TERIMA_KASIH_TELAH_MENCINTAIKU (BAB 2)
“Ya Allah, semoga aku bisa benar-benar hidup bahagia bersama anaknya Pak Bagas itu. Entah dia cacat, entah dia duda, jika Engkau sudah menentukan dia berjodoh denganku semoga semuanya yang terbaik.” Sukma menyeka air matanya sambil menatap punggung Ahsan yang sudah mulai menjauh dari jendela kamar.
Derit pintu membuatnya menoleh. Sisil masuk sambil tersenyum sumringah. Dia duduk di tepi dipan tempat Sukma tidur selama ini.
“Ahsan ganteng juga, ya, Ma? Kok dia bisa-bisanya sih jatuh cinta sama kamu yang kampungan gini?” Sisil menatap Sukma merendahkan, lalu dia lempar pandang ke sembarang arah. Sukma masih terdiam. Sisil melanjutkan perkatannya.
“Sekarang kamu harus mulai lupain Ahsan, sepertinya dia tertarik juga padaku. Tadi Ambu sudah mengenalkan aku juga sama Ahsan. Aku cuma mau minta sama kamu, jangan pernah muncul lagi di depan Ahsan," ucap Sisil menjeda. Lalu dia melanjutkan kembali perkataannya.
"Aku mau kamu menghilang dari hidup dia. Jangan bilang kamu dipaksa nikah sama duda lumpuh itu ke Ahsan. Awas saja kalau kamu bilang-bilang! Pokoknya kamu harus dukung aku sampai jadian sama Ahsan!” ucap Sisil penuh penekanan.
Sukma masih membisu. Tak ada yang perlu dikomentari lagi. Sisil akan tetap dengan apa yang diinginkannya meskipun dilarang. Sisil melirik sinis pada Sukma. Lalu ia bangkit dan melengos pergi meninggalkan kamar Sukma.
Sukma menarik napas panjang. Memejamkan mata beberapa saat. Menghalau bayangan Ahsan dan segala cerita indah yang mereka rangkai. Semua tiba-tiba membayang.
“Ya Allah, jika dia memang bukan jodohku … relakan hatiku … ikhlaskan ... mampukan aku untuk melepasnya … jangan biarkan aku terus mengharap … aku ikhlas … aku pasrah … aku terima apapun keputusan-Mu Ya Allah …,” lirihnya.
Sukma kembali terisak. Dibiarkannya seluruh sesaknya tumpah bersama air mata.
Tubuh mungilnya yang sejak tadi mematung di tepi jendela, kini merosot. Sukma memeluk lutut sambil menelungkupkan wajah.
“Mas Ahsan, terima kasih selama ini telah mencintaiku … membuatku yang kerdil ini merasa berarti … membuatku yang tak berpendidikan ini merasa dihargai ….”
“Mas Ahsan, kamu lelaki baik … semoga berjodoh dengan perempuan yang jauh lebih baik lagi dariku … mungkin aku ini belum pantas untukmu … kasta kita terlalu jauh … aku hanya upik abu sedangkan kamu memiliki segalanya … terima kasih, Mas … terima kasih sudah mencintaiku,” ucap Sukma dalam d**a. Beberapa saat, dibiarkannya semua rasa pahit itu tumpah. Sukma masih membutuhkan waktu untuk berdamai dengan keadaan.
Sukma menyeka air mata ketika derit pintu kamar kembali terdengar. Ambu muncul sambil membawa beberapa helai pakaian.
“Sukma, ini beberapa baju milik Ambu dulu waktu muda. Masih bagus-bagus. Mulai hari ini kamu pakai baju yang agak beneran. Baju kamu sudah pada lusuh. Takutnya sewaktu-waktu keluarga Pak Bagas datang mendadak. Katanya mau mampir nanti sekalian ada acara dekat sini!” ujar Ambu sambil menyimpan beberapa helai pakaian di dekat tempat tidur Sukma.
“Iya, Ambu! Makasih,” ucap Sukma sambil berdiri. Dia mencoba untuk tersenyum. Meskipun senyuman itu tak mampu menyembunyikan luka yang terpancar dari sorot netranya.
“Kamu kenapa nangis? Jangan cengeng … nanti juga hidup kamu enak. Ambu sudah jelaskan semua pada Nak Ahsan. Kamu gak usah temui dia lagi. Sekarang cepetan ke toko. Bi Esih sudah keteteran, banyak pembeli banget hari ini!” titah Ambu.
“Iya, Ambu!” ujar Sukma sambil mengambil helaian pakaian yang diberikan Ambu. Disimpannya pada lemari. Berderet bersama potongan pakaian lusuh miliknya.
“Kamu jangan kebanyakan ngelamun, nanti sakit … sebentar lagi keluarga Pak Bagas akan datang. Anggap saja kamu sama Ahsan emang gak jodoh.
Lagian kamu harus ngukur diri, Ahsan itu calon sarjana, anak Pak Camat, ganteng, masa depannya cerah.
Sedangkan kamu pendidikan SMA saja gak ada. Ambu sih yakin kalau keluarganya Ahsan juga gak bakal setuju sama kamu. Sekarang udah jangan sedih lagi, sudah syukur itu anak Pak Bagas mau ama kamu. Jadi kamu gak mungkin jadi perawan tua!”
Ucapan Ambu yang panjang lebar hanya dijawab anggukan oleh Sukma. Setelah menyimpan pakaian ke dalam lemari, Sukma bergegas menuju toko sembako milik Ambu yang ada di dekat perempatan.
“Assalamu’alaikum!” sapa Sukma pada Bi Esih yang tengah menghitung nota salah satu pelanggan. Ya, tokonya cukup besar sehingga para pedagang eceran banyak yang berbelanja di sana.
“Wa’alaikumsalam! Ma, itu kamu minta bantu timbangin gula sama tepung terigu. Mang Usman gak masuk, jadi Bibi keteran sendirian.” Bi Esih berbicara pada Sukma. Namun hanya menoleh sekilas padanya. Para pelanggan sudah antri.
“Iya, Bi! Aku nitip ini!" ucap Sukma sambil menyodorkan ponsel jadulnya. Dititipnya pada laci kasir dekat Bi Esih jaga.
Sukma langsung menyibukkan diri. Dia menakar tepung terigu dan gula juga dengan ukuran perempatan. Mencoba mengalihkan pikirannya yang masih belum tenang. Terlebih semua perkataan Ambu yang panjang lebar begitu menusuk ke dalam hatinya.
Adzan berkumandang. Sukma menghentikan kegiatannya. Dia baru saja hendak bangun dan menuju ke belakang untuk mengambil makan dan menunaikan shalat zuhur. Sisil datang sambil merengut.
“Sukma, kamu itu, ya! Aku telepon gak diangkat-angkat!” Sisil langsung saja berteriak.
“Aku lagi sibuk, Sil! HP aku taro di laci kasir, dititip Bi Esih!” ujar Sukma sambil menepuk-nepuk tepung yang menempel pada pakaiannya.
“Ayo kamu cepetan pulang! Keluarga Pak Bagas katanya sepuluh menitan lagi sampai! Aduh mana kucel banget lagi kayak gini! Ayo cepetan nanti aku make up in!” Sisil begitu panik melihat penampilan Sukma yang jauh dari kata cantik.
“Iya, ayo! Kok dadakan sih, datangnya?” tanya Sukma sambil mengambil gawainya yang dititip di laci Bi Esih.
“Mana kutahu!” ucap Sisil sambil cemberut. Dia langsung menyalakan sepeda motor yang diparkirnya di depan toko.
“Ayo naik! Cepetan!” Sisil memekik pada Sukma yang baru saja keluar.
“Aku jalan kaki saja, sih! Deket doang!” tukas Sukma.
“Duh, cepetan naik! Kamu emang sengaja ya mau tampil jelek di depan Pak Bagas dan keluarganya bisa perjodohannya dibatalkan?” gusar Sisil.
Sukma menarik napas kasar. Tak banyak lagi mendebat Sisil. Dia langsung naik pada boncengan sepeda motor Sisil.
Tampak sebuah Alphard keluaran terbaru terparkir di depan rumah mereka. Netra Sisil membelalak menatap mobil seharga miliaran itu. Katanya Abah, Pak Bagas hanya seorang wira usahawan. Kok mobilnya sebagus itu?
Namun segera dia menepis pikiran gak pentingnya. Baginya menikah dengan duda cacat itu sangat menjatuhkan reputasi dan harga dirinya. Sisil menarik Sukma hendak masuk lewat pintu samping. Mengingat penampilan Sukma yang alakadarnya, Sisil takut keluarga Pak Bagas nanti malah membatalkan perjodohan.
Namun sial, terdengar suara Abah memanggil Sukma. Dasar Abah, memang gak tahu situasi dan kondisi.
“Sukma! Sini, Nak! Ini calon mertuamu ada datang!” panggil Abah. Membuat langkah Sisil dan Sukma terhenti begitu saja.