Diantara Dua Pria

1445 Words
Lizzie menghabiskan waktu menunggu kelas berikutnya dengan memilih menyandarkan diri di sebuah pohon dekat kampus. Mengeluarkan sebuah buku sketsa untuk menyelesaikan salah satu tugasnya. Dia membolak-balik buku sketsa tersebut, sedikit terhenyak karena kebanyakan isinya malah diisi oleh sketsa singkat sosok Daxon. Ini lucu, hanya karena kebersamaan singkat mereka Lizzie jadi lebih banyak mengingat pria itu secara tidak sadar. Sibuk dengan coretan baru, Lizzie sadar betul bahwa ada sepasang mata yang menatapnya dari jauh. Gadis itu mendongak tepat waktu sebab dia mendapati seorang pemuda melemparkan tas ranselnya ke bawah diikuti tubuhnya sendiri yang dia jatuhkan tepat di sebelah Lizzie. “Tidak ada kelas lagi, bung?” tanya Lizzie tanpa mesti mengalihkan perhatiannya dari buku sketsa. “Basically,” balas pemuda itu seraya menghela napas lelah. “Apa-apaan dengan sebutan ‘bung’ itu? tidakkah kau merindukan memanggil namaku dengan cara yang seksi seperti biasanya ‘Levin~’ seperti itu,” sambung pria itu sambil menyadarkan dirinya di pohon yang sama dengan Lizzie. Si gadis hanya mendecak sebal tidak memberikan respon kata kecuali terus sibuk sendiri dengan kegiatannya. “Apa yang sedang kau kerjakan sih? Kau bahkan tidak melirikku sama sekali,” tuntut Levin sedikit sebal lantaran tidak diacuhkan oleh Lizzie yang biasanya selalu memberikan atensi penuh. Lizzie menyela pergerakan tangannya untuk menunjukan buku sketsa yang masih berisi coretan yang belum terbentuk sempurna ke depan muka pemuda itu. “Perintahnya adalah junkyard critter. Jadi yang bisa aku pikirkan untuk memenuhi prompt itu hanyalah sebatas objek benda lama yang digabungkan untuk menjadi sebuah mahluk hidup. Mungkin clusterfuck robot.” Levin mengangkat sebelah alisnya. “Apa itu ENIAC?” “Ya, itulah yang sedang aku coba buat.” Levin mengangguk dan mengambil buku sketsa itu dari Lizzie, untuk memeriksa gambaran si gadis dengan lebih baik. Lizzie pernah memperingatinya, bahwa membalik buku sketsa seorang mahasiswi seni adalah sebuah penghinaan. Karena itu dia tidak melakukan hal itu meski penasaran dengan gambar yang ada dibalik sketsa yang sedang dia buat sekarang. Terakhir kali dia melihat buku sketsa gadis itu dipenuhi oleh gambaran dirinya dalam berbagai pose. Dia ingin memastikan hal itu, tapi dia tidak diberi izin untuk tahu sehingga dengan bijaksana Levin tidak mencoba melanggar batasan yang ada dan memahami posisinya. Setidaknya sejauh menyangkut seni yang Lizzie amat sukai. “Oh f**k! Apa ini radio? Keren sekali!” ungkap Levin sambil menunjukan aspek lain dari gambar tersebut. Radio tersebut adalah radio lama yang dahulu sekali pernah dia tunjukan pada Lizzie ketika mereka masih SMA. Radio classic peninggalan kakeknya yang ditaruh di gudang keluarga. Levin tidak mengira Lizzie akan mengingat detail itu dan menggambarkannya di dalam karyanya. Lizzie tersenyum menanggapi ungkapan Levin. Bagaimana pemuda itu memandangai karyanya dengan penuh kekaguman, menanyakan banyak hal yang berbeda dari gambarnya, dan sesekali memberikan kritik yang membangun tanpa bersikap blak-blakan. Situasi ini membuat Lizzie merasakan sedikit nostalgia. Hal yang sama pernah terjadi diantara mereka saat SMA, itu membuat Lizzie agak rindu akan suasana yang ada. Saat mereka masih polos dan Lizzie yang menyukai Levin dalam diam. “Oh ya, bagaimana dengan pertunjukan senimu?” tanya Levin tiba-tiba sambil memberikan buku sketsa itu kepada Lizzie. “Aku benar-benar minta maaf karena aku tidak bisa hadir disana. Kau tahu, aku sudah bersiap untuk pergi tapi tiba-tiba Marie datang ke rumah kami dan ibu menyuruh kami untuk makan malam bersama dan—” “Kau tidak perlu memberitahuku tentang apa saja yang terjadi saat kencan akhir pekanmu. Jika kau tidak bisa datang tidak apa-apa,” potong Lizzie sambil terkekeh. “Tapi kedatanganku sangat penting bagimu kan? Ah … maksudku aku dengar sesuatu yang penting terjadi saat itu. Selamat untukmu karena kau berhasil menjual lukisan pertamamu.” Lizzie tersenyum simpul. “Ya, dengan nilai yang sepadan pula.” “Aku selalu tahu bahwa kau pasti akan melakukannya dengan baik,” katanya sambil tertawa. Dia mengedipkan matanya dan menyenggol Lizzie dengan cara jenaka. “Kita harus merayakannya.” Penurunan suara Levin yang tiba-tiba membuat Lizzie bergidik. Gadis itu secara refleks langsung membuang muka. Dia sangat tahu persis apa yang dimaksudkan Levin dengan kata ‘merayakan’ dan Lizzie juga tahu apa yang harus dia katakan untuk menjawab undangan itu. Namun sejatinya jauh di dalam dirinya dia begitu tergoda untuk mengatakan ‘ya’ seperti yang sudah-sudah. Apakah ini terhitung sebagai selingkuh? Dalam bagian Levin memang seperti itu. Tapi Daxon? Lizzie dan Daxon bahkan tidak berada dalam sebuah hubungan yang nyata. Mereka tidak berpacaran. Apakah situasi seperti ini bisa dihitung sebagai perselingkuhan yang bisa didebatkan? Dia sudah bilang pada Daxon bahwa tidak ada emosi yang harus terlibat, tapi setelah semua yang terjadi entah mengapa Lizzie merasa ini salah. Entah mengapa dia merasa dia tidak bisa mencurangi Daxon, padahal mereka hanya sekadar patner ranjang, dan keahlian pria itu pintar memanjakan. “Aku—” Tiba-tiba terdengar getaran dari dalam tas selempangnya, Lizzie setengah melompat dan cepat mengeluarkan ponselnya dari sana. Dia mendapatkan beberapa pesan masuk, dan notifikasi tersebut berasal dari satu kontak yang sama. ‘Daddy’. “Aku tidak bisa,” ujar Lizzie setelah mematikan ponselnya dan memasukan benda itu ke saku celana. Dia kemudian menatap Levin lekat-lekat. “Kita memang seharusnya tidak lagi melakukannya.” Ekspresi Levin terlihat tercengang atas penolakan yang Lizzie utarakan. Itu yang pertama kalinya diantara mereka. Namun sedikit keterkejutan itu berubah menjadi sebuah raut muka yang agak curiga. “Apa sekarang kau sedang berada dalam fase pengendalian dirimu lagi?” “Ya.” Levin menghela napas, kekecewaan jelas nampak disana tapi dia tidak mengutarakan itu dengan jelas lewat kata. “Oke, aku mengerti. Aku sangat mengenal dirimu. Tapi yang pasti kalau kau butuh aku kau hanya tinggal menghubungiku. Ingat password-nya kan?” Kata-kata terakhir yang Levin ujarkan terdengar menggodanya, tapi Lizzie tahu betul bahwa pria itu sedang mengatakan yang sebenarnya. Hal seperti ini telah terjadi berkali-kali sejak Levin mulai berkencan dengan Marie. Tapi setelah mengatakan ‘Aku tidak bisa’ tak lama kemudian Lizzie akan kembali merangkak padanya dengan keputusasaan. Menyelinap ke apartment Levin untuk memintanya menghapus rasa kesepian. Siklus seperti ini sudah pasti merupakan hal yang biasa bagi Levin. Namun bagi Lizzie itu adalah siklus menyedihkan yang terlalu pedih dan selalu gagal dia lewati dan malah berepetisi kembali. Lizzie menunggu pemuda itu pergi dari sekitarnya sebelum melihat pesan yang dia dapatkan dari ‘Daddy’-nya. Daddy. Sibuk malam ini, Nona seniman? Sejak kejadian dia bertemu dengan ibunya, Daxon sepertinya sudah punya sebutan baru untuknya. Lizzie tersenyum sesaat sebelum menarik napas dan dengan cepat mengetikan balasan. Tidak. Ada apa? Dia menyimpan ponselnya di luar dan sesekali meliriknya untuk memastikan mendapatkan balasan. Karena jujur saja dia sangat penasaran dengan apa yang ingin pria itu katakan. Berpura-pura sibuk dengan mengemasi barang-barangnya yang berantakan saat notifikasi dia dapatkan Lizzie langsung menyambar ponselnya dan cepat-cepat melihat pesan balasan darinya. Daddy Kita akan makan malam bersama. Jam berapa aku menjemputmu? Lizzie tersenyum kecil sambil menggigit bibirnya. Dari pesan ini ada kemungkinan dia bisa bertemu lagi dengan Daxon secara kasual, dan itu melegakan. Dia merasa keputusannya tepat untuk menolak Levin beberapa saat lalu. Jam 6 kurasa. Aku pulang kerja lebih awal hari ini. Setelah mengirim pesan itu tiba-tiba dia teringat satu hal penting. Jika Daxon datang menjemputnya, sudah bisa dipastikan dia akan bertemu dengan Mina dan Armant. Akan jadi sangat merepotkan bila mereka bertemu dalam situasi itu, dan Lizzie juga tidak ingin menjelaskannya. Dia dengan cepat mengirim teks lain. Aku bisa menemuimu, itu akan lebih mudah daripada menjemputku. Bertemu untuk makan siang itu mudah, tapi bila konteksnya makan malam orang rumahnya akan bertanya-tanya banyak hal menyebalkan. Lizzie ingin melewati bagian itu sebisa mungkin. Pertanyaan dari Mina apalagi Armant akan membuatnya sakit kepala untuk beberapa hari. Daddy Tidak ada penolakan, aku akan menjemputmu tepat jam 6. Tugasmu sekarang adalah memikirkan makanan apa yang kau ingin makan. Selain itu biar aku yang urus. Melihat dari pesan balasan Daxon, pria itu sudah mengambil keputusan dan Lizzie tidak diperkenankan untuk mendebatnya. Lizzie hanya memiliki kesempatan untuk mengirimkan konfirmasi berupa detail dimana Daxon harus menjemputnya dan makanan apa yang dia ingin makan. Ya, Lizzie pribadi juga tidak terlalu suka berdebat. Karena itu dia memilih untuk mengikuti apa yang pria itu inginkan tanpa protes berkepanjangan. Tiba di kelas dia segera mematikan ponselnya, tapi tepat saat itu sekali lagi dia mendapatkan satu pesan teks lain muncul di layar. Daddy I hate your texting. See you Lizzie tertawa kecil, meletakan ponselnya dan mulai berkonsentrasi mengikuti pembelajaran yang dibawakan oleh seorang dosen di depan sana. Dia tidak bisa menyembunyikan senyumannya. Untuk beberapa alasan dia merasa bodoh, konyol, dan naif. Sejujurnya pula Lizzie sangat bersemangat dan menantikan pertemuan mereka pada makan malam nanti bersama Daxon. Tidak ada nostalgia. Tidak ada perasaan yang perlu keluar dari siklus. Dan tidak ada siklus yang perlu diputuskan bila itu berhubungan dengan Daxon. Perasaan yang sangat kontradiktif dia rasakan diantara dua pria. Daxon dan Levin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD