***
Pranajaya akhirnya mengetahui kalau Faqih akhirnya telah berhasil melepaskan jin yang selama ini tertanam dalam dirinya, tentu saja itu membuat Pranajaya menjadi marah besar, karena dia menaruh harapan besar kalau muridnya itu akan menjadi salah satu kekuatan besar yang ikut membantunya kelak dalam menguasai seluruh tanah jawa dalam kekuasaannya. Tetapi semua impian itu kini musnah sudah.
Pranajata mengetahui hal itu saat dia berkunjung kembali ke Gunung Lawu, di mana dia menemui raja jin dan mengikat perjanjian. Raja jin lah yang mengatakan kalau Faqih telah lepas dari kendali salah satu jin prajuritnya. Pranajaya yang mencoba meminta bantuan raja jin agar bagaimana pun caranya Faqih dalam kembali dalam pengaruhnya ditolak, tak ada cara lain selain cara yang sebelumnya dilakukan oleh Pranajaya dulu saat dia memberikan minuman kepada Faqih dan mengisikan langsung aura jahat ke dalam diri Faqih.
Mengetahui bahwa dia tak mungkin lagi membuat Faqih menjadi bagian dari pasukan yang tengah di bangunnya, Pranajaya kini malah menjadi khawatir, sebab ketika Faqih tak lagi ada dalam kendalinya maka bukan mustahil kalau Faqih justru hanya akan menjadi bagian dari yang akan merintangi dan menjegal impiannya.
Hal itulah yang akhirnya membuat Pranajaya berpikir nekat, dia akan menghabisi Faqih sebelum Faqih bertindak melawannya kelak.
Mengingat kini Faqih tak berada di pulau jawa, dan Pranajaya tahu kalau Faqih tengah merantau ke Kalimantan, dia kemudian memiliki rencana untuk menghabisi Faqih dari jarak jauh yaitu lewat media santet. Hanya santet lah satu - satunya cara yang mungkin dia lakukan untuk melenyapkan Faqih agar berkurang satu lagi lawannya, Sekali pun Faqih adalah muridnya namun Pranajaya tak mau berlaku gegabah, sebab awal dari kejauhan seseorang adalah ketika dia mulai meremehkan. Dan dia tidak akan meremehkan Faqih.
Maka ketika keinginannya kepada raja jin ditolak, dia pun meminta sebuah ilmu baru yang bisa melenyapkan nyawa lawannya dari jarak jauh.
Raja jin pun mengabulkannya, dia dinerikan satu ilmu santet tingkat tinggi, dan dengan ilmu santet itulah Pranajaya akan menyantet muridnya sendiri, Faqih.
Pranajaya menunggu hari yang tepat untuk malaksanankan aksinya, dan hati itu tiba, malam jum'at Kliwon.
Semua sarana yang akan digunakannya untuk melancarkan ilmu santet telah dia persiapkan dari jauh hari.
Dari mulai kemenyan sampai ayam yang warna bulunya berbuka hitam, tinggal dia melakukannya saja.
Malam itu Padepokan Emperyan sudah sepi dari murid - muridnya yang biasa berlatih bela diri. Sekitar jam delapan malam semua sudah pulang hingga yang tersisa hanya Pranajaya sendiri. Dia berencana akan melancarkan ilmu santetnya itu di Padepokannya ini.
Semakin malam suasana di Padepokan Emperyan semakin sunyi dan mencekam, di luar hanya suara gesekan daun-daun pepohonan yang terdengar nyaris tak ada tanda-tanda kehidupan yang bisa dirasakan.
Pranajaya membuat segelas kopi untuk mengusir rasa kantuk yang mulai dirasakannya, seorang diri dia duduk di depan rumah Padepokan Emperyan.
Lima menit lagi waktu akan menunjukkan pukul dua belas Selamat Malam. Dan saat itulah dia akan melaksanakan niat buruknya.
Diteguknya kopi yang mulai dingin, Pranajaya masuk ke dalam rumah, menuju sebuah ruang kamar yang selama ini tak pernah dimasuki oleh siapa pun. Kamar itu selalu dalam keadaan tergembok, tak satu pun murid-muridnya yang diperbolehkan untuk memasukinya, dan ruangan itulah tempat dia mempersembahkan tumbal sebagai ganti dari ilmu yang di dapatkannya dari raja jin di gunung Lawu.
Dupa yang berisi kemenyan telah dinyalakan, ayam berbuka hitam telah disembelihnya dan dia bersiap membaca mantra santet yang akan dikirimkannya kepada Faqih.
Dengan media sebuah boneka kecil terbuat dari jerami yang diletakkan di hadapannya.
Waktu terus berlalu, Pranajaya terlihat belum bergerak dan beranjak dari tempatnya duduk. Namun saat matanya yang sejak tadi terpejam itu dibuka, mulutnya berhenti berkomat-kamit. Tangannya meraih boneka jerami dan melemparkannya dalam Dupa.
===
Waktu menunjukkan pukul setengah satu dini hari, sejak pukul sebelas malam acara pengajian rutin malam yang diadakan di rumah Fendy selalu dilaksanakan bersama keluarga besarnya, namun ada yang berbeda kali ini karena dia juga mengundang Faqih, Kyai Rahman dan Rosyid untuk turut serta dalam acara tersebut.
Kalau pada malam jum'at yang lalu-lalu setiap kali usai acara semua undangan akan selalu bubar dan kembali ke rumahnya masing-masing. Namun karena malam ini berbeda, maka Fendy masih terlibat obrolan seru dengan ketiga orang tamunya.
"Jadi kamu langsung pergi begitu saja dan memilih berhenti dari pekerjaanmu sebagai seorang tukang di proyek itu?" tanya Fendy.
"Bukan saya yang memilih berhenti, Mas Fendy. Tapi saya yang diberhentikan oleh pemilik proyeknya sendiri." Faqih menjawab pertanyaan Fendy tentang putusnya ikatan kerja Faqih dengan proyek yang tengah dikerjakannya.
"Jelas itu keputusan sepihak yang tak didasari fakta. Sebab belum didengarnya sendiri keterangan langsung dari Mandor Salman. Terlihat jelas kalaupun berhenti ya Faqih sudah dirancang dan diperhitungkan sebelumnya." Fendy mengerutkan dahi seraya meletakkan tangannya di dagu.
"Biarlah Mas Fendy, Nanti saya yang akan urus soal ini ke Pak Sofyan langsung, saya yang akan berlangsung bicara pada Pak Sofyan, kini biar nanti dia sendiri yang memanggil Mandor Salman untuk mengorek keterangannya." Rosyid ikut nimbrung memberi masukan.
"Hadapi saja ujian ini dengan ikhlas, Faqih. Semua akan ada hikmahnya jika kamu bisa menerimanya dengan lapang d**a dan kebesaran hati. Tetapi aku sendiri termasuk yang senang dengan reaksi Faqih, yang tetap bisa bersikap tenang, berbeda dengan Faqih ketika dulu masih dalam kendali jin itu." Kyai Rahman berkata.
"Benar sekali, sikap tenang Faqih ini nantinya akan berguna bagi dirinya saat tiba waktunya berhadapan dengan gurunya sendiri, karena Eyang Pranajaya semakin hari hanya akan semakin kuat dan pasukan yang disiapkan ya pun akan semakin besar, akan sulit nantinya jika sudah semakin besar bagi Faqih untuk menghentikannya." Fendy menambahkan.
"Kalau begitu, kapan kiranya waktu yang tepat bagi Faqih untuk berangkat kembali ke pulau Jawa menghadapi gurunya?" tanya Rosyid.
"Kalau menurutku, sebaiknya selesaikan dulu masalah Faqih di sini, andaipun dia tak lagi bekerja di proyek itu setidaknya nama baik Faqih sudah dipulihkan. Karena kejadian pemecatan Faqih ini kutakutkan akan mencoreng namanya di kota ini. Setelah masalahnya selesai segeralah berangkat untuk menghentikan niat buruk Gurunya itu."
Baru saja Fendy berkata-kata tiba-tiba tubuh Faqih mengejang dan menggelepar-gelepar bagai ayam yang baru saja disembelih lehernya.
Rosyid tampak panik, sementara Kyai Rahman menatap sahabatnya seakan meminta pendapatnya, apa yang akan dilakukan terhadap Faqih yang sedang terkapar dan menjerit-jerit itu.
"Lekas pegang tubuh Faqih, aku akan coba melihat apa yang sebenarnya terjadi."
Fendy memejamkan matanya berkonsentrasi, dan sedangkan Kyai Rahman dan Rosyid memegangi tubuh Faqih yang terus meronta-ronta.
"Ini santet! Aku melihat tubuh Faqih diselubungi kobaran api. Bacaan ayat kursi terus menerus dan salurkan ke tubuh Faqih. Aku akan menelusuri siapa pengirim santet ini yang telah dengan keji ingin mencelakakan Faqih!" Kata-kata Fendy barusan ditujukan kepada Kyai Rahman.
Kyai Rahman melakukan apa yang diminta sahabatnya dan tahu-tahu Faqih yang semula berteriak-teriak kesakitan kini berganti dengan tertawa terbahak-bahak, tetapi dari suaranya yang berubah jelaslah kalau itu bukan suara Faqih.
"Hahaha .... Rupanya kamu yang telah mengusir dan membunuh jin yang kutanamkan dalam tubuh pemuda ini."
"Siapa kamu?!" tanya Fendy.
"Aku adalah Pranajaya, guru dari pemuda ini, berani-berani ya kamu turut campur dengan urusanku!"
"Menjadi kewajiban untuk turun tangan jika di badaoanku terjadi tindak kezhaliman. Perbuatan memasukkan jin ke dalam tubuh Faqih dan menguasainya untuk kemudian kamu jadikan bagian dari pasukanmu dalam mencapai keinginanmu adalah perbuatan terkutuk!" Fendy membela diri.
" Simpan saja segala omong kosongmu. Ikut campur dalam urusanku berarti sama artinya dengan kamu mengundang kematianmu sendiri!"
"Hidup dan mati adalah atas kehendak Allah juga. Bukan hakmu menentukan kehidupan dan kematian seseorang."
"Tutup mulutmu dan terima ini."
Tubuh Faqih meronta dan membuat Rosyid maupun Kyai Rahman terpental ke dinding, keduanya meringis menahan sakit akibat beradunya punggung mereka dengan dinding dengan keras.
Sementara Faqih langsung melesat menyerang Fendy.
Fendy yang memang sudah bersiap dari tadi segera mencabut Mandaunya dan bertakbir dengan keras.
Tubuh Faqih terlempar kuat menghantam dinding. Lalu jatuh dan diam, Fendy mendekati Faqih dan menggoreskan tangannya ke punggung Faqih. Saat itu Faqih langsung meminta kan darah hitam kental dari mulutnya, kemudian kembali pingsan.
"Eyang Pranajaya rupanya tidak main-main, hampir saja Faqih mati terkena santetnya kalaupun kita tidak bertindak cepat, apa jadinya kalau misalnya Faqih malam ini tidak sedang berada di sini." Fendy menggumamkan kata-kata namun masih terdengar jelas oleh Rosyid maupun Kyai Rahman.
"Bagaimana kondisi Faqih sekarang?" tanya Rosyid khawatir.
"Biarkan saja begitu, sebentar lagi juga dia akan sadar dengan sendirinya. Aku pun telah memagarinya agar santet itu tak kembali menyerang Faqih." Fendy memasukkan kembali Mandau miliknya.
Tikar dalam ruangan yang berfungsi sebagai musholla itu kini acak-a akan akibat kejadian tadi. Fendy, Kyai Rahman dan Rosyid membenahi kembali ruangan tersebut.
"Sejujurnya aku ingin sekalipun berangkat menemani Faqih kembali ke desa ya di Jawa. Tetapi saat ini sebenarnya aku sendiri tengah malam njalani sebuah ritual di mana aku tak boleh m meninggalkan kota ini, tapi pikiran terlebih lagi pulau ini kalaupun tak ingin ritual yang sedang kujalani gagal dan harus mengulang kita mbali dari awal." Wajah Fendy sedikit murung saat matanya gatakan hal itu.
"Kalaupun begitu, biarpun aku saja nanti yang menemani dan membantunya," kata Kyai Rahman.
"Syukurlah kalau dia ada teman yang bisa menemaninya. Sekalipun aku tak ikut berangkat akan tetapi aku akan tetap memantau segala perkembangannya dari sini dan membantu semampu yang kubisa." Fendy berkata.
"Apakah saya boleh turut serta, Mas Fendy?" tanya Rosyid.
"Sebelumnya saya minta maaf, saya Mas Rosyid, tak adapun maksud saya hendak mengecjlkan atau merendahkan Mas Rosyid, tapi sepertinya tak perlu, Mas. Selain Mas Rosyid ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, keberangkatan Mas Rosyid malah bisa membahayakan diri Mas Rosyid sendiri." Penuh kehati-hatian Fendy mengatakan hal itu tidak karena takutnya apa yang dia katakan tersebut akan melukai hati Rosyid.
Rosyid sebenarnya paham dengan konsekuensi yang akan dia hadapi sekiranya dia nekat berangkat menyertai Faqih kembali ke tanah Jawa tanpa harus dikatakan oleh Fendy, dia mengatakan hal itu karena dia begitu mengkhawatirkan keselamatan Faqih saja. Tetapi agaknya Rosyid cukup bisa memahami dan mengerti apa yang baru saja dikatakan oleh Fendy. Dia pun tak ingin memaksakan diri, dia cukup merasa tenang karena kepergian Faqih akan ditemani oleh Gurunya, dan Kyai Rahman.
Malam itu terasa kian mencekam, hingga adzan subuh berkumandang barulah Faqih siuman dari pingsannya, dia bertanya apa yang sebenarnya telah terjadi, dia sama sekalipun tak sadar dengan apa yang baru saja dialaminya, maka Kyai Rahman dengan lembut mulai menceritakan apa yang menimpa Faqih pada kisaran pukul satu dini hari malam itu.
Faqih hanya terbenging tak percaya, andai saja bukan Kyai Rahman yang bercerita sudah pasti akan dia bantah. Sungguh, Faqih tak menyangka kalau kekejian gurunya sampai sejauh itu. Tega untuk membunuh muridnya sendiri dengan santet!
***