Lelaki Yang Kau Tolak Jadi Suami Ternyata Seorang Milyarder Tampan
#TERIMA_KASIH_TELAH_MENCINTAIKU (6)
Slow update, ya! Sambil nunggu kontrak dari Innovel turun 😅. Lopein dulu saja, nanti ngebut.
Hari minggu pagi. Sukma sudah selesai mengerjakan pekerjaan rumah. Ambu memintanya bangun dari jam empat pagi untuk beres-beres rumah dan menata semuanya. Sehingga menjelang pukul tujuh, semuanya sudah selesai.
Usai menata sarapan nasi goreng bakso di atas meja. Sukma bergegas ke kamar. Dia mengambil pakaian yang dibelinya sendiri kemarin di pasar. Sukma minta di anter Bi Esih untuk memilihkan pakaian untuk hari pertemuannya dan sekaligus bertunangan katanya.
“Ambu, Abah … aku pergi ke salon dulu! Katanya jam sepuluhan keluarga Pak Bagas akan datang, ya?” Tas kecil sudah diselempangkannya dan bersiap untuk pergi.
“Gak sarapan dulu?” Abah menoleh.
“Sudah, Bah! Tadi duluan!” ujar Sukma sambil menghampiri Abah dan Ambu. Diciumnya tangan mereka dengan sopan. Lalu Sukma berjalan keluar.
Seburuk apapun perlakuan yang didapat di rumah ini selama dia tinggal. Abah dan Ambu adalah pengganti orang tuanya. Tanpa kelapangan d**a mereka, entah di mana sekarang dia tinggal. Beruntung dulu almarhum ayahnya bekerja di toko sembako milik Abah. Jadinya ketika semua kenaasan terjadi, Abah peduli dengan keluarganya. Kata Abah, almarhum ayah Sukma adalah orang yang cukup membantu Abah selama ini. Almarhum ayah Sukma menitipkannya pada Abah menjelang titik napas terakhir berhembus.
Sisil baru saja keluar dari kamar. Langsung duduk di dekat Ambu di meja makan. Senyumnya sumringah dan lebar. Dia mengucek matanya lalu mengambil piring dan menyendok nasi.
“Anak gadis kok jorok! Mandi dulu, cuci muka, sikat gigi … baru sarapan!” ucap Abah sambil menatap muka bantal Sisil.
“Ih, Abah mah bawel! Berisik!” ucapnya.
Sisil beringsut pergi, tetapi tak seberapa lama kembali. Abah menatap lagi, belum mengeluarkan kata-kata tetapi Sisil sudah menjawabnya.
“Mandinya entaran, Bah! Sekalian langsung make up! Ini udah cuci muka sama gosok gigi. Hari ini ada janjian sama Ahsan soalnya!” ucap Sisil dengan wajah bersemu.
Seketika netra Ambu berbinar mendengar penuturan putri semata wayangnya. Dia menatap Sisil sekilas, lalu menoleh pada Abah.
“Alhamdulilah, Bah! Rupanya kita akan jadi besanan sama Pak Camat! Sisil beruntung ya, Bah!” ucap Ambu.
Abah terdiam. Ada rasa tak nyaman di hatinya. Bagaimanapun lelaki yang separuh rambutnya sudah beruban itu tahu jika masih ada rasa antara Sukma dan Ahsan.
“Sil, kalau bisa kamu cari lelaki lain saja. Kasihan Sukma kalau kamu sama Ahsan. Hatinya mungkin masih mencintai Ahsan. Dia kan sudah baik sama kamu, mau gantiin kamu nikah sama anaknya Pak Bagas. Harusnya kamu meraba hatinya, Sil!" Pada akhirnya Abah berucap.
“Abah tuh suka gituh, sebenarnya yang anak Abah itu aku atau Sukma, sih? Apa-apa mikirin Sukma, apa-apa mikirin Sukma?” Sisil merengut.
“Sudah! Sudah! Sarapan dulu! Jangan dengerin Abah kamu! Biar saja. Ambu setuju kalau kamu sama Ahsan. Duh udah gak sabar punya besan anak Pak Camat!” ucap Ambu sambil senyum-senyum sendiri.
Usai sarapan, Sisil langsung kembali ke kamarnya. Memilah pakaian yang sudah Sukma setrikakan untuknya. Ya, setiap hari urusan mencuci dan menyetrika itu tanggung jawab Sukma. Begitupun dengan meja makan yang masih berantakan. Menunggu Sukma pulang untuk dibereskan. Mana pernah Sisil menyentuh piring dan gelas kotor.
Sukma sudah hampir selesai di make up. Dia sudah mengenakan pakaian baru yang tadi dibawanya. Bukan dress terbuka seperti yang Ambu belikan. Sukma hanya memakai terusan panjang dengan outer. Roknya menjuntai hingga ke mata kaki. Meskipun belum behijab, tetapi Sukma tidak suka memakai pakaian yang terbuka. Risih, katanya.
Rambut ikalnya yang sebatas punggung terurai indah bergelombang, hitam pekat dan lebat. Ada beberapa helai mempermanis bagian wajahnya. Make up tipis minimalis tampak membuat gadis berlesung pipit itu nyaris sempurna.
Sukma pulang menaiki ojek. Sekitar pukul Sembilan pagi sudah tiba di kediamannya. Beruntung salonnya sudah langganan. Jadi awal pagi sudah janjian. Dia datang sudah ada pegawai yang disediakan untuk menyambutnya.
Kaki Sukma baru saja menginjak halaman rumah Abah. Ketika sebuah sepeda motor berbelok dan parkir tidak jauh dari tempatnya berdiri.
DEG!
Hati Sukma mendadak bertalu-talu. Lelaki yang selama ini dihindarinya kini berada di depannya.
Ahsan membuka helm dan menoleh ke arahnya. Sukma membuang muka, tak sanggup bersitatap dengan mantan yang masih mengisi hatinya itu. Teringat belum membayar tukang ojek. Sukma mengambil beberapa lembar dari dalam tasnya lalu menyerahkan pada tukang ojek yang tadi.
“Makasih, Bang!”
“Sama-sama, Mbak!”
Tukang ojek itu berlalu meninggalkan Sukma. Sedangkan Sukma menunduk, lalu mengayun langkah tergesa hendak masuk.
“Sukma!”
Sontak langkahnya terhenti ketika Ahsan meraih tangannya dari belakang. Hati Sukma berdentum-dentum kencang. Seluruh perasaan bercampur baur tak karuan. Waktu seolah berhenti. Tubuhnya meremang.
“Sukma, aku ingin kita bicara!” ucap Ahsan yang sudah berada di sampingnya. Tangannya masih memegang pergelangan tangan Sukma.
“Mas, semuanya sudah jelas! Aku akan menikah dengan orang lain! Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi!” ucap Sukma sambil memalingkan wajah. Berada dalam jarak sedekat itu dengan Ahsan membuatnya gugup luar biasa.
“Bukankah kamu waktu itu sudah berjanji, bersedia menikah denganku?” Ahsan tetap menanyakan hal yang Sukma takutkan.
Sukma menepis genggaman Ahsan pada lengannya ketika dari sudut netra dia menatap Sisil berlenggang ke arah mereka. Wajahnya ketus tak bersahabat.
“Maaf, Mas … aku masuk dulu! Faktanya aku akan menikah dengan orang lain, jadi lupakan aku!” lirih Sukma seraya menahan sesak yang tiba-tiba membuat tenggorokannya tercekat.
Ahsan meraih jemarinya lagi. Dia seolah tak peduli ada dua netra Sisil yang membulat menatap tidak suka.
“Kumohon Sukma! Kita pasti bisa melewati semua jika bersama. Tolong, jujur pada hatimu, masih ada aku 'kan di sana?” lirih Ahsan.
Sukma menarik napas panjang. Dikumpulkannya keberanian. Dia harus tegas pada diri sendiri dan keputusan yang sudah diambilnya. Sisil berdiri beberapa langkah tidak jauh dari mereka sambil menatap Sukma tajam.
“Lupakan aku. Aku sudah menerima pernikahan ini. Aku sudah lelah hidup susah. Di kota aku akan hidup berkecukupan. Jadi lupakan aku.” Suara Sukma gemetar mengutarkan apa yang bukan alasan sebenarnya.
“Kamu bohong ‘kan? Ini bukan Sukma yang aku kenal,” ucap Ahsan tampak kecewa.
Belum Sukma menjawab. Sebuah Alphard putih masuk ke halaman rumah Abah. Semua netra menoleh ke arah mobil yang datang itu.
Sukma menarik tangannya yang masih digenggam oleh Hasan. Pintu Alphard terbuka. Pak Bagas dan Bu Ayu turun. Dia menatap heran pada ketiga orang yang tengah mematung kaku. Supir bergegas mengambilkan kursi roda dari bagasi. Lalu menyiapkannya, setelah itu dengan sigap dia membukakan pintu. Lalu membantu seorang lelaki dengan kemeja abu-abu untuk duduk pada kursi roda itu.
Sukma menoleh dan mengulas senyum menyambut Pak Bagas dan Bu Ayu. Sementara itu, Sisil melongo menatap paras lelaki yang duduk di kursi roda itu. Wajah bersih dengan rahang tegas membingkai wajah dengan ekspresi datar itu. Hidung bangir dan bibir merahnya membuat Sisil menelan Saliva. Ketampanan anak Pak Bagas yang duda dan cacat ternyata dua kali lipat dari ketampanan Ahsan yang kini tengah digelayuti lengannya olehnya.