Tanpa rasa Takut

1683 Words
*** Hingga beberapa jam kemudian Faqih akhirnya tersadar dari pingsannya, segelas air jahe hangat yang dibuatkan oleh Kyai Rahman segera diminumkan pada Faqih, membuat Faqih kini merasa lebih segar sekali pun tubuhnya masih terasa sakit di beberapa bagian. "Faqih, kemarilah." Kyai Rahman memanggil Faqih, Faqih bangkit dari pembaringannya dan duduk di kursi yang sebelumnya didudukinya. "Saya kenapa, Kyai?" tanya Faqih dengan pandangan bingung, dia tak menyadari apa yang baru saja dilakukannya dan kenapa sampai dia terbaring pingsan serta tubuhnya terasa sakit. "Sesuatu yang gelap dalam dirimu tak suka kamu berada di sini, terutama dia tak menyukaiku, dan merasa terganggu saat melihat Mandau Haramaung yang tadi terpasang di dinding itu. Kyai Rahman mengambil Mandau Haramaung yang tergeletak di atas meja. Mandau ini adalah pemberian dari seorang sahabat lama, dia asli penduduk Kalimantan ini dan berdarah Dayak, mulanya kupikir ini adalah sebuah senjata Mandau biasa, namun nyatanya secara ghaib aku selalu lolos dari beberapa kali mara bahaya yang coba menyakitiku. Termasuk tadi saat kamu secara aneh melayang di udara." "Apa? Melayang di udara? Mustahil, Kyai. Mana ada orang bisa terbang." Faqih memotong kata-kata Kyai Rahman. "Dalam keadaan normal memang mustahil hal itu dapat terjadi, tetapi saat itu kamu dalam kendali satu kekuatan jahat yang menetap lama dalam dirimu. Aku berhasil melawannya dengan bantuan Mandau Haramaung ini, tetapi kekuatan jahat itu tak mudah begitu saja menyingkir keluar dari dalam tubuhmu. Kekuatan jahat itu harus dibuang, sumbernya jelas dari gurumu yang sengaja memasukkannya untuk membuatmu dalam kendalinya." "Untuk apa guruku melakukan hal itu, Kyai?" tanya Faqih penasaran. "Aku tak tahu, Faqih. Tapi mengingat kekuatan itu begitu jahat dan disusupkan dalam tubuh murid-muridnya sudah pasti aku menduga kalau gurumu itu seperti sedang ingin membuat pasukan." "Pasukan?" kata Faqih dengan nada seperti bertanya, namun lebih pada pernyataan rasa tak percayanya, betapa Faqih tak menyangka kalau gurunya yang selama ini dia hormati memiliki niat yang keji pada murid-muridnya sendiri. "Secepatnya apa yang ada dalam dirimu harus dikeluarkan, dan menjadi tugasmu untuk menghentikan rencana jahat gurumu yang entah apa, namun jika benar niatnya itu terlaksana maka aku khawatir akan terjadi kegemparan besar di tanah Jawa. "Sampai segawat itukah, Kyai?" Nada suara Faqih terdengar sangsi. "Gurumu bukan hanya berusaha memperkuat dirinya dengan banyak ilmu hitam, tetapi juga membangun pasukan yang memiliki kesaktian, jelas itu dilakukan hanya jika dia ingin melakukan serangan besar-besaran." Faqih terdiam, dia merasa begitu dilematis. Di satu sisi Eyang Pranajaya adalah gurunya, tetapi disisi lain mustahil Kyai Rahman mendustainya. Selama ini memang Faqih merasa aneh juga, dalam tiap pertarungan entah bagaimana caranya dia selalu secara tiba-tiba menang tanpa pernah merasa melakukan serangan pada lawan, seakan ada satu tenaga yang tak kasat mata yang mendahuluinya membereskan lawan-lawannya. Jadi kalau dipikir-pikir ucapan Kyai Rahman ada benarnya juga, dan kekuatan tak kasat mata itu adalah makhluk ghaib yang bersemayam dalam tubuhnya, sesuatu yang tanpa dia sadari telah dimasukkan oleh gurunya dari minuman yang pernah diberikan sang guru. "Kalau begitu apa yang akan kita lakukan sekarang, Kyai?" "Satu-satunya jalan dirimu harus diruqyah. Akan tetapi bukan ruqyah biasa. Dan yang mengerti akan hal itu adalah Fendy, sahabatku yang telah memberikan Mandau Haramaung ini." "Kapan kiranya Faqih bisa dipertemukan pada Fendy itu, Kyai?" Kali ini yang bertanya adalah  Rosyid. "Kamu sendiri kan ada pekerjaan yang tidak bisa kamu tinggalkan, bukannya aku tak ingin mengajakmu, tetapi biarlah Faqih untuk sementara di sini bersamaku, dan nanti aku berdua dengan Faqih yang akan menemui  Fendy." "Apakah Kyai tidak berkeberatan dengan adanya Faqih tinggal di sini?" tanya Rosyid. Kyai Rahman hanya tersenyum tanpa menjawab, tetapi cukup membuat Rosyid kalau hal itu tak memberatkan gurunya. *** Rosyid telah sejak tadi berpamitan untuk pulang pada Kyai Rahman, Kyai Rahman pun sudah memintanya untuk tidur agar besok kondisinya lebih fit untuk bertemu dengan Fendy. Kyai masuk ke dalam kamarnya, tinggallah Faqih berbaring di bale bambu yang ada di ruang depan itu. Lampu di ruangan itu sudah dipadamkan. Hanya pendaran cahaya dari luar yang berasal dari rumah di depannya yang masuk lewat celah-celah papan. Siapa adanya Fendy ini? Sesakti apa dia jika Mandau miliknya yang diberikan pada Kyai Rahman saja sudah mampu memapasi keganasan makhluk dalam dirinya. Sementara menurut Kyai Rahman sendiri apa yang mendiami tubuhnya adalah seekor Harimau Hitam yang wujud aslinya adalah seorang lelaki muda dengan mengenakan pakaian prajurit, jadi lebih masuk akal juga jika ternyata gurunya berniat membuat laskar yang isinya orang-orang sakti, tetapi rencana besar apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh gurunya itu? Mengingat gurunya membuat Faqih terbayang kembali awal mula pertemuan dirinya dengan Eyang Pranajaya. Sejak lama sebenarnya Faqih tahu dengan sosok Eyang Pranajaya, tetapi yang dia tahu sebatas bahwa Eyang Pranajaya adalah pendiri, pemilik sekaligus guru besar di Padepokan Silat Emperyan. Banyaknya padepokan silat di kampungnya malah membuatnya enggan untuk masuk ke dalam salah satunya dan menjadi murid. Dia memilih menjadi penonton saja tiap kali digelar acara pertandingan antar perguruan silat, akan tetapi pelan-pelan dia mempelajari jurus-jurus inti yang dimainkan oleh para pesertanya, maka secara diam-diam Faqih menguasai banyak jurus inti dari masing-masing Padepokan tanpa harus masuk menjadi murid padepokan itu. Namun sudah pasti akan sulit dia menerapkan apa yang dilihatnya jika dia sendiri tak memiliki basic ilmu bela diri juga, dan untunglah sejak kecil dia sudah diajarkan dasar-dasar ilmu bela diri dari bapaknya. Faqih kecil sudah terbiasa dengan pertarungan, entah itu dengan teman sepermainannya sendiri ataupun melawan anak-anak seusianya dari desa tetangga. Kebanyakan pertarungannya lebih disebabkan pembelaannya pada sahabat kecilnya Annisa yang saat mereka berdua beranjak dewasa kini malah jadi sepasang kekasih. Setiap kali dilihatnya Annisa menangis pertanyaan yang diajukannya adalah siapa yang telah membuat Annisa menangis, ketika Annisa menyebutkan satu nama dan Faqih tahu orang yang dimaksud dengan segera didatanginya orang itu, tanpa menunggu penjelasan langsung di serangnya sampai babak belur. Jika lawan memiliki ilmu bela diri maka akan terjadi perkelahian sengit antara Faqih dengan lawannya itu  tetapi jika lawannya tak punya ilmu bela diri maka otomatis sang lawan hanya akan menjadi bulan-bulanan Faqih. Puluhan kali orang tuanya didatangi para orang tua yang anaknya dibuat penuh luka oleh Faqih, dan orang tuanyalah yang akhirnya menanggung semua pengobatannya. Ibunya Faqih adalah orang yang paling tak suka jika Faqih berkelahi. Faqih mungkin memang menang dalam perkelahian, tetapi bapaknyalah yang menanggung risiko untuk mengobati dan Faqih sendiri harus bersiap untuk menerima pukulan demi pukulan dari sang Ibu. Faqih tak pernah melawan sekalipun dia merasakan sakitnya pukulan Ibunya. Tetapi jika ada Bapaknya maka Faqih akan merasa senang karena dia akan lepas dari pukulan Ibunya. Bapaknya memang tak pernah melarang Faqih berkelahi, selama dia tak memulainya lebih dulu. "Setiap anak lelaki akan tiba masanya kelak berhadapan dengan situasi yang memaksanya untuk berkelahi, dan rugilah anak lelaki yang hang sejak kecil tak pernah dididik ilmu Bela Diri." Kata-kata itulah yang selalu diucapkan oleh Bapaknya di hadapan Ibunya sendiri sebagai bentuk pembelaan. Pada suatu ketika saat Faqih sedang duduk-duduk di pasar memandangi orang yang lalu lalang, dia memang menjadi pekerja lepas di pasar kampungnya, tenaganya yang kuat itu sering kali dimanfaatkan oleh beberapa pemilik toko yang akan membayarnya atas jasa Faqih menurunkan barang-barang dari dalam mobil truk ke dalam toko. Ketika pekerjaannya selesai, biasanya Faqih akan langsung menerima bayaran, kalau sudah begitu biasanya dia akan mampir ke warung makan. Kalau dia lapar maka dia akan memesan nasi dengan lauk pauknya, tetapi jika masih kenyang karena sudah makan sebelumnya dari rumah maka dia biasanya hanya memakan sekedar gorengan dan memesan segelas kopi s**u, sebungkus rokok mild akan menjadi teman yang pas saat beristirahat menghilangkan lelahnya. Saat itulah sebuah peristiwa yang tak pernah diduga oleh Faqih terjadi begitu saja di depan mata Faqih. "Lu udah tiga hari ini gak setor uang keamanan sama gw! Mau cari mampus lu, hah!" Seseorang dengan kumisnya yang tebal, mengenakan jaket hitam, namun terlihat kalau fisiknya sebenarnya terbilang kurus, tangannya tengah mencengkeram kerah baju pemilik warung. Wajah pemilik warung sudah terlihat pucat, tapi dia tetap diam dengan kedua matanya yang melotot memandang penuh ketakutan pada lelaki yang memegang kerah bajunya dengan kuat itu. "Ampun, Mas. Warung saya baru buka hari ini, tiga hari saya memang nggak buka warungnya karena saudara saya sedang ada hajat." "Bagus dong. Berarti lu lagi banyak duit, sekarang lu bayar iuran keamanan lu yang nunggak selama tiga hari ini. Kalau nggak gua acak-acak nih dagangan lu!" "Lho kok tiga hari, Mas? Kemarin-kemarin kan saya nggak dagang?" Lelaki pemilik warung itu coba protes dan terlihat menolak kemauan lelaki berjaket hitam. Satu pukulan mendarat di pipinya, lelaki pemilik warung itu meringis menahankan rasa sakit yang membuat pandangannya jadi gelap. Lelaki berjaket itu melepaskan cengkeramannya di leher baju pemilik warung. "Lekas mana duitnya?!" "Ampun, Mas. Warung saya baru buka, belum banyak pemasukan...." Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan oleh sang pemilik warung. Detik berikutnya lelaki berjaket itu memasukkan tangannya ke dalam jaket hitamnya, sudah bisa dipastikan bahwa lelaki itu akan mengambil sebuah senjata tajam dari dalam jaketnya tersebut. Faqih yang memang sejak tadi diam-diam memperhatikan dan menyimak kejadian tersebut segera bertindak cepat. Sebelum lelaki itu sempat menarik senjatanya Faqih sudah lebih dulu melemparkan gelas berisi kopi panas yang baru saja diterimanya dari pemilik warung dan belum sempat diminumnya karena memang masih panas. Hal tersebut membuat para pengunjung warung langsung bubar berlarian keluar. Lelaki kurus berjaket hitam itu mundur beberapa langkah sampai keluar dari dalam warung dan terjungkal ke belakang, dia menjerit keras sekali. Bukan hanya karena panasnya air kopi yang mengguyur wajahnya, tapi hantaman gelas ke mukanya itu tepat mengenai keningnya dan sampai pecah berkeping-keping. Faqih keluar dari dalam warung dan menghampiri lelaki yang tadi terlihat beringas kini layaknya seperti ayam yang disembelih. Kaki dan tangannya bergerak ke sana ke mari. "b*****t! Siapa yang berani-beraninya menyiram gw pake air kopi ini?!" Faqih berniat menendang tubuh yang terbaring tak berdaya di jalanan itu, tetapi kakinya ditarik kembali. Sekitar sepuluh orang dengan mengenakan jaket yang sama dengan orang yang tadi dilemparnya dengan kopi kini telah mengepungnya dengan senjata lengkap. Ada yang memegang pisau, ada juga yang memegang pedang pendek. "Mental pengecut! Beraninya main keroyokan!" Faqih berkata dengan nada penuh ejekan. Faqih bersiap dan nekat untuk menghadapi kesepuluh lawannya tanpa rasa takut, sudah kepalang tanggung dia yang memulai lebih dulu untuk turut campur pada masalah orang lain. Kini dia harus terima konsekuensinya, menghadapi sepuluh orang bersenjata seorang diri ... Dengan tangan kosong!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD