Rasa yang Berkembang

1413 Words
Petualangan yang terjadi diantara mereka terlalu liar dan brutal daripada terakhir kali. Lizzie kini sudah terkapar, ambruk di tempat tidur setelah entah berapa kali pria itu mengulanginya lagi dan lagi. Dia tidak pernah tahu bahwa stamina dan energi pria yang lebih tua ternyata lebih daripada pria yang seusia dengannya. Mungkin Lizzie harus berterima kasih pada Daxon karena telah meringan sedikit stress yang dia miliki. Permainan ranjang yang panas nyatanya cukup membantu untuk mengusir semuanya. Jangan lupakan pula berapa yang dia dapatkan dari ini. Dimanjakan dan dapat uang. Daxon benar-benar sempurna untuk dia jadikan patner. Ketika pria itu menarik diri, Lizzie tiba-tiba saja merasa kosong dan hampa. Dia memperhatikan melalui kelopak matanya yang berat ketika Daxon berada di posisi duduk dan tengah mengatur napasnya sendiri. Lizzie menutup kedua kakinya yang gemetar, membalikan badannya ke samping. Daxon malah menangkap hal itu sebagai sebuah tanda dan memberikan sedikit tamparan pada pinggulnya sebelum berlalu menuju ke arah kamar mandi. Lizzie hanya memperhatikan, meringkuk di bawah bantal. Dia mendengar suara air yang mengalir dan tertawa. Sungguh buruk, kenapa pula dia sempat mengartikan bahwa Daxon akan sedikit berbeda dari Levin hanya karena dia bermain dengan cara yang lebih lembut? Bagi Lizzie itu sangatlah lucu. Ya, seharusnya dia tidak memikirkan Daxon dari sudut pandang sebagai seorang wanita. Lagipula usia mereka terbilang jauh. Daxon kembali tak lama kemudian, dengan handuk yang dililitkan di pinggang. Dia menjatuhkan dirinya di sisi Lizzie, sehingga gadis itu dapat merasakan kehadirannya dan juga rasa hangat di pinggulnya. “Biar aku bersihkan,” ungkap pria itu kemudian sambil mengusap rambut Lizzie sehingga gadis itu melirik padanya. “Kau lapar?” “Tidak perlu kau bersihkan, aku bisa mengurusnya. Tapi kalau soal makanan aku sebenarnya tidak keberatan untuk makan sesuatu jika itu tidak terlalu merepotkan,” jawab Lizzie dengan senyuman simpul. Daxon menyeringai. “Baiklah, aku senang melihatmu sedikit lebih ceria sekarang. Apa aku berhasil memberikanmu kepuasan, Princess?” “Princess? Ugh … sebutan itu menggelikan, Om.” Daxon terkekeh kemudian berlalu ke arah lemari, mengambil sebuah celana piyama untuk dia kenakan. Dia juga melemparkan atasan piyamanya ke arah Lizzie untuk dia kenakan. “Saat pertama kali melihatmu aku tahu kau punya masalah. Aku tidak akan bertanya karena itu adalah urusan pribadimu. Tadinya aku mau menawarkan pelukan padamu, tapi sepertinya kau tidak akan suka ide itu.” Lizzie menelan ludahnya, sedikit ragu-ragu karena pria itu seperti melihat ke dalam dirinya. Seolah dia sedang membaca sebuah buku yang memang jelas narasinya. “Ya, aku tidak begitu suka berpelukan.” Daxon mengangkat bahu dan berjalan pergi, menyisakan bunyi klik lembut sepeninggalnya. Sepertinya dia hendak mencari makanan mengingat Lizzie tadi tidak menolak untuk mengisi perutnya. Dia tidak bohong, bermain dengan Daxon memang menguras energinya hingga batas tertentu sehingga dia merasa perutnya sangat kosong sekarang. Kini Lizzie menyibukan diri dengan lap basah yang dilemparkan Daxon kepadanya. Dia mulai membersihkan dirinya dari benda lengket dan keringatnya sendiri. Setelah merasa bersih, gadis itu kemudian mengenakan atasan piyama yang dilemaparkan oleh Daxon. Setelah berpakaian dia kemudian melemparkan dirinya ke arah bantal, menutup matanya rapat-rapat sebelum menghela napas panjang. Dia tidak bermaksud untuk tertidur tapi Daxon tampaknya tidak keberatan. Sebab ketika Lizzie terbangun keesokan harinya dia sudah ditutupi oleh selimut hangat dengan Daxon yang tertidur nyenyak di sampingnya. *** Lizzie sekarang sedang menunggu shift kerjanya dimulai. Tepatnya disebuah kedai kopi dekat kampus. Tempat dimana dia menghasilkan uang dengan cara yang benar sebelum dirinya bertemu Daxon di bar. Untuk membunuh waktu, gadis itu menggunakannya untuk membuat coretan di atas buku sketsanya. Sebuah coretan tak berarti yang tidak memerlukan pemikiran kritis untuk membuatnya. Lizzie sedang berusaha untuk tidak terlalu memikirkan akhir pekannya. Setidaknya bukan tentang bagaimana dia terlihat begitu bodoh dan berharap besar kepada ayahnya dengan membawa lukisan hasil karya kerumah dan memikirkan akan mendapatkan pujian. Tidak bukan itu. Tapi lebih pada pemikiran soal kehidupan ranjangnya dengan seorang pria. Dia tidak pernah membayangkan akan terbangun di samping Daxon. Lizzie merasa hal itu menjadi sebuah kebahagiaan yang tidak dia duga. “Hei, Lizzie.” Mendapati seseorang menyapa, dia menemukan Armant memegang secangkir kopi. Secara naluriah, gadis itu kemudian meletakan pensil diatas buku sketsa yang beberapa saat lalu menarik atensinya secara penuh. Kemudian membalik buku itu ke atas meja. Armant menunjuk ke kursi kosong yang ada di hadapannya, Lizzie menganggukan kepala sebagai bentuk dari persetujuan. Memberinya izin untuk bergabung. “Bagaimana harimu?” kata Armant ringan. “Lebih baik,” sahut Lizzie dengan senyuman tipis. Lizzie sangat tahu apa maksud sebenarnya dari keberadaan pria itu disini. Armant jarang mengunjungi kedai kopi dan dia melakukan hal ini juga bukan untuk Lizzie. Melainkan untuk melihat rekan kerjanya yang sedang bertugas hari itu. “Kau sedang menggambarkan tadi? Kenapa berhenti?” tanyanya terdengar seperti penasaran, meski Lizzie lebih mengkategorikan hal itu sebagai basa basi. Lizzie mengangkat bahu. “Hanya coret-coret.” Armant mengambil buku sketsa itu dari Lizzie yang tentu saja membuat gadis itu bergerak secara spontan untuk menghalangi pemuda itu melihat lebih jelas. Tapi dia kalah cepat, dan Armant melihat semuanya. “Kau menyebut ini coret-coret? Hei, ayolah ini sebuah maha karya dari seniman terbaik.” “Jangan membuatku malu!” Armant memindai satu halaman penuh dari buku itu, tepatnya pada sebuah gambar yang berhasil Lizzie buat sebelum mencoret-coretnya. Ketidaksukaan langsung muncul di wajah pemuda itu, dia meletakan buku sketsa itu diatas meja dan Lizzie dapat melihat bahwa pemuda itu sedang sibuk mencari kata-kata yang tepat kepadanya. Cara yang benar sehingga walaupun itu topik yang tidak dia sukai, setidaknya dia tidak terdengar kesal atau tersinggung. “Lizzie, siapa itu?” katanya sambil menunjuk kesebuah gambar yang letaknya di sudut dan ada coretan yang jelas di wajah objek itu. Lizzie melirik. Gambar itu adalah sebuah potret wajah Daxon yang Lizzie buat tanpa dia sadar. Garisnya memang kasar, karena Lizzie memang membuatnya hanya berdasarkan ingatan. Dibuat secara terburu-buru tapi ciri khas dari Daxon masih tampak jelas terlihat. Terbilang masih akurat, atau memang akurat untuk garis yang dia gambar pada bagian d**a pria itu. Cara Armant menatapnya sekarang memberitahukan kepada Lizzie bahwa dia tahu sesuatu. “Hanya seorang pria,” sahut Lizzie tenang, mencoba tak terlalu ambil pusing. “Apa kau bertemu dengan dia? Secara langsung?” “Ya,” jawab Lizzie lagi. “Kau tahu sendiri aku tidak terlalu minat dengan kencan online.” Armant meringis mendengar kata-katanya. “Jadi, dia … memiliki hubungan denganmu?” “Apa itu penting untuk dibahas?” “Lizzie.” Gadis itu memutar matanya, sangat hafal artinya bila Armant menyebut namanya dengan nada seperti itu. “Hanya wajah yang kulihat suatu hari, dan dia paling menonjol diantara semua orang yang ada disana, kurasa. Aku tidak tahu.” Ekspresi Armant tiba-tiba melembut. Dia memang masih mencari-cari dusta dari wajah gadis itu. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi, dan hanya dengan sedikit tatapan dia menemukan apa yang dia cari. Armant menghela napas. “Allright, aku hanya penasaran.” “Kau tidak akan terus menerus mendesak aku atas dasar rasa penasaranmu itu ‘kan?” “Kurasa tidak.” “Kini itu tidak terlihat seperti dirimu,” sahut Lizzie menaikan sebelah alisnya. “Setelah aku pikirkan lagi, kau itu sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan sendiri. Kau juga tidak akan mendengar apa yang akan aku katakan kalau aku menasehatimu sekarang. Jadi kurasa tidak masalah.” Lizzie terkekeh dan menyenggol kaki pemuda itu dari bawah meja. Tidak mungkin Armant akan menerima fakta bahwa Lizzie menjalin hubungan semacam fwb dengan pria tua bangka. Tapi dia merasa tidak perlu untuk mengatakan semua hal ada di kepala, mengingat betapa tersinggungnya gadis itu waktu itu. Dia tidak akan membuat hubungan mereka semakin memburuk hanya karena kecemasan, karena itu Armant memilih untuk tetap diam tentang hal itu. “Aku sebenarnya tidak keberatan mendengar omelanmu,” ungkap Lizzie tiba-tiba. “Hanya disaat yang tepat.” “Aku tidak merasa perlu mengomelimu, aku hanya khawatir dan ingin kau lebih berhati-hati. Aku tidak ingin kau terluka.” “Terima kasih.” Obrolan mengalir begitu saja, sampai Annie, rekan kerjanya keluar dari konter dan melemparkan apronnya kepada Lizzie. Armant langsung bangkit dari sana dan mengucapkan selamat tinggal karena sekarang Lizzie akan mengambil alih tugas untuk mengelola kedai kopi. Saat mengenakan benda itu ditubuhnya, Lizzie menatap kepergian Armant dan Annie. Mereka mungkin punya jadwal kencan hari ini, dan itu berarti urusan makan malam nanti akan menjadi tanggung jawab Lizzie. Bukan berarti hal itu penting baginya. Setidaknya dia tidak perlu memasak karena Daxon memberinya banyak makanan sebelum pergi dari kediamannya. Hanya perlu dihangatkan saja dan itu lebih dari cukup untuk makan malamnya nanti. “Apa aku bisa berkencan seperti itu juga ya?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD