PART 4

1251 Words
Poppy Millers POV Menyebalkan sekali. Mengapa bisa Daddy ke kantor dan meninggalkan aku sendirian di rumah tanpa sarapan pagi? Biasanya Daddy selalu menyempatkan diri membuatkanku omelette atau segelas s**u hangat, sebagai salah satu upahku menidurkan kejantanannya yang mengeras tapi... "Semua karena kau, Bibi Rone! Sialan!"  Sekali lagi aku juga menyesali sikapku yang memberhentikan Bibi Rone tanpa seizin Daddy, karena dia terlalu lancang mencampuri urusan kami. Malam itu, Bibi Rone merusak acara panas yang sedang terjadi antara aku dan Daddy di sofa ruang tamu dengan menegur kami berdua. Daddy jelas tidak suka dengan ulah Bibi Rone, tapi tak bisa menegurnya karena menurutnya pelayan kesayangannya itulah yang merawatku sejak balita, "Oh, s**t!" Mengapa bukan wanita itu saja yang melayani nafsu Daddy selama ini? Mengapa harus aku? Begaimana menurut kalian? Benar tidak pemikiranku ini?  "Oh, no! Bukan Daddy yang salah! Semua karena lupa mengisi lemari es yang kosong. Oh, Bibi Rone. Kenapa kau harus mencampuri urusan kami?" batinku sedikit kecewa. "Hufttt..." Ya sudahlah. Ayo kita berbelanja hari ini, kebetulan juga aku ingin makan spageti dengan taburan topping seafood dan tak sampai dua puluh menit kemudian, kakiku sudah sampai di sebuah mini market yang tak jauh dari pusat kota. Aku pun dengan semangat mengambil beberapa kaleng seafood beragam rasa di rak makanan olahan, mengisinya dalam troli belanjaanku, lalu kembali bergerak menuju ke rak makan instan. Aku memilih banyak spaghetti dari beberapa merk dan ukuran. Selanjutnya tentu saja aku tak bisa berhenti berkedip ketika troliku melewati sederet buah, sayur dan juga daging segar yang berada di dalam sana. Aku dengan mudahnya mengambil apa yang terlintas di depan mataku, tanpa mau repot-repot memeriksanya terlebih dahulu hingga saat aku sampai di kasir dan membayar semua barang belanjaanku, Aku begitu terperangah dengan dua tumpukan besar paper bag yang entah harus bagaimana caranya dapat kubawa sampai ke tempat mobilku terparkir. Ini masih pagi dan kau tahu apa? Aku tak menemukan wajah manis siapapun yang bisa kumintai tolong dalam hal angkat mengangkat. "Hei, Nona! Cepat angkat belanjaanmu itu. Putriku sedang menunggu di mobil!" "Aku juga sudah mau terlambat ke kantor, Nona! Cepatlah menyingkir!" Oh, sial! Dua suara di belakangku, kini memaksa untuk segera menyingkir dan suka tidak suka, "Cih! Menjijikan sekali!" aku pun mengangkat dua paper bag itu dengan gerutuan dan semangatku yang mulai mengendur. Aku berjalan tanpa bisa melihat ke arah yang benar, "Baiklah, Poppy. Selamat mencoba!" Diikuti si peri putih dalam diriku yang tidak berhenti menyemangati. "Oh, Darling. Terima kasih kau sudah ada di dalam hidupku memberi peringatan dan selalu melemparkan banyak semangat. Tapi maafkan aku, Darling. Aku belum bisa berhenti berbuat dosa dan tolong kau mengerti, oke?" Batinku membalas ocehan si peri putih tadi sembari tersenyum konyol. Aku pun berjalan tanpa menoleh atau bertegur sapa dengan dua orang di kasir itu tadi, terus melangkah memapah dua paper bag besar hingga hampir sampai ke pintu mini market dan, 'BRUGH!' "Hei! Apa yang kau lakukan, hah?! Di mana mata-- Sial! Kau lagi!" pekikku tak tertahankan. Mataku menatap lekat ke arah lelaki itu dan kau tahu apa? Rasanya aku ingin sekali melucuti semua pakaiannya lalu segera memainkam kembali senjata payahnya itu sekarang juga. Aku begitu benci ketika wajahnya bisa berlama-lama berada di selangkanganku, juga saat baru lima menit aku beraksi, ia sudah lebih dulu menyemburkan cairannya. Aku tidak suka keadaan seperti itu terjadi ketika pelepasanku hampir saja tiba. Belum lagi saat aku berharap Daddy dapat memuaskanku, ternyata wajah pria di depanku inilah yang terus membayangi saat kami saling berbagi kehangatan. Terkesan? Ya, kurasa mungkin bisa jadi begitu. Bayangannya bahkan tak bisa aku singkirkan dengan mudah dan ketika kini kami saling berhadapan, degupan jantungku berkerja dua kali lebih cepat daripada sebelumnya. Meskipun begitu, tentu saja aku tak ingin ia berpikir jika aku menyukai atau mencari perhatiannya dan ya. Aku pun memasang wajah datarku, tapi sejurus kemudian suaranya yang berat terdengar di telingaku, "Kau? Bagaimana kau bisa--" "Ada apa denganku, hem? Apa yang kau tunggu? Cepat bereskan semua barang belanjaanku yang kau jatuhkan ini!" Tentu saja aku memilih untuk memotong ucapannya, dengan volume suaraku yang sengaja meningkat. "Egh... Iy..iya-iya... Maaf." Kudengar ia terbata-bata menjawab ucapanku dan ini benar-benar lucu sekali. Aku memang sering mendapati kejadian di mana seorang lelaki begitu kikuk berada di depanku, namun entah mengapa, kali ini hatiku begitu tergelitik saat dia memperhatikanku, "Tenang, Poppy! Tenang! Kau seorang gadis populer di kampusmu, bukan? Jadi jangan melihat ke bawah dan menolongnya, atau dia akan segera tahu apa yang kau pikirkan!" ujar si peri hitam dalam hatiku. Aku pun mengikuti perkataan tersebut, mengangkat dagu setinggi mungkin, membusungkan d**a hingga dua tonjolan ini benar-benar terlihat membesar seperti habis dipasangi impan, lalu kedua tanganku pun turut berpartisipasi. Aku berkacak pinggang, berupaya tidak memedulikan lelaki ini, namun kedua telingaku menangkap kekehan tawa dari orang itu. "Astaga!" batinku memekik. Dia menertawakanku? Dasar lelaki sialan! Apa dia tak tahu aku berusaha menyembunyikan perasaan aneh dalam diriku? Pikiranku semakin tak menentu. Aku segera merubah posisi, menghembuskan nafas kasar sembari menarik ikat rambutku hingga terurai, "Apa yang kau tertawakan?! Cih, dasar gigolo menjijikan! Berikan barang belanjaanku," sebelum berujar dan merebut paper bag belanjaanku dari tangannya. "Egh, aku--" "Apa lagi? Menyingkirlah! Aku harus segera pergi dari sini! Menyebalkan sekali! Oh, ya ampun! Mengapa apa aku bisa bertemu gigolo ini di sini lagi?" Aku benar-benar tidak memedulikan dia yang mulai mengeluarkan suara, lalu memotong ucapannya seraya berlalu pergi. Gemuruh dalam dadaku semakin kuat ketika aku mengeluarkan kata-kata kasar itu, sebab perasaan bersalah tiba-tiba saja datang tanpa bisaku kendalikan. Aku sadar kami sedang berada di tempat umum, sehingga tak seharusnya aku membuka hal pribadi tentang pekerjaan sialannya itu. Tapi... Ah, sudahlah! Aku masuk ke dalam mobil seraya berupaya tak lagi memikirkan pertemuan kedua kami yang tidak mengenakkan itu, sebelum pada akhirnya aku benar-benar keluar dari pusat perbelanjaan itu. Tak sampai dua puluh menit aku sudah sampai di mansion milik Daddy dengan membawa semua belanjaanku tadi. Aku berjalan menuju ke arah lemari pendingin, mengambil air di botol mineral berukuran sedang dan, 'glek glek glek...' seluruh isinya pun tandas tak tersisa. "Sialan! Siapa dia sebenarnya, hah?! Kenapa pikiranku hanya dipenuhi wajahnya, tatapannya, ingatan tentang kejadian di malam itu dengannya, cara berbicaranya, dia..dia..dia... dan hanya dia seorang?! Kenapaaa...?!" Amarahku memuncak di sela tubuhku yang bersandar di pintu lemari pendingin. Ingin rasanya aku membanting gelas yang sedangku pegang ke lantai, namun ponsel sialan di saku rok pendekku sudah lebih dulu berbunyi nyaring. Dengan malas aku menyimpan gelas di bak pencuci piring, menyenderkan tubuhku lagi di tembok pantri dan mengambil benda pipih itu untuk melihat siapa yang berada di ujung telepon. "Eh, siapa ini? Privated number? Apa Daddy yang menelepon?" batinku bertanya-tanya. Aku menggeser tombol hijau di layar, meletakkan ponsel itu di telinga kanan, "Halo, siapa ini! Halooo... Halo! Hal-- Klik Sialannn...! Orang gila mana yang sudah merusak hariku lagi, hah? Benar-benar sialan! Awas saja jika dia berani meneleponku lagi? Aku jamin kali ini akan kuberi dia pelajaran! Sialan!" Dan kembali mengumpat akibat perbuatan seseorang di ujung telepon tadi. Langkah kakiku melebar, meninggalkan pantri menuju ke kamar. Kurebahkan tubuh ke atas tempat tidur dengan kasar, lalu satu pertanyaan ternyata tak dapat kutahan lagi di sana, "Siapa dia?" Aku merasa ini aneh, hingga tanpa kusadari, Daddy sudah berlutut di depanku. Ia dengan cepat membuka lebar-lebar kedua kakiku, melepaskan rok yang ku kenakan dan melumat habis milikku, setelah berhasil membuka g-string hitamku, "Ach, Daddy! Apa-apaan ini? Daddy, oughhh... Dad-- Achhh...!" "Yes, Sweetheart. Kau ke mana saja, hemm... Daddy mencarimu sejak tadi. Daddy menginginkanmu lagi, Baby. Sekali lagi. Slurup sluruuppp..." Lalu membuat pikiranku melayang, konsentrasi bicaraku terpecah karena ulah sialannya ini. "Ough, Daddyyy...!" Tapi aku kembali menghadirkan wajah tampan lelaki itu di sana beberapa menit kemudian, demi sebuah pelepasan yang tak kunjung kudapatkan sejak semalam. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD