***
Pedih, sakit, entah apalagi yang dirasakan Bagas saat itu. Di depan orang-orang dia terlihat tersenyum tetapi tak ada yang pernah menyangka kalau hatinya sungguh begitu hancur.
Bagas yang sekarang memang bukan Bagas yang dulu, yang hanya sekedar memiliki kepandaian ilmu silat dasar tanpa ilmu kedigdayaan apapun.
Tetapi kini Bagas adalah orang yang memiliki ilmu kebal dan itu pun sudah diuji langsung oleh Mbah Gondo, orang yang telah mempertemukannya dengan Raja Monyet di goa Monyet dimana dia melakukan ritual untuk mendapatkan ilmu tersebut.
Namun siapa yang menyangka dan siapa yang akan menduga kalau ternyata semuanya harus ditebus dengan kematian sang kekasih?
Ilmu yang didapatkan Bagas bukan hanya harus didapatkan dengan mengeluarkan uang yang banyak untuk membayar Mbah Gondo, akan tetapi dia pun harus kehilangan seseorang yang selama ini menjadi tambatan hatinya, menjadi penyemangat hidupnya, yaitu Annisa.
Sebenarnya tujuan Bagas untuk bertarung dengan Faqih nanti adalah semata-mata untuk membuktikan kepada Annisa kalau memang dia yang terbaik, bukan hanya dari segi materi tapi dari soal perlindungan, pengertian dan dari soal kemampuan.
Tapi kini pupus sudah harapannya, orang yang akan menjadi tempatnya untuk berbangga dengan segala pencapaian yang sudah didapatkannya kini telah tiada, Annisa justru meninggal sebagai tumbal dari ilmu hitam yang kini dimilikinya.
Rasa bersalah meliputi hatinya terus menerus dan menghantui langkah Bagas kapanpun dan dimanapun dia berada. Bagas merasa bahwa kematian Annisa adalah karena dirinya.
Tak ada yang tahu di antara semua penduduk, termasuk orang tua Annisa sendiri kalau monyet-monyet yang menyerang Annisa pada malam itu tidak lain adalah monyet-monyet siluman kiriman dari raja monyet. Setelah Annisa dibuat mati oleh kawan monyet itu, hati dan jantungnya diambilndan dibawa lari.
Selain menyalahkan dirinya sendiri, Bagas juga menyalahkan Mbah Gondo orang yang telah mempertemukannya dengan Raja Monyet. Andaikan saja Mbah Gondo menceritakan persyaratan yang harus ditanggungnya selain mengeluarkan uang dalam jumlah yang banyak, yaitu bahwa apa yang ingin dimilikinya harus ditebus dengan nyawa orang yang dikasihinya niscaya Bagas akan menolak untuk mendapatkan ilmu tersebut, karena bagaimanapun tujuan dia mendapatkan ilmu tersebut adalah untuk mendapatkan pengakuan dari Annisa sendiri bahwa dia lebih baik dalam segala hal dibandingkan Faqih.
Sejak hari pertama kematian Annisa, kedatangan Bagas pada malam itu yaitu pada malam kematian Annisa yang juga adalah malam dia mendapatkan ilmu kebal yang kini dimilikinya adalah malam pertama sekaligus malam terakhir dirinya datang ke rumah orang tua Annisa.
Acara tahlilan yang berlangsung selama tujuh hari tak dihadiri oleh Bagas, justru kinindia pergi meninggalkan kampung halamannya, berjalan entah kemana tanpa ada tujuan.
Dendamnya kepada Faqih kian hari kian dalam, dia benar-benar sudah bertekad membunuh Faqih dengan tangannya sendiri, kepergiannya kali ini meninggalkan kampung halamannya sebenarnya hanyalah sebuah pelarian untuk mengobati luka hatinya. Jika terus-menerus dia berada di desa itu maka dia akan terus-menerus pula terbayang-bayang akan wajah kekasihnya.
Dan keputusannya sudah bulat bahwa dia akan pergi sementara meninggalkan kampung halamannya.
Kepergian Bagas meninggalkan Desa Jengkol tak membawa banyak bekal. Kalaupun dia saat itu membawa tas yang berisi pakaian hanyalah beberapa lembar pakaian sekedar untuk dia berganti, dan uang pun tak banyak sekedar untuk makan selama perjalanannya.
Tak terasa berkilo-kilo sudah dia berjalan menyusuri trotoar jalanan yang berdebu, perutnya kiri terasa lapar maka dia memutuskan untuk mampir ke sebuah warung makan.
Dipesannya sepiring nasi plus lauk pauknya, setelah mengambil duduk di pojokan dalam ruangan rumah makan itu Bagas mulai menikmati makanan yang dihidangkan oleh Pelayan.
Saat Bagas sedang asyik menyantap makanannya tiba-tiba masuklah ke dalam rumah makan itu tiga orang dengan berteriak kepada pemilik rumah makan.
"Woi pajak bulanannya mana? Bulan kemarin udah nggak bayar, bulan ini juga kalau masih nggak bayar gw bakal mengobrak-abrik nih rumah makan."
"Ampun, Pak. Memang beberapa bulan ini warung makan saya sepi dan tidak ada pemasukan. Ini ada sedikit uang, saya belum bisa memberi lebih daripada ini."
"Apa ini?! Cuma segini buat minum-minum juga semalam langsung habis! Apakah kamu tidak berpikir kalo warung makan kamu ini bisa aman itu karena adanya kami yang menjaga di daerah sini?!"
"Iya Pak. Saya paham, saat ini saya memang benar-benar belum ada pemasukan untuk rumah makan ini."
Salah seorang dari tiga laki-laki yang bertampang seram segera menendang sebuah meja yang ada di dekatnya, saat itulah semua yang sedang makan di dalam ruangan pun segera keluar karena ketakutan.
Dalam ruangan itu cuma Bagas yang masih bertahan tetap menikmati makanannya, dia sama sekali tidak peduli kepanikan yang terjadi di dalam ruangan itu karena yang di pikirannya saat ini adalah dia ingin lekas menghabiskan makanannya dan langsung kembali berangkat meninggalkan rumah makan itu.
Keberadaan Bagas yang tetap tenang saat kepanikan terjadi mengundang perhatian ketiga orang lelaki itu, mereka yang tidak lain adalah tiga orang preman di daerah situ yang kerjaannya memalaki para pedagang.
"Kelihatannya orang itu sepertinya sok jago, orang-orang lain berlarian keluar sementara dia sendiri masih asik makan."
"Jangan, Bos. Biarin aja. Dia kan cuma seorang gembel, Bos. Pakaiannya saja acak-acakan begitu. mungkin dia pengemis yang sudah tidak makan selama seminggu hahaha ...."
Bagas yang merasa disebut sebagai pengemis yang tidak makan selama seminggu sontak langsung merasa tersinggung, dia pun menghentikan makannya lalu bangkit berdiri, menatap sosok lelaki yang baru saja melontarkan kata-kata menghina dirinya.
"Tolong jaga bicaramu, karena Mulutmu adalah harimaumu. Jangan sampai gara-gara mulutmu, kamu akan menemui ajalmu hari ini."
"Wah ... wah ... wah ... Punya nyali juga tuh gelandangan," kata temannya yang seorang lagi.
"Udah, sikat aja, Bos! Udah lama juga kita nggak berolahraga gebukin orang."
"Ejekan demi ejekan yang diterima Bagas benar-benar membuat dirinya naik darah. Bagas segera mendekati lelaki yang pertama kali tadi mengejeknya dengan sebutan pengemis.
"Eh, punya nyali juga tuh orang berani-beraninya mendekat ke sini, biar gw bantai duluan dia."
Baru saja dia mengucapkan kata-kata itu, tahu-tahu Bagas sudah berdiri di hadapannya, dan tanpa sama sekali persiapan untuk bertarung lelaki yang baru saja berkata-kata kepada kawannya itu mendapat sebuah pukulan yang keras di pipinya, hingga dia terpental kemeja dan membuat meja pun menjadi patah belah dua.
Lelaki yang terpental itu meringis kesakitan untuk bicara pun tidak sanggup, kedua kawannya yang melihat hal itu tentu saja tidak terima mereka langsung bersiap untuk menghabisi Bagas, mereka berdua kemudian mencabut belati yang mereka miliki yang terselip di pinggang mereka.
Sementara Bagas hanya senyum mengejek melihat mereka berdua mengeluarkan belati, "Maju kalian berdua, biar cepat kuhabisi kalian, agar warga disini terbebas dari kekejian yang kalian lakukan."
"b*****h! Terima ini." Yang berkata adalah seseorang yang tampaknya adalah pimpinan dari tiga orang preman itu, dia maju lebih dahulu kemudian menghujamkan belatinya ke d**a Bagas, Bagas memilih diam saja dan membiarkan lelaki itu melakukannya dengan gerakan yang cukup cepat.
Pemilik warung berteriak ketakutan, mungkin baginya warung yang hancur berantakan serta orang-orang yang berlarian dan tak membayar makanan, Sesungguhnya hal itu belumlah seberapa jika dibandingkan dia harus melihat warung makan yang menjadi pwnuh dengan genangan darah akibat pertarungan orang-orang tersebut.
Alangkah terkejutnya pimpinan preman tadi ketika pisau yang dihunjamkan ternyata tak sanggup menembusnya, malah terdengar bunyi dentringan seperti menghantam sebilah besi, Bagas tertawa terbahak-bahak melihat kejadian itu, dicekalnya leher lelaki tersebut, kemudian dengan gerakan yang cepat bukan main tangan itu dihantamkannya ke arah lututnya dan akhirnya patahlah tangan yang saat itu sedang memegang belati.
Jeritannya terdengar sangat keras menahan sakit yang luar biasa akibat tangannya kini patah karena hantaman lutut Bagas barusan.
Bagas memungut pisau yang terjatuh milik pimpinan preman tadi dan belum sempat preman itu berdiri Bagas sudah melompat dan duduk di atas dadanya.
Dengan bertubi-tubi ditancapkannya pisau itu ke d**a sang pimpinan preman.
Dah pun muncrat kemana-mana, membuat ruangan itu menjadi penuh dengan noda darah yang keluar akibat hunjaman pisau di tangan Bagas ke d**a preman tersebut.
Preman yang tadi terlempar menghantam meja bangkit, nyalinya putus sudah, dia berjalan mundur, bersiap-siap untuk lari meninggalkan tempat itu sedangkan yang satunya lagi terlihat masih punya nyali, dia menghambur menyerang Bagas dengan pisau di tangannya dan dihantamkan ke kepala Bagas.
Tapi lagi-lagi yang terdengar hanyalah dentringan seperti pisau yang bertumbukan dengan besi saat ujung pisau mengenainkepala Bagas, sedikitpun Tidak ada luka, malah kini pisau di tangan Bagas bergerak menyabet ke perut lawannya.
Tak Ayal isi perut sang preman langsung berhamburan keluar, dia pun ambruk dengan tubuh bersimbah darah dan langsung mati di tempat, menyusul Bosnya yang sudah lebih dulu mati dengan d**a yang rusak akibat tikaman Bagas.
Tinggal sisa seorang lagi, dia langsung berbalik untuk lari namun dengan cepat Bagas melemparkan pisau di tangannya yang menancap di leher bagian belakang lelaki itu, dia pun ambruk dan meninggal seketika.
Bapak pemilik warung yang saat itu menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri langsung pingsan, karena tak kuat melihat banyaknya darah mengalir dan menempel di seluruh ruangan rumah makannya. Sedangkan para karyawan sendiri yang melihat kejadian agak jauh, mereka hanya terdiam tak bereaksi apa-apa.
Mereka sangat takut kalau-kalau Bagas mengamuk lagi dan ikut menghabisi mereka.
Bagas kemudian berjalan ke arah mereka yang sedang berkumpul di sudut ruangan.
"Ampun, Mas. Tolong jangan bunuh kami, kami tidak salah apa-apa," kata mereka menghiba dengan mengucapkan airmata dan tubuh bergetar.
"Tenang saja, aku tidak berniat menghabisi nyawa kalian. Aku juga tahu siapa yang salah dan siapa yang benar. Tunjukkan padaku Di mana toilet, aku cuma ingin berganti pakaian."
Bagas pun kemudian diantar oleh salah seorang pelayan menuju toilet, di sana dia pun berganti pakaian, dan pakaian yang berlumuran darah itu dibakarnya di belakang rumah makan.
"Jika nanti ada polisi yang datang, katakan saja apa yang sebenarnya terjadi."
"Ya, Mas," jawab salah seorang karyawan yang tadi bicara dengan Bagas, dia menjawab dengan jawaban yang singkat.
Dengan tenang tanpa ada rasa bersalah Bagas berjalan meninggalkan Rumah Makan itu setelah sebelumnya dia memberikan uang kepada salah seorang pelayan untuk membayar makanan yang dimakannya.
Entah apa yang merasuki Bagas sehingga dia berani dan tanpa rasa takut menghabisi ketiga preman itu dengan brutal, dalam pancaran matanya tak terlihat sedikitpun kalau saat itu dia ingin mengampuni mereka.
Entah mereka akan lari atau tidak terlihat sekali kalau sorot mata Bagas sangat ingin membuat mereka bertiga mati, dan semuanya benar-benar kejadian.
Bagas yang semula hanyalah seorang pemuda yang penuh rasa iri dan dengki telah berubah menjadi seorang pembunuh berdarah dingin yang tak segan-segan menghabisi lawannya tanpa ampun, meski lawannya sudah terlihat lemah sekalipun.
Bagas kini telah menjadi hitam sempurna, masuk ke dalam dunia gelap, Dunia para pendosa yang berlumuran dengan darah.
Tenang Bagas berjalan meninggalkan rumah makan itu tanpa ada rasa takut sedikitpun, ketika sebuah mobil angkot lewat Bagas menyetop angkot tersebut lalu masuk ke dalamnya, angkot pun kemudian berlalu meninggalkan tempat itu.
Tatkala melewat sebuah jalanan yang sepi Bagas kemudian turun dari angkot dan membayar ongkosnya, kembali dia melanjutkan perjalanan memasuki Gang demi Gang dan menghindari dari jalan besar, dia tahu dengan pasti bahwa saat ini para polisi tentulah sudah berada di lokasi kejadian dan bisa jadi sedang memburu dirinya.
Bagas sampai di tepian sungai, di sana dia melihat ada seorang lelaki yang sedang memancing ikan, kalau dilihat dari usianya lelaki itu sepertinya sudah cukup tua karena rambutnya sudah memutih dan kulitnya pun sudah dipenuhi oleh keriput.
Disaat Bagas sedang memandang lelaki tua itu, lelaki tua itu seakan tahu kalau dirinya sedang diperhatikan oleh Bagas.
Dia pun menoleh dan tersenyum kepada Bagas lalu berkata, "Hai anak muda, kemarilah. Setelah menghabisi nyawa tiga orang preman di rumah makan itu, kamu mungkin lelah dan ingin beristirahat. Duduklah di sini jika kamu memang ingin beristirahat."
Bagas terkejut bukan main atas apa yang diucapkan oleh lelaki itu, bagaimana mungkin dia bisa tahu kalau Bagas baru saja menghabisi nyawa tiga orang preman di rumah makan? Sementara dia sendiri sedang memancing di sungai ini?
Bagas berpikir cepat dan dia pun menarik kesimpulan kalau lelaki yang baru saja berkata kepadanya itu tentulah bukan seorang lelaki biasa, pastilah dia seorang sakti karena bisa mengetahui apa yang baru saja dilakukannya, sekalipun berjarak sangat jauh dari lokasinya memancing saat ini.
***