Bab 14 - Detak Jantung yang Lebih Cepat

1528 Words
“Kenapa sikapmu bisa seketus itu pada Ara?” Melihat Ara masuk ke dalam kamar dengan amarah membuncah tentu saja Merry khawatir. Bergegas mengambil sandal yang dilempar gadis itu, menatap heran sang kekasih. “Aku tidak ketus, hanya berbicara kenyataan saja.” jawab Agra santai. Masuk ke dalam kamar sembari menguap, “Kau pikir aku bodoh? Setidaknya lembutkan suara di depan adikmu sendiri, Ren.” Menaruh sandal sang Casie di dalam kamar. Dia akan mengembalikan sandal itu besok pagi. Kembali berbaring di kamar, dengan kedua manik tertutup Agra nampak tenang. Berniat tidur lagi tapi begitu memikirkan kalimat Ara, rasa kantuknya hilang seketika. “Dia sudah cukup terbiasa dengan sikapku, jadi kau tidak perlu khawatir.” tukas Agra lagi. Merry menggeleng tipis, ikut naik ke tempat tidur. “Sudah berapa tahun kalian tidak bertemu, jangan seperti itu. Tak ada salahnya mengubah nada suaramu sedikit ‘kan?” Meringsek dan kini berbaring tepat di samping Agra. Merry sengaja bersender pada d**a bidang lelaki itu, “Aku tahu kau mengkhawatirkan Ara. Tapi usianya sudah cukup dewasa untuk berpikir tindakan mana yang baik dan buruk. Dia bukan anak kecil lagi.” lanjutnya sekilas. Kali ini Agra hanya diam, pandangan lelaki itu menoleh ke luar jendela balkon. “Bagaimana kalau nanti Ara tiba-tiba semakin kesal dengan sikapmu dan gadis itu berakhir membenci kakaknya sendiri?” Kalimat terakhir Merry sukses membuat Agra mendengus tipis. “Itu yang kuinginkan.” Samar namun masih bisa didengar Merry. Alis wanita itu tertekuk bingung. “Apa maksudmu? Kau suka Ara membencimu?” Menengadah heran. Ekspresi Agra masih sama, datar dan dingin. Merry bingung, kembali menggeleng tak paham. “Hh, yang terpenting aku mau Ara datang ke pernikahan kita akhir tahun nanti. Jangan sampai dia mogok datang,” celetuk wanita itu sengaja. “Pernikahan?” Oke, ekspresi Agra berubah seketika. Sedikit bingung, sementara Merry mengangguk senang. “Ya, pernikahan kita. Kau janji akan mengambil keputusan serius tentang hubungan kita, akhir tahun ini kita menikah. Jangan bilang kau lupa?” Memicingkan kedua manik. Lelaki itu hanya mendesah panjang. Apa dia pernah berjanji seperti itu? Kenapa Agra tidak ingat? Pikirannya entah kenapa tambah bercabang saat Ara datang ke tempat ini. “Kau benar-benar serius ingin menikah denganku?” tanya sang Dhanurendra lagi. Senyuman Merry hilang sesaat, “Maksudmu? Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu? Apa kau tidak yakin mau menikahiku?” Balas menanyakan, mood kedua pasangan itu langsung hancur. Menjauh dari d**a Agra, Merry berbaring di seberang sana. “Sikap dingin juga ada batasnya, Ren. Aku tahu sifatmu dan sampai sekarang pun masih menyukaimu, ingat itu.” Berbalik memunggungi Agra. Merry ingin istirahat. Rasanya dia sudah cukup lelah menghadapi sikap dingin Agra hari ini. Bahkan sampai akhir pun lelaki itu tetap diam. Kadang dia sendiri bingung, kenapa bisa Merry menyukai Agra sebesar ini? Apa dia hanya tertarik pada ketampanan dan kekayaan lelaki itu? ‘Hh, aku tidak peduli lagi,’ batin Merry lelah. Sementara Agra masih diam, dia kembali mendesah panjang. Menatap sekilas punggung sang kekasih. Kali ini dia yang salah, “Maaf, Merry. Aku sedang banyak pikiran hari ini.” ungkapnya tiba-tiba. Tak ada balasan, melupakan janji yang dia ucapkan sendiri? Pengecut memang. ‘Kau harus memegang kata-katamu sendiri Agra Dhanurendra.’ Memijat pelipis yang terasa sakit, apapun yang terjadi dia harus bisa menjaga batas. Jangan sampai laki-laki itu menelan apa yang sudah Ia ucapkan dulu. *** Berapa hari menghabiskan waktu di dalam apartement mewah ini. Akhirnya Ara bisa bernapas lega, waktunya gadis itu berkunjung ke Universitas. Ada beberapa administrasi yang harus Ia lengkapi sebelum menjalani perkuliahan secara normal. Senang tentu saja, gadis itu menatap pantulan dirinya di kaca. Celana jeans panjang berwarna biru dongker, rambut panjang setengah terikat, baju kemeja krem, sedikit make up natural. Sempurna. Dia memang tidak begitu suka gaya yang terlalu berlebihan. “Oke, aku siap,” Tersenyum puas, mengambil tas coklat kehitaman dan bersiap keluar dari kamar. Hari ini setidaknya Ara bisa bernapas lega, setelah menghabiskan waktu bertemu dengan Agra. Selama tinggal di sini, walaupun mereka hanya bertemu saat malam dan pagi. Tapi suasana langsung berubah dingin jika laki-laki itu masuk ke apartement. “Selamat pagi, Ara!” Suara yang familiar langsung menyambut Ara. Merry dengan celemek dapur berdiri sembari membawa semangkuk besar nasi goreng. “Kak Merry?” Mereka sudah saling mengenal selama beberapa hari ini. “Kakak tidak kerja?” Mengingat wanita itu tidak menginap kemarin malam. “Aku ingin membuatkan kalian sarapan dulu sebelum berangkat. Apalagi ini hari pertamamu ke Univ, harus dirayakan.” Selama mengenal wanita itu, Ara merasa nyaman. Merry memberikan kesan yang baik dan ramah. Ditambah lagi cantik, cekatan dan bisa menghandle segala sikap dingin Agra. Sempurna ‘kan? “Sebenarnya aku hanya mengurus administrasi saja hari ini, Kak.” Menghampiri Merry, membantu wanita itu. “Tapi terimakasih sudah mau repot-repot memasak. Aku suka masakan kak Merry,” Tak lupa memuji wanita itu. “Kau ini,” kekehnya pelan. Pandangan Ara mengedar, “Kak Agra, belum bangun?” tanya Ara singkat. “Belum, aku sudah berkali-kali memanggil dia tidak menjawab juga. Bisa kau bangunkan Agra?” pinta Merry tiba-tiba. Tubuh Ara membeku, menatap horror Merry. “Apa? Aku lebih baik disuruh membangunkan macan tidur dibandingkan membangunkan kakak sepertinya,” celetuk gadis itu cepat. Merry tertawa, “Dia ada rapat penting hari ini, aku masih harus memasak sedikit lagi dan membersihkan dapur. Panggil saja dia keras-keras,” “Aku dilarang masuk ke kamarnya, Kak Merry.” rengek Ara lagi. “Kakak minta tolong ya?” Kali ini Merry tersenyum tipis padanya. Sedikit memohon, “Masuk saja ke kamarnya, aku sudah bersihkan tadi. Hidupkan lampu, teriak sekuat mungkin. Mudah ‘kan?” lanjutnya singkat. ‘Mudah mananya?’ batin Ara ogah. Tapi begitu melihat semua masakan yang tersaji di atas meja makan. Merry sudah repot-repot datang dan memasak untuk mereka. Jadi tak ada salahnya Ara membantu. “Hh, baiklah.” Ara menyerah. Dengan tubuh lesu masuk ke kamar Agra. Padahal dia sudah diperingati berulang kali untuk tidak ke sana lagi. ‘Cukup hidupkan lampu dan teriak saja.’ batin Ara terus menerus. Suasana ruang tampak gelap, gadis itu mencoba mencari saklar lampu. Meraba dinding hati-hati, ‘Ini dia,’ Satu kali tekan, lampu kamar langsung menerangi ruang. Kamar tidur nampak rapi, hanya gelungan selimut nampak menutupi tubuh seseorang tak jauh dari posisinya. ‘Hh, oke,’ Satu desahan panjang. “Kak Agra, bangun!” Ara tanpa basa-basi berteriak cukup kencang. Berharap Agra langsung bangun, tapi ternyata tidak berhasil. Selimut itu bergerak beberapa saat dan kembali hening. ‘Ha?! Tidak berhasil juga?’ Mengerutkan kening bingung. Semakin masuk ke dalam kamar. Pintu otomatis tertutup. ‘Astaga!’ Sedikit terkejut, Ara mencoba tenang. “Kak Agra, bangun! Sudah siang, katanya ada rapat penting hari ini?!” teriak Ara lagi. Tak ada balasan. Ara makin mendekat, berjalan ke pinggir tempat tidur. Selimut hampir setengah menutupi tubuh Agra, lelaki itu nampak pulas dengan alis tertekuk. “Kak, bangun!” Makin kencang. ‘Ini orang tidur apa mati sih?!’ batin sang Casie kesal. Berjalan cepat, kali ini Ara berdiri di samping Agra tidur. “KAK, BANGUN!” Barulah dia melihat tanda-tanda, meskipun hanya gerutuan kecil. Agra reflek berbalik memunggunginya, menarik selimut dan tidur lagi. “Lah, kok tidur lagi! Bangun, Kak!” Ara kesal, tanpa basa-basi gadis itu berusaha menarik selimut tebal sang Dhanurendra. Saat menyibak kain hangat itu, tubuhnya menegang kaget. ‘Astaga!’ Nyaris berteriak, Agra hanya tidur menggunakan boxernya saja. Tidak ada pakaian tidur lain, kotak-kotak perut dan otot-otot lengan serta setengah kakinya nampak jelas. Pantas saja banyak yang suka sama laki-laki itu, kalau bodynya saja sudah setara model professional. “Lah, kenapa kamu malah mikir ke sana Ara?! Fokus!” Menepuk kedua pipinya cepat. Makin kuat menarik selimut Agra, “Bangun! Kak Merry datang jauh-jauh dan memasak buat kita. Jangan malas!” tukasnya keras. “Ayo bangun! Aku harus mengecek administrasi di Univ sekarang!” lanjutnya. Mengeluarkan tenaganya, “Berisik.” Satu kalimat singkat Ia dengar. Hampir berhasil. “Ayo bangun!” Tanpa sadar salah satu kakinya naik ke atas tempat tidur, menarik kencang selimut Agra. “Jangan malas! “Pergilah, aku masih ingin tidur.” “Tidak! Kak Merry bilang Kakak harus bangun! Hari ini ada rapat penting! Ayo, bangun!” Satu kekuatan terakhir yang dia punya. “Hah!!” “Tsk, sudah kubilang pergilah!” Agra kesal, dia juga tidak sadar menarik selimut miliknya sekuat tenaga. Alhasil Ara kalah kuat, “Ahk!” Gadis itu oleng, tidak bisa menyeimbangkan badan. Satu hal yang tidak Ia duga, dalam keadaan masih memegang kuat selimut. Tubuh sang Casie mendarat tepat di d**a bidang Agra. Tepat saat kakaknya berbalik, Suasana yang hening, kedua manik polos itu berkedip menatap wajah tampan yang kini nampak sangat jelas di depannya. Begitu juga Agra. Aroma parfum khas sang Casie tercium jelas, begitu memabukkan. Ekspresi polos dan bibir tipis yang memanggil namanya tanpa sadar. “Kak,” Pikirannya kacau, pagi hari saat dia yang terbiasa bangun dengan udara dingin dan aroma parfum maskulin mint ataupun aroma parfum rose dari Merry yang begitu dewasa. Kini aroma parfum ocean menyegarkan itu justru membuat satu sisi liarnya terbangun. Tanpa sadar menatap lekat wajah sang Casie. Tidak ada yang bereaksi diantara mereka. Hanya hening dan diam, detak jantung saling menyatu. Kali ini entah siapa yang berdetak lebih cepat dibandingkan biasanya. Agra atau Ara?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD