Khodam Harimau Hitam. Ilmu ini tak sembarang orang kuberikan, maka jarang sekali di tanah Jawa yang memilikinya jika tak kuberikan sendiri ini padanya." Terakhir sebelum pulang, Pranajaya dihadapkan dengan seekor kambing betina yang gemuk dengan dua ekor anak kambing bersamanya. Pranajaya diminta oleh Yang Mulia untuk menyembelih tiga ekor kambing itu dan meminum darahnya. Mulanya Pranajaya merasa jijik untuk meminumnya, tetapi ternyata darah itu terasa manis. Lalu oleh salah seorang prajurit Pranajaya diantarkan kembali ke lorong tempat dia masuk ke istana Jin itu. Sesampainya di luar hari sudah beranjak siang, saat Pranajaya berbalik gua itu tak terlihat lagi, hanya gundukan tanah dengan tanaman liar. Saat dalam perjalanan di Bis menuju Blitar, Pranajaya seakan baru sadar kalau dia memiliki seorang istri dan dua orang anak yang masih kecil. Seketika itu juga perasaan tak enak memasuki relung hatinya. Jangan-jangan .... Apa yang diduga oleh Pranajaya benar, sesampainya di rumah terlihat bendera kuning yang berkibar, seorang penduduk memberi tahunya kalau istri dan kedua anaknya telah mati diterkam Harimau. Lemaslah tubuh Pranajaya saat itu juga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD