Diurusi Alice

1267 Words
"Tubuh kakak rasanya kaku semua, Storm," keluh Seth sembari memandangi adiknya tersebut. "Pastilah. Kakak mengalami kecelakaan yang lumayan parah. Tetapi syukurlah masih selamat. Storm sudah mengabari Mom dan Dad. Tapi mereka masih belum bisa pulang dalam waktu dekat ini." "Iya tidak apa-apa. Mereka pasti sibuk. Apa lagi, kakak tidak bisa membantu juga dan malah menyusahkan begini." "Ya mau bagaimana lagi, Kak. Yang penting sekarang Kakak harus banyak istirahat, supaya cepat sembuh." "Iya. Kakak juga sudah ingin sekali sembuh. Tidak betah hanya berbaring saja begini. Oh iya, apa kita punya pelayan baru di rumah ini??" tanya Seth yang kini melirik wanita, yang sedang berdiri dan diam sambil menundukkan kepalanya. Ia masih belum tahu siapa Alice, karena saat pertemuan keluarga, yang ia temui adalah Jessy. Bukan lah wanita, yang terlihat asing ini. Storm memutar kepalanya dan melihat wanita, yang nampak beradu pandangan dengannya itu. Lalu tersenyum dengan sebelah bibir yang terangkat. Memang, dalam sekali lihat saja, pasti kakaknya ini akan menyangka bila wanita itu adalah pelayan. Jadi tidak salah dengan kecurigaannya kan?? "Iya, Kak. Pelayan baru. Dia tidak membuat kesalahan kan??" ucap Storm dengan sangat konyol sampai Alice menghela napas. Dia benar-benar. Apa tidak ada pembelaan sama sekali? Minimal, tidak diakui istri tapi jangan disebut pelayan juga bisa kan?? "Oh pantas saja kakak baru melihatnya sekarang," ucap Seth dan Storm sampai menahan tawa saat mendengarnya. Untung saja, kakaknya ini mengalami kecelakaan. Jadi, ia bisa terhindar dari kesialan dalam menikahi wanita itu. Ya meskipun, kesialannya malah jadi berpindah kepada dirinya. Tapi setidaknya, ia akan bisa menangani wanita ini, agar tidak bertingkah dan berbuat ulah. "Permisi, Tuan," ucap orang yang baru saja datang, sehabis menebus obat untuk Seth. "Ada apa??" tanya Storm kepada Vinson. "Ini obat untuk Tuan Seth. Dokter berpesan, agar Tuan Seth makan dan juga meminum obatnya." "Oh iya. Baiklah," ucap Storm yang kini berusaha untuk membuat kakaknya itu bisa setidaknya bangun sedikit. "Arghh! Pelan-pelan, Storm!" seru Seth saat adiknya menggerakkan tubuh Seth tanpa aba-aba. "Oh iya maaf, Kak!" cetus Storm yang kini menumpuk bantal menjadi lebih tinggi. Padahal, akan lebih mudah bila ditangani di rumah sakit saja. Tidak harus manual begini untuk menaikkan kepala. Tapi, ia malas menungguinya di sana. Kalau di rumah, banyak pelayan dan kepala pelayan juga. Jadi, ia pun aman dan masih bisa berpergian. Apa lagi, ada pelayan gratisan, yang bisa ia manfaatkan. Bertambah mudah saja hidupnya. "Nah sudah. Ayo suapi," perintah Storm seraya menoleh kepada Alice. Alice buka kelopak mata, hingga kedua bola matanya itu hampir saja keluar. "Aku??" ucap Alice. "Ya iya siapa lagi memang?? Apa aku terlihat seperti sedang berbicara dengan tembok??" ketus Storm. Alice mengeluarkan decakan kesal yang pelan dari mulutnya sembari melirik sinis kepada lelaki yang memerintahnya tadi. Di sini, ia benar-benar dijadikan bak seorang pelayan dan juga perawat. Tetapi sudahlah. Hitung-hitung mengisi waktu. Daripada ia bingung ingin melakukan hal apa di sini. Alice menarik kursi dan meletakkannya di sisi ranjang. Lalu kemudian, ia mengambil semangkuk bubur dan duduk pada kursi tersebut sembari menyuapi lelaki yang sedang sakit ini. "Kak? Storm mandi dulu ya? Baru pulang. Belum sempat mandi," ucap Storm yang kini sedang berdiri di sisi Alice. "Iya. Ya sudah," jawab Seth yang baru selesai menelan makanan. "Hey, kalau sudah selesai. Jangan lupa berikan obatnya. Tapi lihat dosis pemakaiannya dulu. Jangan sampai salah, kalau kamu tidak mau sampai berurusan dengan pihak yang berwajib," peringatan yang Storm berikan sebelum pergi. "Ck! Iya!" seru Alice jengkel dan hanya melirik sekilas saja kepada Storm. "Ya sudah. Storm tinggal dulu ya, Kak? Jangan lupa habiskan makanannya," pesan Storm. "Iya, Storm," balas Seth setelah menelan bubur dalam mulutnya. Storm pergi keluar dengan Vinson yang sudah lebih dulu pamit undur diri. Sekarang, hanya tersisa dua orang saja di sana, yang sedang menyuapi dan menerima suapan. "Sudah cukup," ucap Seth padahal hanya tinggal dua suap lagi saja. "Tanggung! Cuma tinggal dua suap lagi kan. Ayo, makan lagi. Habiskan!" cetus Alice, yang terbawa ketika sedang mengurusi ibunya yang sakit keras. Ia paling tidak suka, bila ibunya itu menyisakan makanan dalam piring. Sudah tahu sedang sakit, harusnya makan yang banyak supaya cepat pulih kan?? "Tapi saya sudah kenyang," jawab Seth. "Ck! Bohong ah! Cuma bubur semangkuk kecil begini, apa bisa sampai ke lambung?? Sudah ayo, makan lagi habiskan!" perintah Alice dengan lebih galak dan orang yang sedang sakit itu, bukannya marah, tapi malah hampir saja tertawa. Hanya tidak menghabiskan makanan, malah jadi dimarahi begini dan yang lebih anehnya, ia malah merasa lucu saja, saat dimarahi oleh wanita bertubuh mungil di sisinya ini. "Ya sudah. Ayo mana lagi? Sini aku habiskan," tanya Seth dan Alice segera menjejalkan makanan lagi ke dalam mulut orang sakit itu. Dua kali suapan masuk dan mangkuk akhirnya bersih. Alice juga jadi puas melihatnya. Sekarang, hanya tinggal memberikan obatnya saja. Tapi, setiap ia mengambil isinya, Alice selalu menunjukkan tulisan di bungkusnya lebih dulu. "Ini tiga kali sehari ya??" ucap Alice sembari menunjukkan aturan minum obatnya. Setidaknya, ada yang mengkoreksi pekerjaannya. Jadi, ia tidak akan salah dalam memberikan obat dan tidak akan sampai berurusan dengan pihak yang berwajib. "Iya," jawab Seth. "Kalau yang ini dua kali," ucap Alice lagi sembari menunjukkan bungkus obat lagi. "Iya benar," jawab Seth. Semua obat yang sudah Alice pisahkan, kini satu persatu Alice masukkan ke dalam mulut lelaki, yang begitu penurut ini. Alice memintanya untuk membuka mulut dan ia langsung melakukannya. Hingga semua obat sudah habis tak bersisa. "Nah sudah. Sekarang, waktunya tidur," ucap Alice sembari menarik selimut dan menutupi tubuh Seth. Alice bertolak pinggang sembari membawa bola matanya ke arah wajah Seth, yang ternyata kelopak matanya masih terbuka juga. "Kenapa belum tidur?? Ayo tidur. Supaya cepat sembuh," ucap Alice. Seth tersenyum tipis. "Aku baru bangun setelah tidur yang rasanya lama sekali. Kenapa malah disuruh tidur lagi," jawab Seth. "Ya kan supaya cepat sembuh. Tapi ya sudah. Kalau memang belum mengantuk," ucap Alice yang kembali duduk di sisi tempat tidur. Alice bosan dan duduk miring, sembari menyandarkan sisi tubuhnya pada sandaran kursi. Ia menghela napas berkali-kali, karena rasa jenuh dan juga lelahnya kini. "Kamu seharian di sini?" tanya lelaki yang hanya diam sembari memperhatikan gerak-gerik Alice saja. Alice melipat bibirnya dan mengangguk. "Iya. Tidak kemana-mana. Soalnya disuruh untuk memantau terus." "Belum makan siang juga?" tanya Seth lagi dan Alice segera menggeleng. "Belum," jawabnya singkat. "Ya sudah. Pergi makan siang dulu saja. Kamu pasti lelah dan juga lapar seharian ini," perintah Seth. "Nanti saja deh. Belum lapar kok," jawab Alice yang tidak sejalan dengan suara perutnya yang keras dan Alice seketika diam membeku, lalu Seth tertawa kecil melihat ekspresi wajah Alice. "Sudah sana. Kamu belum lapar. Tapi cacing di dalam perut sudah tidak tahan," ucap Seth. "Ah nanti aku kena marah. Tunggu dia datang ke sini dulu deh nanti," ucap Alice yang kembali bersandar dengan lemas. Seth melirik kearah nakas dan melihat potongan buah-buahan di dalam piring. "Kalau begitu, kamu makan saja buahnya," perintah Seth dan Alice seketika segera menoleh kepadanya. "Memangnya boleh??" tanya Alice. "Tentu saja. Lagi pula, tidak termakan. Aku juga sudah kenyang," jawab Seth. "Yakin???" tanya Alice. "Iya. Makan dan habiskan saja." "Tidak akan menyesal??" tanya Alice lagi. "Tentu saja tidak. Ayo, makan saja tidak apa-apa," perintah Seth. Alice menoleh ke belakang dulu dan melihat pintu yang masih tertutup dengan rapat. Kemudian, ia alihkan pandangannya pada piring berisi buah tadi dan segera mengambilnya. "Ya sudah deh, kalau kamu memaksa," ucap Alice yang segera melahap buahnya dan Seth, hanya memandangi wanita yang keliatan begitu polos di sisinya ini. Sedang nikmat-nikmatnya melahap potongan buah. Tiba-tiba saja pintu terbuka dan orang yang sempat pergi telah kembali, sampai Alice membuka kelopak matanya lebar-lebar dan segera meletakkan piring berisi buah itu kembali pada nakas. "Sudah??" tanya Storm sembari menatap Alice dengan pipi yang menggembung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD