Bab 4

1139 Words
TERIMA_KASIH_TELAH_MENCINTAIKU (BAB 4) Masih slow update, ya, sambil Nungguin kontrak dari Innovel turun 😅. Kalau sudah oke, nanti kita ngebut! Lopein dulu saja yang banyak 😁😁😁 “Aku kuat … aku kuat … aku harus melupakan dia ….” Sukma kembali ke kamar. Ditutupnya pintu itu rapat-rapat. Dia tidak mau mendengar apa saja yang diobrolkan Ahsan dengan Sisil. Dibukanya ponsel sederhananya. Ponsel yang hanya bisa melakukan panggilan sms karena ponsel yang dimilikinya itu ialah ponsel jadul bekas Abah. Itu pun sudah dia ikat pakai karet. Dia diberikan ponsel itu oleh Ambu agar mudah ketika Ambu butuh sesuatu. Terdengar suara notifikasi pesan masuk dan getar pada ponsel kecil itu. Ada pesan masuk rupanya. Sukma melirik sekilas. Namun dia abaikan. Gadis itu melanjutkan kembali kegiatan membuat cerita anak. Kerinduan pada almarhum Ibu pada akhirnya membuatnya menjadi lebih suka mengarang. Mengisahkan cerita yang indah untuk anak-anak dengan goresan tangan. Bunyi gawai jadulnya kembali berdering. Sukma mengambilnya kali ini. Dibukanya layar kecil itu. Ada dua pesan dari kontak yang diberinya nama masa lalu. [Dek, bisa kita bicara?] Selang beberapa menit, ada lagi pesan susulan. [Dek, aku tunggu diluar! Aku mau bicara, please?] Ada dua pesan sms dari Ahsan. Sukma menghela napas. Lalu melempar pandang pada langit-langit kamar. Teringat pesan Ambu agar tidak lagi menemui Ahsan. Terngiang kembali semua ucapan yang Ambu lontarkan. “Anggap saja kamu sama Ahsan emang gak jodoh. Lagian kamu harus ngukur diri, Ahsan itu calon sarjana, anak Pak Camat, ganteng, masa depannya cerah. Sedangkan kamu pendidikan SMA saja gak ada. Ambu sih yakin kalau keluarganya Ahsan juga gak bakal setuju sama kamu. Sekarang udah jangan sedih lagi, sudah syukur itu anak Pak Bagas mau ama kamu. Jadi kamu gak mungkin jadi perawan tua!” Sukma menarik napas panjang. Hatinya teriris setiap mengingat rentetan kalimat Ambu. “Iya, yang Ambu ucapkan itu betul … aku harus mengukur diri … betul yang Ambu ucapkan … jika keluarga Mas Ahsan belum tentu setuju … betul yang Ambu ucapkan … aku seharusnya bersyukur karena ada yang mau dan tidak menjadi perawan tua … tapi, kenapa hati ini masih saja sesak, Ya Allah …?” lirih Sukma sambil menghalau cairan bening yang memaksa keluar dari sudut netra. Sukma kembali merebahkan tubuh. Menatap langit-langit seraya menautkan hatinya pada sang pemilik kehidupan. Jiwanya benar-benar rapuh saat ini. Hati hampa mengawang-awang. Sukma mengabaikan gawai yang terus-terusan bergetar. Mungkin Ahsan mengirimi pesan lagi atau melakukan panggilan. Namun apa mau dikata? Apakah dengan bertemu Ahsan masalah akan selesai? Tidak. Jadi Sukma lebih memutuskan untuk diam. Terlebih, Ambu sudah mewanti-wanti agar Sukma tidak boleh lagi menemui Ahsan. Akhirnya Sukma memilih tetap berada di kamar dan memejamkan mata. Berusaha menepis bayang-bayang yang bergelayut di dalam benaknya. Bayang kenang masa-masa indah yang mereka renda bersama berlarian. Bagaimana Ahsan dengan tulus membuka hati menerimanya. Ah, semakin diingat semakin membuat d**a Sukma terasa sesak. Ahsan yang duduk gelisah di teras rumah berkali-kali melirik ke arah pintu. Berharap wanita yang masih mengisi ruang hatinya itu menampakkan diri. Berulang dikirimnya pesan dan panggilan, akan tetapi sama sekali tidak ada balasan. Tidak juga wanita istimewa itu menjawabnya. “Diminum, Mas! Ini buatanku sendiri!” Sisil menyodorkan cangkir teh manis itu pada Ahsan. “Makasih,” ucap Ahsan datar. Dia mengambil cangkir itu karena sudah beberapa kali Sisil menawarinya. “Mas Ahsan kuliah jurusan apa, sih? Kok bisa kenal sama Sukma? Aku malah baru ketemu sekarang sama Mas Ahsan?” tanya Sisil sambil memasang senyum termanis yang dimilikinya. Melihat sosok Ahsan yang tampan dan tampak pintar, membuatnya seketika membuang jauh-jauh sosok Andre yang beberapa minggu ini membuatnya galau. Ahsan jauh ke mana-mana di atas Andre. Terlebih dia itu anak Pak Camat. “Jurusan Tekhnik,” jawab Ahsan datar. Sudut netranya masih asik melihat pada daun pintu yang diharapnya segera terbuka. “Wah, kalau aku jurusan akuntansi, Mas! Rencana nanti kalau lulus mau kerja kantoran saja!” jelas Sisil tanpa menunggu ditanya. Ahsan tersenyum canggung. Hatinya sudah mulai kesal menunggu Sukma yang tak jua membalas pesannya, tidak juga keluar. Lalu dengan ragu dia menatap wajah Sisil. “Sil, bisa minta tolong gak?” tanya Ahsan sambil menatap sekilas. Sisil mengangguk cepat sambil tersenyum. “Bisa lah, Mas! Mau minta tolong apa? Seneng deh kalau bisa bantuin Mas Ahsan,” ucapnya sambil mengumbar senyum. “Aku ke sini sebetulnya mau ketemu sama Sukma juga! Bisa minta tolong panggilin?” ucap Ahsan pada akhirnya. Sisil terdiam sejenak. Hatinya mendadak kesal mendengar nama Sukma diucap. Namun bagaimanapun dirinya harus kelihatan baik di mata Ahsan. Sisil ingin memberikan kesan manis pada pertemuannya dengan lelaki bertubuh jangkung itu. “Sebentar, aku coba lihat dulu ke kamarnya, ya!” ucap Sisil sambil berdiri. Berjalan melenggok memamerkan kaki jenjangnya yang terbuka hingga sedikit ke atas lutut. “Makasih,” jawab Ahsan lirih. Hatinya sudah tidak karuan. Bagaimanapun dia ingin mendengar langsung penuturan dari Sukma, bukan hanya dari Ambu ataupun Sisil. Setelah beberapa menit, Sisil kembali. Berjalan menghampiri Ahsan. “Mas, maaf … Sukmanya sudah tidur rupanya! Ya maklum lah sebentar lagi dia akan nikah! Jadi harus jaga kesehatan dan stamina, Mas!” ucap Sisil. Padahal dia tak juga menengok Sukma di kamarnya. Hanya saja masuk ke dalam untuk mengelabui Ahsan agar percaya jika dia akan memanggil Sukma. “Oh, memang kapan pernikahannya?” Ahsan cukup kaget mendengar semua itu. Dikira baru sekadar perkenalan, ternyata sudah pada tahap pernikahan. “Dengar-dengar dari Abah sih, sebulanan lagi gitu, Mas! Sukmanya juga udah pengen cepat-cepat katanya. Mungkin dia merasa iri juga sama aku di sini secara aku jauh segala-galanya di atas dia, jadi pengen cepet-cepet hidup senang! Asal Mas Ahsan tahu, dia itu sekolahnya saja cuma lulus SMP, Mas. Mungkin kalau keluarga Mas Ahsan tahu, mereka gak akan setuju juga! Ya, masa putra Pak Camat sekeren ini punya istri cuma lulusan SMP,” kekeh Sisil tertawa kecil. Ahsan berdiri, hatinya menampik kalimat yang Sisil ucapkan. Dia mengenal Sukma sudah lama. Tak ada tanggapan juga atas ucapan perempuan yang ada di depannya. Mendengar Sukma hendak menikah sebulan lagi, sudah cukup membuat otaknya tidak bisa berpikir sama sekali. Terlebih kini Sukma mengabaikannya. Jangankan bertemu, membalas pesan pun tidak. “Saya permisi! Assalamu’alaikum!” Ahsan merapikan jaketnya. “Eh, Mas … mau ke mana?” Sisil menatap wajah yang tampak lesu itu. “Aku ada keperluan lagi, terima kasih waktunya ya, Sil!” ucap Ahsan sambil mengayun langkah. “Mas, tunggu!” Sisil menarik ujung belakang jaket Ahsan. Lelaki itu berhenti. Lalu menoleh. “Mas, boleh aku ikut ke depan? Mau nganterin pesanan Bi Esih ke toko!” ucap Sisil mencari alasan. Padahal hanya ingin lebih lama bersama Ahsan. “Maaf, gak bisa. Aku buru-buru.” Ahsan menepis tangan Sisil yang masih memegang jaketnya. Sisil cemberut, lalu menghentakkan kakinya. Menatap punggung lebar itu menjauh. Bibirnya mengerucut sambil mengumpat. Dirinya tidak suka ditolak. “Awas saja, ya! Kamu pasti akan bertekuk lutut sama aku, Mas Ahsan!” gumamnya dengan gigi gemelutuk menahan kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD