9-Cowok Imut Vs Cewek Amit amit

1662 Words
9- Cowok Imut vs Cewek amit amit “Siapa yang m***m? Bukankah itu kamu, yang sengaja ingin melihat ini,” Rainhard menunjuk burung perkututnya. “Aaa, anda sudah kurang waras Pak. Cepat menikah sana!” pekik Sava, dia sampai memukul-mukul pelan lengan Rainhard. “Aku sedang nyetir, apa kamu mau kita mati bersama,” ujar Rainhard masih dengan sisa tawanya. Tanpa merespons perkataan Sava tadi. “Huuh.” Sava akhirnya diam. Lalu, dia menemukan solusi. Dia mulai menguap, dan menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Memejamkan mata. Ya itu solusinya, pura-pura ngantuk dan tidur jauh lebih baik daripada harus meladeni pria m***m itu. Rainhard mendengus. “Aku tau kamu pasti pura-pura tidur kan?” Sava sengaja tak menjawabnya. “Rasain! Ngomong aja sendiri,” tertawa dalam hati. Akhirnya pria itu diam juga, karena tidak ada timbal balik. Memilih memutar musik romantis yang membuatnya senyum-senyum sendiri. Perjalanan terasa pendek bagi Rainhard, karena ternyata sudah tiba di halaman depan rumah Sava. Setelah, mobil itu memasuki sebuah perempatan dan masuk ke arah kanan jalan. Jalan yang cukup besar hingga bisa masuk dua mobil saling berlawanan. Rumah Sava memang tepat di pinggir jalan tempat tinggalnya. Sebuah rumah sederhana dengan cat putih, tampak pohon mangga, pohon nangka dan jambu air di halaman depan rumahnya. Rumah yang tidak ditingkat, dan ukurannya hanya sepuluh meter kali enam meter saja. Mungkin sangat kecil bagi Rainhard yang kaya raya, namun bagi Sava dan keluarga, rumah itu begitu nyaman sebagai tempat mereka melepas lelah dan mengukir kenangan. Sava merasakan ada tangan yang membelai pipinya lembut. Lalu, menelusuri seluruh wajahnya, tangan itu berhenti di bibirnya. Menyentuhnya dengan lembut. Hingga, tiba-tiba dia merasakan sesuatu yang basah dan lembut serta kenyal menyentuh bibirnya. Dia melenguh. Lalu berusaha membuka matanya pelan-pelan. Dia rupanya benar-benar ketiduran tadi, ah memalukan! Pikirnya. Sava celingukan setelah membuka mata, menegakkan punggung dan menoleh ke arah Rainhard. Pria itu tampak menunduk dengan tangan memainkan ponsel. “Tadi itu apa aku mimpi ya? Ko berasa nyata ya, kalau aku sedang....” Dia lagi-lagi merutuki dirinya sendiri, karena sudah berpikiran m***m. Dia jadi menyalahkan Rainhard, semenjak kenal pria itu, dia jadi sering berpikiran ke arah yang iya-iya. Padahal, sebelumnya tidak. Berpacaran dengan Rio, semua selalu baik-baik saja. Kak Rio nya sangatlah baik. “Ini rumahku kan? Kok anda tau?” tanya Sava, dia celingukan melihat ke arah luar mobil. Rainhard memasukkan ponselnya ke dalam saku jas, lalu menjawab pertanyaan Sava. “Tidak usah banyak tanya, ayo turun. Atau mau aku gendong sampai ke dalam rumah?” bertanya dengan senyuman tipis. Sava mendengus, menatap kesal lelaki itu. Tapi, fokusnya berubah. Sava jadi memperhatikan bibir seksi Rainhard. Warna bibir Rainhard berubah sedikit ada nude nya. Seperti warna lipstiknya. Terlebih, dia menyadari ada warna lipstik juga di sudut bibir pria itu. Dia jadi syok. “Apa anda mencium saya saat tidur?” tanyanya berapi-api. Rainhard mengerutkan dahi dalam. “Mencium? Kamu mau? Boleh?” lalu sengaja mendekatkan diri ke arah Sava. Kontan dong Sava jadi gugup dan ketakutan. “Eh, bukan seperti itu!” mendorong d**a pria itu dengan pipi merona. Rainhard tersenyum. “Kalau kamu menginginkannya, aku siap. Bilang saja nanti,” ujarnya sambil menjauhkan tubuhnya. “Huuh, selamat,” gumam Sava. Tapi, dia jadi bertanya-tanya. Apa Pria itu menciumnya saat tertidur tadi atau tidak? Dia akan memeriksa bibirnya di cermin setelah ada di kamarnya nanti! “Kalau iya begitu, maka pria itu harus bertanggung jawab!” menggebu-gebu dalam hati. Eh, ada apa ini? Dia sedang berpikir ingin Rainhard bertanggung jawab? Tidak perlu! Bagaimana dengan Kak Rio-nya nanti! Sava membuka seatbelt, lalu turun dari mobil Rainhard. Rainhard mengikuti. Sava mengerutkan dahi heran. “Anda kenapa turun?” tanyanya. “Main,” jawabnya santai. “Hah, main?’ Sava berusaha mencerna ucapan pria itu. “Iya,” tanpa menghiraukan Sava, pria itu ngeloyor menuju ke teras rumah Sava. Naik ke teras, berdiri di depan pintu utama lalu mengetuk pintu rumah. Tok tok tok. Sementara itu, Sava masih kebingungan. Dia membalikkan badan menatap punggung pria yang merupakan bosnya, yang sedang mengetuk pintu. Garuk-garuk kepala beberapa kali. “Apa dia mau mengapel ya?” gumamnya, dia terkekeh sendiri dengan apa yang dia pikirkan sekarang ini. Ada-ada saja, pikirnya. Pintu dibuka dari dalam. Menampakkan sosok ibu dari Sava. “Sava mana?” tanya ibunya sambil mempersilahkan masuk. “Itu, lagi bengong,” kekeh Rainhard, sambil menoleh ke arah dimana Sava berdiri. “Anak ini,” gumam ibunya. “Va, masuk ini udah malam loh,” pekik ibunya agak pelan, karena takut berisik jika terdengar tetangga. “I iya Bu,” saking kagetnya, karena tiba-tiba saja sang bos mampir ke rumahnya, Sava jadi terbengong-bengong. Dengan cepat, dia berlari ke arah pintu. Sayangnya pintu sudah ditutup sang ibu. “Yang anaknya itu sebenarnya siapa sih? Aku atau pria itu?” gerutunya kesal. Dia membuka pintu dengan jengkel, membuka sepatunya dan menyimpan di tempatnya. Dia mendengus, saat melihat pria itu berbincang dengan kedua orang tuanya. Mereka terlihat akrab sekali. “Kok bisa seakrab itu?” gumamnya, tapi matanya kemudian tertuju pada sepatu yang Rainhard pakai. Pria itu tidak membukanya! Enak saja! “Pak bos, ini rumah kami. Jadi peraturan di rumah ini keluarga kami yang buat, tolong buka sepatunya!” “Mengotori saja, aku yang mengepel loh setiap hari!” lanjut Sava, kapan lagi bisa memarahi Rainhard, pikirnya. Rainhard terkejut mendengar perkataan gadis itu. “Baiklah,” dengan cepat membuka sepatu dan kaus kakinya. Eh, Sava jadi merasa heran karena pria itu menurut saja. Biasanya kan akan marah-marah dan mulut pedasnya akan menyemburkan api! “Aneh,” gumamnya. “Sava, sopan sama tamu” itu suara ayahnya. Sava bisa melihat raut kesal dari sang ayah, begitu pun ibunya. Sava cemberut, semakin merasa dianaktirikan. “Tidak apa-apa, ayah dan ibu tidak perlu memarahi Sava. Maklum, dia masih kecil,” ujar Rainhard dengan nada lembut dan senyuman yang ramah. Uhuk uhuk, Sava sampai tersedak ludah sendiri mendengarnya. Pria dingin bermulut pedas ini bertransformasi menjadi cowok baik, dan imut-imut ala cowok-cowok unyu di drama korea yang lagi hits saat ini. “Cari muka!” gerutunya. “Aku ngantuk, mau bobo syantik dulu ya ayah dan ibu,” ucap Sava ikut sok imut mirip aktris drama Korea. “Ngeri ibu melihat kamu sok imut,” kekeh ibunya. Tentu saja Rainhard dan ayahnya ikut tertawa meski tertahan. Ditambah lagi adiknya, Adit, yang tiba-tiba muncul dari arah dapur, dia paling parah karena tertawa terbahak-bahak. “Kalian ini sepertinya sekongkol mau nyingkirin aku dan menggantinya dengan dia!” raung Sava sambil melirik jengkel ke arah Rainhard, dia mendramatisir keadaan. Tentu saja tawa mereka bukan berhenti, malah semakin keras saja. Bahkan, Rainhard yang terbiasa dingin dan jarang tertawa, sampai berderai matanya,” kamu lucu,” gumamnya. “Muka kakak itu kan antagonis, nggak pantes deh kalau berakting imut-imut, bukannya terlihat imut, malah amit-amit,” lagi-lagi adiknya meledek diiringi tawa. Sava mengentakkan kaki, sambil menuju ke kamarnya. Lebih baik tidur saja, daripada makan hati. Kring-kring Terdengar bunyi nada dering dari ponselnya. Rasa kesal Sava sedikit terobati, setelah dia melihat siapa yang meneleponnya. Rio. “Besok kencan yuk, hari ini kan enggak jadi,” ujar Rio dari seberang sana. “Siap, pokoknya kalau besok mendadak disuruh lembur, aku nggak mau deh,” dengan nada kesal. “Iya jangan mau kalau mendadak, aku kangen banget sama kamu. Pulang bareng siapa? Kok aku liat ada mobil di halaman rumah kamu?” suara Rio terdengar kesal. Dia cemburu. “Emm, Pak Bos,” sahut Sava malas. “Hah, kok bisa? Jangan bilang kalian?” Rio mulai merasa tak enak hati. Tentu saja cemburu! Dan mencurigai ada sesuatu diantara mereka. Sava mulai bercerita tentang kejadian terjebak di lift, ke rumah sakit sampai pulang ke rumah. Tentu saja, banyak yang dia sensor. Dia hanya menceritakan garis besarnya saja. “Oh begitu ya?” untunglah Rio paham. Besok paginya. Sava seperti biasa sudah bangun pagi, mandi, melaksanakan ibadah subuh sebagai seorang muslim, dan membantu ibu, membereskan tempat tidurnya, heheh. “Jam berapa Pak tua itu pulang?” tanya Sava saat sedang sarapan. “Mulutmu, dia nggak terlalu tua juga. Masih muda, ganteng, bule lagi,” bela ibunya. “Aku ini anak ibu atau dia yang anak ibu sih?” rajuknya bercanda, karena sejak semalam ibunya terus saja membela Rainhard. “Makin sableng saja kamu,” dengus ibunya. “Sudah, sudah. Makan jangan sambil ngobrol!” Ayah menginterupsi. Semua makan dalam tenang, karena sudah mendapat ultimatum. Rumah Rio tepat di depan rumah Sava. Sebuah rumah dua tingkat yang lumayan besar. Rio adalah tetangganya, sekaligus teman main sejak keluarga Sava pindah ke kota ini. Dulu, rumah Sava di desa. Dia dan keluarganya pindah, saat dia memasuki usia 13 tahunan. Hingga, saat Sava kelas satu SMK, Rio menyatakan perasaannya. Dan mereka mulai menjalin hubungan sampai sekarang. Sava berangkat dibonceng Rio seperti biasanya. Sava bisa bekerja dengan tenang, karena menurut kabar dari teman-teman seprofesinya yang suka menguping, mereka bilang Rainhard sedang ada pertemuan di luar sampai jam tiga sore. “Pak Rain, hari ini ada tugas di luar sampai jam tiga sore,” ujar Arni, teman seangkatan Sava. “Kamu ini apa informan ya?” kekeh Sava. Arni selalu dapat informasi akurat mengenai gosip kantor ini. “Emang iya!” Arni tertawa sambil mengibaskan rambut sebahunya. Sava tertawa sambil geleng-geleng kepala. “Aman!” Sava merasa bebas dari gangguan pria itu, semoga saja pria itu nggak pulang lagi ke kantor, harapnya. Supaya, dia bisa kencan sama Rio. Sore tiba, Sava bergegas pulang. Sepertinya doanya terkabul, Rainhard tidak pulang lagi ke kantor. Menurut gosip, dia kedatangan keluarga yang datang dari luar negeri. Rio sudah nangkring di atas motornya. “Jadi juga kencan,” kekeh Rio. “Iya dong!” dengan cepat, Sava naik ke atas motor Rio, setelah pria itu memakaikannya helm. Mereka pergi kulineran, hanya jajanan pinggir jalan. Tapi, sungguh Sava merasa bahagia. Hingga, dering ponselnya meraung-raung meminta untuk dijawab. Dengan malas dia menjawab nomor dengan nama aneh itu. Dia merasa tak pernah menyimpan nomor ini, apalagi dengan nama yang aneh! Nama di ponselnya tertera. Hujan di hatiku. “Siapa? Mengganggu saja!” gerutunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD