Amerika Serikat, Kota Chicago – Illinois – Bandara Udara Internasional O’Hare
Bulan awal Mei merupakan musim yang paling dicari oleh semua orang datang ke tempat ini. Musim semi dimana udara masih terasa dingin dan hangat sekaligus, waktu penerimaan mahasiswa baru Universitas of Chicago. Ara benar-benar tidak sabar, ada begitu banyak hal yang ingin Ia pelajari di sini!
Membawa dua koper yang cukup besar, turun dari pesawat beberapa menit lalu dan berjalan menuju gerbang keluar. Suatu pemandangan yang asing, ramainya para pengunjung.
Jujur saja Ara sama sekali tidak takut, dia justru antusias. Dengan senyuman mengembang melihat seluruh area sembari mendorong dua koper besar. Satu senyuman dan rasa bebas yang hanya bertahan beberapa menit saja,
Saat dia melihat seseorang yang berdiri tak jauh di area penerimaan tamu sembari membawa papan besar bertuliskan ‘Nona Arabella Cassie!’
Nama Ara tertulis dengan huruf besar, senyuman gadis itu langsung luntur. ‘Hh, kebebasanku,’ desah sang Cassie lemas. Seperti yang Ia duga, ‘Tsk, mana mungkin kakak super sibuk itu mau repot-repot menjemput adiknya ke sini!’ batin Ara lagi.
Melihat sosok yang asing nampak melambai saat menemukannya. Lelaki paruh baya yang tersenyum ramah, Ara berjalan mendekat.
“Nona Arabella?” tanya lelaki itu saat Ara semakin dekat, tidak Ia duga kalau bahasa Indonesia sosok itu fasih sekali. Sang Cassie mengangguk pelan, “Iya, Pak.”
“Perkenalkan saya Samuel Hendrawan, senang bisa bertemu dengan anda Nona Ara.” ucap sang lelaki paruh baya, seolah bisa menebak isi pikiran gadis itu. “Kebetulan ibu saya keturunan Indonesia asli dan tempat ini adalah tanah kelahiran ayah saya. Jadi saya bisa bahasa Indonesia cukup lancar. Anda tidak perlu sungkan,” lanjutnya,
Ara langsung mengangguk paham, “Oh, pantas saja.”
“Anda bisa memanggil saya Samuel, Nona.” ucap pelayan tersebut. Kembali mengangguk, pandangan Ara menatap sekitar. “Apa kau datang ke sini sendirian, Samuel? Dimana kakakku?” tanya Ara cepat.
Senyuman di wajah lelaki itu hilang sesaat, “Mohon maaf, Nona Ara. Hari ini beliau tidak bisa menjemput anda karena ada meeting mendadak, jadi hanya ada saya saja di sini,” Menunduk singkat.
Tentu saja Ara tahu, ‘Tsk, mana mungkin kakak super sibuk itu mau menjemputku!’ dengus gadis itu kesal. Tapi tetap saja, biarpun Ara sudah tahu dia tetap saja marah. Siapa yang ngotot dia harus tinggal bersama kakak tiri sialan itu? Ya Agra sendiri! Nah sekarang giliran menjemput saja tidak bisa?!
Menggeleng singkat, “Baiklah, tidak masalah. Aku lelah sama lapar, Samuel. Apa kita bisa mampir ke restaurant terdekat dulu?” pinta Ara.
“Tentu saja, Nona.” Samuel bergegas mengambil dua koper milik Ara, siapa yang tahu kalau lelaki paruh baya itu juga membawa dua bodyguard bersamanya, kenapa Ara tidak sadar?!
“Astaga!” jeritnya shock, masalahnya dua bodyguard itu sama sekali tidak ada bicara sejak tadi. Jadi dia kaget, kopernya sudah berpindah tangan. “Ayo, Nona.” Samuel menahan senyum melihat reaksi sang Cassie.
Sementara Ara tidak bisa menyembunyikan semburat merah di pipi, “A-ah, iya.” Mengikuti langkah sang pelayan. Baru satu hari dia di sini, gadis itu sudah merasa asing sekali.
***
Samuel membawanya ke sebuah restaurant terdekat, walaupun dekat tapi begitu Ara melihat bagian depan tempat itu. Dia sudah menganga cukup shock, ‘Besar sekali,’ batin sang Cassie tanpa sadar.
Walaupun di Indonesia dia pernah pergi ke restaurant besar dengan orangtua, tapi di sini untuk pertama kalinya setelah menginjak Chicago. Restaurant besar dan mewah sebagai tempat singgah makan yang tergolong sebentar? Apa tidak terlalu berlebihan?
“Mm, apa kita tidak bisa cari MCDonuld saja?” tukas Ara pelan. Samuel menatap bingung, “Anda tidak suka dengan tempat ini Nona? Kalau begitu biar saya reservasi tempat baru,” Bergerak sigap.
Ara langsung menggeleng cepat, “Ah, bukan begitu maksudnya! Aku hanya mau makanan ringan saja, bukan makan di tempat mewah seperti ini!” teriaknya kecil. Sang pelayan menghentikan kegiatan sesaat, “Anda yakin? Tempat ini sebenarnya sudah dipesan tuan Agra untuk jaga-jaga jika anda lapar,”
“Yakin!” Menatap sekitar, beruntung dia langsung menemukan sebuah kedai kecil yang lumayan menggugah selera. “Kita ke sana saja!” Menunjuk cepat, gadis itu berlari lebih dulu.
Gila saja, jangan bilang baru menginjakkan kaki di Chicago Ara sudah menghabiskan uang jutaan untuk sekali makan-makanan ringan. Di sini dia harus belajar irit!
***
“Bagaimana perasaan anda saat sampai di tempat ini, Nona Arabella?” Dalam perjalanan setelah menyantap makanan ringan tadi. Jujur saja Ara puas, pandangan gadis itu menatap keluar jendela mobil. Samuel duduk di depan sana sementara dia sendirian di tengah. “Senang sih tapi karena ayah dan ibu tidak memberi izin untukku tinggal sendirian di apartement jadi sedikit kesal,” jawab Ara santai.
“Anda berniat tinggal sendirian di tempat baru seperti ini? Saya rasa wajar tuan dan nyonya melarang, lagipula tuan Agra sudah menyiapkan kamar terbaik untuk anda, Nona Ara. Jadi tidak usah khawatir.” Samuel tersenyum ramah.
“Masalahnya itu dia tinggal bersama kekasihnya, ya masa aku jadi obat nyamuk di sana? Enak saja,” dengus Ara kesal. “Awas saja, kalau sampai mereka berani mesra-mesraan di depanku. Akan kubongkar semua aib kak Agra.” lanjut gadis itu. Samuel hanya terkekeh.
“Baiklah. Setelah ini kita diminta untuk mampir dulu ke kantor utama tak jauh dari kota Illinois, saya harap Nona tidak ada masalah,” Memastikan jadwal sekali lagi. Alis Ara tertekuk, “Ke kantor kak Agra maksudnya? Untuk apa? Aku mau istirahat saja,” dengus gadis itu kesal.
Hari pertama dan dia harus bertemu dengan Agra, entah kenapa rasanya malas sekali. Apalagi lihat wajah laki-laki itu yang datar dan dingin, tidak menarik minat!
“Maaf, Nona Ara. Ini perintah dari tuan, dia ingin menemui anda langsung.”
“Ya, kenapa tidak jemput saja di sini?” elak Ara lagi, “Atau suruh kekasihnya jemput kalau bisa,” ejek sang Cassie kesekian kali.
Kali ini Samuel hanya tersenyum mendengar dumelan Ara, sejak awal Agra memang sudah memberitahu lelaki paruh baya itu seperti apa sifat Ara. Gadis polos berusia 20 tahun yang suka ceplas-ceplos kalau bicara, sedikit hiperaktif dan suka dengan hal-hal baru.
***
Perusahaan keluarga Tanuwidja, seperti dugaan Ara. Baik di Indonesia ataupun di Amerika. Gedung besar menjulang itu selalu membuat gadis itu menatap dengan kagum. Bergerak di bidang import ataupun ekspor terutama di bagian furniture massal.
Berapa kali pun melihat dia tak pernah bosan. Pantas saja Agra bisa dengan mudah menyewa restaurant mewah hanya untuk Ara sekedar makan cemilan saja. Berdecak dalam hati.
Keluar dari mobil sembari terus menatap gedung, dua kopernya tadi ternyata sudah diurus oleh dua bodyguard untuk dibawa pulang ke Apartement. Jadi kopernya pulang, Ara saja yang datang ke sini.
‘Hh, dia mau apa sebenarnya?’ batin Ara malas. Memang sudah hampir tiga tahun mereka tidak bertemu langsung, bahkan untuk sekedar bicara dalam telepon pun sangat jarang. Entah se-awkward apa nanti keadaannya, Ara tak peduli.
Mengikuti langkah Samuel masuk ke dalam gedung. Lobby dengan nuansa warna emas nan elegant langsung menyambutnya. Sebuah meja resepsionis yang besar berisikan dua orang wanita berbalut pakaian kantor. Begitu Samuel datang, mereka kompak berdiri. Tersenyum manis,
“Selamat datang, Tuan Samuel.” Tubuh yang tinggi, langsing, bahasa inggris fasih, cantik dan memukau. Baru awal saja Ara sudah terpukau melihat para pekerja wanita di sini.
‘Untung saja bahasa inggrisku tidak jeblok,’ batin Ara lega. Samuel menghampiri dua resepsionis itu, “Apa tuan Agra sudah selesai rapat?” tanya sang Hendrawan.
“Mungkin lima belas menit lagi beliau selesai, Tuan. Bisa ditunggu dulu di sana, akan segera kami siapkan makan dan minum.” Salah seorang wanita menatap Ara lekat. Tentu saja Ara sadar, tapi dia pura-pura tidak tahu.
“Tuan, apa dia adik tuan Agra?” tanya salah seorang wanita lagi, kali ini dengan bisikan tipis. ‘Hh, aku dengar lho,’ batin Ara sekilas.
Samuel hanya mengangguk kecil, “Baiklah kalau begitu.” Lelaki paruh baya itu berbalik, baru saja dia hendak memberitahu Ara untuk menunggu. Tapi siapa sangka, suara denting lift yang cukup keras mengalihkan perhatian semua orang termasuk Ara.
Dalam hitungan detik, sosok lelaki tegap dalam balutan baju kerja yang tertata rapi keluar dari sana. Diikuti beberapa klien lain dan seorang wanita di sampingnya.
Tiga tahun tidak bertemu, Ara tak mengira kalau perubahan Agra terlihat besar sekali. Gadis itu hanya bisa melongo.
Tidak hanya dari tinggi badan yang semakin bertambah drastis, perubahan otot, bentuk tubuh, rahang semakin tegas, dan ketampanan lelaki itu sanggup membuat Ara nyaris meneteskan air liur.
Balutan pakaian kerja yang terlihat sedikit ketat, formal coklat kehitaman dan kedua manik tajam menatap datar seperti biasa.
‘Itu benar-benar kakakku?’ batin sang Cassie shock. Hampir saja dia menjerit.
Melirik ke arah lain, ternyata tidak hanya dia yang menatap penuh shock, bahkan para pekerja wanita yang setiap hari melihat lelaki itu masih saja menatap sang bos penuh pujaan. Rona merah di pipi, jika ini dunia kartun mungkin Ara bisa melihat bentuk jantung di kedua bola mata mereka.
“Bukannya rapat masih berjalan beberapa menit lagi?”
“Mana kutahu,” Samar Ara bisa mendengar bisikan tipis dua wanita tadi. Mereka saja bingung kenapa bos sudah keluar dari ruang rapat padahal rapat belum sepenuhnya selesai.
***
Lelaki itu berjalan ke arahnya. Ara masih berdiri sedikit gugup, ‘Lah kenapa aku gugup?!’ batin sang Cassie bingung. Mencoba tenang dan santai,
Saat Agra semakin mendekat, Ara masih berdiri tegap. Melihat gerak-gerik lelaki itu. Bagaikan gerak slowmotion, Agra nampak mengeluarkan sesuatu dari kantung celana-nya.
‘Dia mau apa?’
Makin dekat, sampai akhirnya mereka berdiri saling berhadapan. Di tangan Agra sudah ada saputangan, tangan besar itu terulur padanya.
Ha?
“Hapus air liurmu dulu,”
“Ha, apa?” Ara mengerjap polos, Agra nampak mendengus geli, manik itu masih menatapnya datar. “Apa kau terpukau dengan ketampanan kakakmu sendiri sampai meneteskan air liur seperti itu?” tanya Agra singkat.
Beberapa detik otak Ara yang lemot mulai berjalan. Perlahan dia mulai mengerti, beberapa wanita di dekatnya terlihat menahan tawa. Agra berbicara dengan bahasa Inggris yang tentu saja dimengerti mereka semua,
Pelan-pelan, rona merah di pipi Ara makin terlihat. Reflek gadis itu menunduk, rasa kesal membuncah. Pertemuan mereka yang pertama setelah tiga tahun dimulai dengan ejekan?!
‘Si-sialan!’
Tanpa aba-aba gadis itu langsung menginjak kaki Agra tiada ampun. “Siapa yang meneteskan air liur, Kakak sialan!” teriak Ara penuh amarah.