Arabella Cassie, tidak marah saat mendengar penjelasan sang ibu tentang pernikahan yang ingin dilakukan wanita itu lagi tepat setelah sepuluh tahun mereka kehilangan sosok yang paling berharga dalam keluarga. Ayah Ara,
Usia Ara saat itu tergolong masih belia, 14 tahun lebih tepatnya. Menginjak sekolah menengah, sore itu sepulang dari sekolah sang ibu memberikan penjelasan secara perlahan. Menangis dan meminta maaf pada Ara,
Mungkin Ara akan menganggap kalau pernikahan ibunya ini berarti wanita itu sudah melupakan sang ayah. Tapi dia tidak marah, Ara mengerti. Di usianya yang ke 14 tahun, Ara mengerti perasaan sang ibu. Bagaimana wanita itu selama ini hidup tanpa penopang, dan bekerja keras sendirian untuk menghidupinya.
“Ara, tidak marah kok. Kalau memang Ibu bisa bahagia sama paman itu, Ara setuju.”
Ara sendiri tidak tahu, takdir apa yang akan membelitnya tepat setelah menyetujui pernikahan sang ibu dengan seorang pengusaha tersohor di Indonesia, Imanuel Tanuwidja. Siapa yang tidak tahu mengenai marga keluarga Tanuwidja?
Memiliki perusahaan matang di setiap daerah bahkan hingga ke luar negeri, penghasilan ratusan juta setiap bulannya, sering tampil di majalah pengusaha, mengambil usaha ekspor dan import membuatnya dikenal sebagai salah satu pengusaha yang memiliki ratusan relasi di seluruh negeri.
Sampai akhirnya datang hari dimana dia harus bertemu dengan calon keluarganya. Sosok berwibawa, Imanuel Tanuwidja yang juga datang ke acara makan malam bersama putra tunggalnya.
“Agra, perkenalkan dirimu,”
Sosok kedua yang Ia lihat selanjutnya adalah sosok laki-laki berusia 21 tahun dengan manik abu kelam menatap Ara datar, ekspresi dingin tanpa senyuman, rambut pendek sedikit jabrik, dan rahang tegas.
Tampan, satu kalimat tercetak dalam pikiran Ara. Apa laki-laki ini yang akan jadi kakak tirinya nanti? Ara seolah melihat seorang pangeran dalam negeri dongeng yang keluar dari buku n****+ kesukaannya.
Tangan besar itu terulur sekilas, “Agra Dhanurendra, panggil saja Agra.” ucap sang empunya singkat. Ara bergegas membalas jabatan tangan cukup kuat, “Arabella Cassie, panggil saja Ara.” jawab gadis itu sedikit kikuk.
Hal pertama yang terngiang dalam pertemuan pertama mereka adalah sosok dingin itu melepas tangannya lebih dulu. Kembali duduk dengan ekspresi super datar, pandangan menatap ke luar area restaurant yang kebetulan memang terlihat sangat memukau.
Berada dalam gedung lantai 20, disewa eksklusif untuk hari ini. Menikmati pemandangan malam dibalik jendela kaca besar, kota Jakarta penuh gemerlap lampu gedung. Memang indah,
Tapi tetap saja, apa laki-laki itu bisa bersikap sopan sedikit saja? Dipertemuan pertama mereka. Agra terlihat sama sekali tak tertarik dengan pembicaraan ayah dan ibu mereka tentang pernikahan.
Menyebalkan. Ara kecewa dengan sikap Agra.
***
Melihat sang ibu dalam balutan gaun putih yang indah membuat Ara takjub, sekaligus terharu. Wanita paruh baya itu berusaha membesarkannya sendiri selama sepuluh tahun lebih, banting tulang mencari pekerjaan untuk menyekolahkan Ara, dan kali ini tentu saja dia tidak ingin mengganggu kebahagiaan ibunya.
Dia sendiri, dalam balutan gaun berwarna putih, rambut hitam panjang digulung manis, manik berwarna amber itu menatap berkaca. Seulas lesung di kedua pipi nampak jelas, Ara bahagia.
Tapi apa laki-laki di sampingnya juga bahagia?
Melihat seperti apa ekspresi yang ditunjukan Agra sukses membuat Ara kesal. Bibirnya reflek berbicara, saat hanya ada mereka berdua berdiri di dekat para pemain piano, mendengar alunan lagu dan langkah demi langkah sang ibu lakukan.
Manik Ara menatap sekilas Agra, “Sepertinya Kakak tidak suka dengan acara hari ini,” celetuk gadis itu singkat.
Alis Agra tertekuk, balas menatap dingin, “Apa aku perlu memberitahumu?”
Mendengus sekilas, “Setidaknya untuk hari ini bisakah kau tunjukan senyummu sedikit, Kak?”
“Siapa kau bisa mengatur ekspresi wajahku?”
Menekuk alis kesal, kedua tangan Ara terkepal, “Tolong jangan hancurkan hari mereka dengan ekspresimu itu, Kak. Hanya itu yang aku minta, sebagai adikmu.” Menekan kata ‘adik’ sukses menarik perhatian Agra sepenuhnya.
Saat seluruh pandangan kini tertuju pada kedua orangtua mereka, riuh tepuk tangan suara alunan piano saat ciuman pertama keduanya. Tidak ada yang melihat mereka,
Ara merasakan bagaimana Agra mendorong tubuhnya cukup kuat hingga membentur dinding, belum sampai di sana. “Ahk,” Mengernyit sakit, satu tangan mencengkram pundak Ara.
Saat manik gadis itu terbuka perlahan yang dia lihat adalah sosok Agra begitu dekat, mengunci posisinya dan mengukung Ara. Dalam jarak beberapa centi saja, Ara bisa melihat jelas senyuman mengejek di wajah Agra.
“Adik, kau bilang? Tidak semudah itu aku menganggapmu adik hanya karena kedua orangtua kita sudah menikah sekarang, jangan sembarangan bicara.” tukasnya dingin,
Pandangan mereka bertemu satu sama lain, menahan diri untuk tidak takut. Ara menggigit bibir bawahnya, menatap balik Agra, “Kalau memang kau tidak setuju, kenapa tidak bilang sejak awal?!” balas Ara kesal.
Tanpa menjawab pertanyaan Ara, Agra mendengus singkat, “Aku hanya tidak suka siapapun masuk ke dalam hidupku, termasuk kau. Jadi kuperingatkan sekali lagi, jauhi-”
Ara tidak setuju, di hari bahagia seperti ini dia tak mau acara ibunya hancur hanya gara-gara sikap egois Agra. Jadi sebelum Agra selesai bicara, “Tidak mau!”
Gadis itu sudah lebih dulu menginjak kaki Agra, sukses mengagetkan sang empunya. Tubuh tegap itu reflek mundur, meringis sakit. “Kau-” Manik Agra menatap tajam,
Ara menjulurkan lidahnya, seolah mengejek Agra, “Kau tidak ada pilihan, karena mulai sekarang kita sudah jadi kakak adik, jadi jangan bersikap seperti anak kecil!” Berkacak pinggang, dan mendengus kesal. “Sebenarnya siapa yang anak kecil di sini? Bukannya usia Kakak ini sudah 21 tahun ya?” ejek Ara lagi.
“Apa? Kau berani mengejekku?”
Agra berniat bangkit dan menahan Ara agar tidak pergi, tapi sayang, lagi-lagi Ara menginjak kaki lelaki itu cukup kuat. “Diam di sana dan jaga sikapmu, Kak!” tegas Ara.
Berjalan meninggalkan Agra tanpa basa-basi lagi dan mencari tempat lebih aman. Tidak mengecek kondisi Agra terlebih dahulu, membiarkan lelaki itu diam menahan malu.
“Anak itu,”
Baru kali ini dia dipermalukan oleh anak kecil, dengan wajah memerah. Berusaha bangkit, menahan tubuh dan rasa sakit di kedua kaki. Mencari keberadaan Ara, saat menemukan gadis itu.
Tatapan mereka kembali bertemu, Agra menatap tajam. Sementara Ara hanya bisa menjulurkan lidah penuh ejekan. Oke, amarah Agra semakin naik.
‘Beraninya anak itu mempermalukanku,’
***
Setiap hari mereka lewati dengan bertengkar atau bertukar ejekan. Meski di depan kedua orangtua, mereka nampak akur dan bersahabat. Sejak bertemu dengan Agra pertama kali, Ara memang tidak pernah percaya dengan sikap laki-laki itu.
Dingin, tak sopan, suka mengejek, bahkan tidak tanggung-tanggung menolak setiap pemberian yang Ia beli dengan uang hasil tabungannya sendiri.
Tapi bukan Ara namanya jika hal seperti itu saja sudah membuat Ia menyerah. Sampai Agra menerimanya sebagai adik, meski harus memerlukan waktu bertahun-tahun. Dia akan berusaha sekuat mungkin,
Sayangnya satu kejadian hari itu sukses menghancurkan semua kerja keras Ara selama ini. Di saat sifat Agra mulai melunak dan hubungan mereka membaik selama tiga tahun berjalan. Haruskah dia mengulang lagi? Semua kesalahpahaman yang masih membuatnya bingung sampai sekarang.
***
“Putus?”
Lebih tepatnya saat usia Ara menginjak 17 tahun. Masa dimana gadis itu mengenal artinya rasa cinta. Berpacaran, menjalin hubungan dengan lelaki yang Ia sukai.
“Maaf, sepertinya hubungan ini tidak akan berjalan lancar,”
“Tapi kenapa?! Bukannya hubungan kita baik-baik saja,” Suara Ara cukup keras, bagaimana bisa laki-laki yang sudah Ia kenal selama dua tahun sebagai kekasihnya sekarang tiba-tiba saja meminta putus? Ara sudah berusaha keras menyukai laki-laki itu, “Apa alasannya?!”
Lebih buruknya lagi, tepat setelah satu hari lelaki itu memperlakukan Ara begitu spesial, bahkan mengantarnya pulang hari ini. Tidak masuk akal!
“Katakan, El!!”
Sosok itu nampak diam, tidak ada niat untuk bicara. “Farel!!”
“Baik!! Alasannya aku sudah tidak tertarik denganmu lagi, puas?! Selama berhubungan dua tahun ini, kukira kau ini selain cantik, tapi juga mengerti keinginanku sebagai laki-laki, sepertinya aku salah,” tukas lelaki itu cepat.
Memandang balik Ara dengan berani, tidak peduli seberapa keras melihat gadis itu menahan tangisnya. “Kau---benar-benar b******k,” umpat Arabella, menahan amarah.
Sekuat apa dia berusaha menyukai Farel, ternyata pada endingnya laki-laki itu sendiri yang menghancurkan hubungan mereka.
“Terserah kau menganggapku apa, lagipula kita masih remaja, untuk apa serius tentang hubungan seperti ini?” Lelaki itu mengendikkan bahu santai, menatap Ara malas. “Kau sudah puas ‘kan? Kalau begitu ini terakhir kali aku mengantarmu pulang,” Tanpa rasa bersalah, mengulurkan tangannya,
“Bagaimana kalau kita berdamai? Aku tidak mau menjadi musuhmu dan kau mengganggu kekasih baruku nanti,” ungkapnya sekali lagi,
Ara sama sekali tidak ada niat untuk menjabat tangan itu, dia justru bergerak cepat, “Laki-laki b******k!!” Memukul perut Farel sekuat tenaga,
“Agh!!”
Farel terdorong mundur sesaat, menatap kaget Ara, “Ka-kau, beraninya!”
Manik Ara tertutup reflek, saat melihat Farel hendak melayangkan pukulan balik padanya. Mungkin rasanya akan sangat sakit, tapi dia tidak masalah, gadis itu sudah cukup puas memberikan Farel pukulan tadi!
Selang beberapa menit, Ara sama sekali tidak merasa sakit, Ia justru mendengar suara teriakan cukup keras. “AGH!!” Suara yang familiar, manik Ara terbuka cepat.
Melihat Farel tersungkur tak jauh dari posisinya dan sosok tegap berdiri tepat di depan Ara. Melindungi sang Cassie, “Apa kau mau mati?!” teriak sosok itu tegas, dipenuhi amarah.
Ara mengerjap kaget, kenapa bisa? “Kak Agra?”
Ia kira Agra sedang berada di rumah temannya sore ini, “Pergi kau dari sini sebelum aku menghancurkan wajahmu lagi!!” teriak Agra lebih kencang, mengabaikan pertanyaan Ara.
Menyembulkan wajah dari balik punggung Agra, Farel kini sudah penuh lebam. Lelaki itu bangkit dengan wajah ketakutan. Tanpa mengucap apa-apa lagi, dia berlari keluar dari area pekarangan rumah mereka.
Meninggalkan Ara dan Agra berdua. “Kak Agra, bukannya sedang keluar dengan teman?” tanya Ara lagi, Agra justru berjalan pergi meninggalkan gadis itu, masuk kembali ke rumah. Sang Cassie hanya mengikuti, “Kak!” panggilnya berulang kali.
Melihat langkah Agra yang semakin menjauh, entah kenapa air mata Ara malah meleleh begitu saja. Tangis yang Ia tahan keluar tanpa aba-aba,
Tidak menyangka kalau hari ini akan datang juga, menggigit bibir bawah kuat, menatap punggung Agra, “Terimakasih, Kak.” ucap Ara berusaha tersenyum,
Menghapus air matanya, “Kakak, pasti berpikir aku ini bodoh sekali, berpacaran dan menyukai laki-laki seperti Farel.” Mulai menjelek-jelekkan diri sendiri, “Padahal aku hanya ingin tahu rasanya pacaran itu seperti apa, seharusnya hal kecil seperti ini tidak bisa membuatku menangis,”
Terus menangis, “Aku benar-benar bodoh,”
“Kakak, boleh tertawa atau mengejekku. Maaf karena sudah merepotkanmu,” Tidak sadar bahwa tubuh tegap yang tadinya hendak menaiki lantai dua terhenti seketika, pelan sosok itu berbalik. “Farel, padahal dulu dia begitu baik, tapi kenapa---dia berubah jadi laki-laki b******k-hiks,”
Langkah demi langkah tidak Ara sadari, hingga akhirnya saat tubuh gadis itu tepat berada di dekat dinding. Cahaya lampu yang mengenainya tadi hilang, barulah Ara sadar, menghentikan tangis.
“Kak,”
Agra sudah berada di depannya, dengan ekspresi yang tidak bisa Ia tebak. Secercah sendu, dibalut oleh emosi terpaku dalam wajah tampan itu.
Hal yang terjadi selanjutnya, seperti yang kalian tahu. “Apa kau harus menyebut nama laki-laki itu berulang kali?” Suara baritone itu mengucap dingin.
“A-apa, Kak? Aku ‘kan hanya,” Belum sempat menjawab, tubuh Ara terasa ditarik singkat. Masuk ke dalam pelukan yang begitu erat, “Dia hanya laki-laki b******k yang tidak pantas kau tangisi,”
“Ara.”
***
Detik itu juga, terjadi perubahan yang cukup hebat dalam tubuh Ara. Darah dan jantungnya entah kenapa terpompa begitu cepat, bahkan saat Agra menyebut namanya dengan begitu pelan,
Aneh, aneh, aneh, apa hal seperti ini wajar dilakukan kakak dan adik? Pelukan? Tentu saja wajar ‘kan?! Mereka hanya berpelukan. Agra berusaha menenangkannya saja. Ara mencoba tetap tenang.
Tapi tetap saja. Satu kejadian yang nyaris terjadi hari itu, membuat kebingungan Aram akin menggunung. Semua perubahan sikap Agra dalam waktu singkat menjadi bukti. Bahwa hubungan mereka semakin merenggang,
Semua kerja keras Ara mendekati dan berusaha akur dengan Agra hancur dalam waktu sehari saja. Tepat saat lelaki itu memutuskan untuk pergi menjauh dari keluarganya, termasuk Ara.
Apa laki-laki itu membencinya?