Zaki memboyong Savira dan Shindu ke rumahnya. Ia juga memintakan izin secara langsung kepada atasan Savira agar sang menantu sepupunya itu bisa beristirahat selama dua hari di rumah.
Savira diduga kelelahan karena bekerja lembur beberapa waktu belakangan ini. Karenanya, ketika Zaki diberi tahu kalau Savira pingsan, ia langsung berinisiatif melakukan hal tersebut.
Savira bukan orang yang gampang menurut ketika diminta beristirahat atau sekedar leha-leha apalagi jika sudah menyangkut pekerjaannya.
Biasanya, meski tubuh Savira tidak terlalu fit untuk diajak bekerja, ia akan tetap pergi dengan alasan,
‘belum sampai pingsan juga’.
Alasan yang terkadang membuat Zaki kesal dan berakhir sering mengomeli wanita itu.
Tapi karena kali ini Savira dikabarkan pingsan, maka tidak ada alasan untuk Savira membantah keputusan Zaki dan atasannya.
“Vir, kerja keras boleh. Tapi kerja cerdas juga perlu. Mas tahu kamu seneng sama pekerjaan kamu. Loyalitas dan pengabdian kamu yang tinggi sama profesi kamu itu baik, tapi inget Shindu, Vira.”
Savira hanya bisa menunduk. Bukan saja karena merasa bersalah. Pikirannya juga masih rumit. Dan hal itu membuatnya tak mendengar omelan Zaki ketika mereka sudah tiba di rumah.
Caroline yang baru kembali dari kampus langsung menghampiri dan bertanya pada suaminya yang terlihat sedang mengomeli keponakannya tersebut.
Untungnya anak-anak sedang bermain di halaman belakang sehingg mereka tidak melihat Zaki yang mengomeli Savira seperti anak kecil.
Zaki lantas menjelaskan semuanya dan mengatakan pada sang istri kalau Savira akan tinggal bersama mereka selama dua hari kedepan.
“Kamu pasti capek, Vira. Sebaiknya mandi terus istirahat. Biar Shindu sama anak-anak,” nasehat Caroline sambil mengusap bahunya.
“Iya, Mbak. Makasih.”
Savira bangun dan menghampiri Zaki yang sejak tadi tak henti-henti mengomelinya.
Zaki sudah menganggap Savira seperti adiknya sendiri. Zaki dan Wirya–kakek Shindu dari ayahnya adalah saudara sepupu.
Karena usia yang terpaut hanya belasan tahun, Zaki menganggap Savira seperti adiknya sendiri.
Sebabnya, begitu tahu Savira pingsan karena dikira kelelahan bekerja, Zaki tentu cemas dan berakhir meluapkan kecemasannya dengan mengomeli Savira.
“Maaf aku udah bikin Mas cemas.”
Zaki mendesah berat namun sedikit kemudian telapak tangannya menepuk kepala Savira dengan lembut.
“Sana mandi, makan terus istirahat!” ketusnya membuat sang istri mencebik kesal.
Savira tidak sakit hati. Namun bukan itu yang membuatnya murung dan merasa bersalah.
Apa yang sudah ia lakukan di rumah Kagawashi baru saja tentu mengganggu pikiran Savira.
Bukan hanya Shindu yang dijadikan Kagawashi ancaman, tapi Zaki dan keluarganya pun turut dibawa Kagawashi saat mengancamnya.
Savira berharap hari ini adalah yang pertama dan terakhir kalinya Kagawashi mengancam dan memerintahnya dengan cara seperti itu.
Savira sungguh tidak mau punya urusan dengan pria seperti Kagawashi. Dan Savira jadi paham kenapa Zaki memintanya untuk jangan sampai berurusan dengan Kagawashi.
Dan jika Zaki sampai tahu hal ini, Savira tidak tahu apa yang akan terjadi pada mereka semua.
Savira bahkan masih bisa merasakan tubuhnya yang bergetar ketika senjata anak buah Kagawashi menekan kepalanya.
Matanya memejam rapat-rapat seiring tangan yang memeluk tubuhnya sendiri dengan erat.
Kakinya terasa sulit digerakan hingga Savira tidak menyadari kalau dirinya sudah terlalu lama berendam di dalam bathub.
Suara ketukan dan seruan dari balik pintu kamar mandi segera menyadarkan Savira dari lamunan panjang dan beratnya. Caroline jelas mencemaskannya.
“Iya, Mbak. Sebentar.”
Buru-buru Savira membasuh tubuhnya yang licin dan membersihkan bathub seperti sedia kala.
Setelah berpakaian dan keluar dari kamar mandi, Savira langsung dihadapkan pada Caroline yang ternyata masih menunggunya di depan pintu kamar mandi.
“Kamu baik-baik saja ‘kan, Vira?”
“Hm?” Savira mengerjap lambat.
“Kamu pasti kepikiran omelannya Mas Zaki, ya?”
“Nggak, Mbak. Tadi aku hampir ketiduran di bathub. Pegel banget badanku soalnya,” elak Savira.
“Astaga, Vira! Kamu pasti kelelahan sekali. Makan dulu. Baru setelah itu istriahat, ya? Mbak udah minta Mas Zaki carikan vitamin buat kamu.” Caroline terlihat heboh.
Savira lantas mencari keberadaan si kembar Salma dan Selwa juga anak semata wayangnya, Shindu.
“Anak-anak ikut sama Mas Zaki?”
Caroline mengangguk. “Iya. Katanya pengen sekalian jalan-jalan.”
Savira mendadak cemas. Wajahnya seketika memucat. Kekhawtiran kalau mungkin saja akan Zaki dan anak-anak akan bertemu Kagawashi membuat Savira terlihat panik.
“Vira, kamu kenapa?”
“Mbak, bisa tolong minta Mas Zaki pulang nggak?” ucapnya setengah memekik panik sambil menggenggam jemari Caroline. Membuat wanita itu mengerut heran.
“Kenapa?”
“Aku butuh Shindu, Mbak.”
Caroline mendesah pelan sambil mengusap bahu Savira, mengira Savira mungkin sedang rindu dengan Satya.
Karenanya ia pun segera menghubungi sang suami dan memintanya segera pulang.
“Bunda kenapa?”
Savira yang menunggu dengan cemas langsung berlutut memeluk Shindu begitu bocah itu muncul di depan pintu rumah.
“Bunda lagi kangen.”
“Kangen sama ayah atau sama Shindu?”
Savira tersenyum lembut sambil mengusap rambut putra kesayangannya itu.
“Sama ayah Shindu. Tapi Bunda kan cuma bisa peluk Shindu. Soalnya shindu ‘kan mirip ayah,” kilahnya lalu mencium pipi tembam Shindu yang putih kemerahan.
Bocah kecil itu terkekeh lalu menangkup wajah bundanya agar bisa mencium kening Savira sebelum kembali memeluknya.
“Temenin Bunda bobo, ya?”
Shindu mengangguk lalu keduanya saling melempar senyum sebelum Savira mengajak anaknya ke kamar yang biasa mereka tempati saat masih tinggal bersama keluarga Zaki.
Mendesah berat, Zaki merangkul bahu Caroline sambil bertanya apakah,
“Vira udah makan?”
“Udah. Vitaminnya udah kamu beli?”
Zaki mengangguk. “Untung kamu telepon pas aku udah beli. Tapi anak-anak nggak jadi main.”
“Nggak papa. Masih banyak waktu. Vira kayaknya lagi kangen sama Satya.”
Giliran Zaki yang mendesah berat. “Udah hampir tujuh tahun, Yang.”
“Kita tahu ini memang nggak mudah buat Savira. Tapi kalau nanti kita pulang dan Savira tetap di sini gimana, ya, Mas?”
Zaki menggendikkan bahu. “Savira sudah dewasa. Kita nggak bisa ikut campur urusan perasaan dia. Yang bisa kita lakukan hanya membuat Savira tahu kalau dia nggak sendiri.”
“Aku harap dia bisa jatuh cinta lagi.”
Alis Zaki menanjak satu ke atas. “Sama si belalang kupu-kupu rame-rame?”
Caroline terkekeh sambil melayangkan pukulan ringan di dad sang suami.
“Dia punya nama kamu tuh, ya. Langlang. Kamu nggak tahu, ya, dia siapa?”
“Nggak penting!”
Zaki melengos pergi sementara sang istri masih terkekeh sambil menggelengkan kepala.
Caroline tahu suaminya itu sangat menyayangi Savira dan Shindu. Karenanya di awal-awal mereka tinggal bersama, Caroline sempat menduga kalau Zaki ada perasaan pada Savira.
Caroline bahkan sempat bersikap jutek pada Savira di awal-awal kelahiran Shindu karena pria itu membuat panggilan Daddy untuk dirinya. Sama seperti panggilan anak-anaknya untuk Zaki.
Namun, setelah mengetahui kalau suaminya itu menginginkan anak laki-laki, Caroline jadi paham kenapa suaminya tersebut memperlakukan Shindu seperti anaknya sendiri.
Saat itu Caroline masih disibukkan dengan kuliah S2-nya. Dan kini Caroline juga sudah akan menyelesaikan kuliah S3-nya.
Ia pernah berjanji pada sang suami setelah pendidikannya selesai, Caroline bersedia hamil lagi jika Zaki memang masih menginginkan anak darinya. Terutama anak laki-laki.
Caroline lantas melanjutkan pekerjaan rumahnya, sementara itu….
Savira yang masih merasa was-was malah terus terjaga ketika Shindu sudah terlelap di pelukannya.
Wajahnya menunduk sambil tangannya terus mengusap rambut dan kepala Shindu.
Bibirnya sesekali mengecup kening dan kepala sang putra kesayangannya tersebut sambil menggumamkan kalimat lirihnya,
“Shindu nggak boleh tinggalin Bunda kayak ayah ninggalin Bunda, ya? Shindu harus sama Bunda sampai Bunda mati.”
Setetes air matapun jatuh dari pelupuk mata Savira dan mengenai pipi sang anak.
Bergegas Savira mengusapnya agar Shindu tak merasa terganggu dan terbangun.
Setelahnya Savira memeluk tubuh Shindu dengan lebih erat diiringi tetesan air mata yang menderas.
Di saat-saat seperti ini, sosok sang suami yang tak pernah ada tentu membuat Savira merasa lemah.
Mungkin jika Satya masih ada, Savira tidak perlu melarikan diri dan merasa tak aman seperti sekarang.
Namun angan-angan itu nyatanya semakin membuat perasaannya terpuruk. Perasaan yang selama ini sudah ia tata tapi seketika roboh kembali karena rindu yang menggelegak.
Savira menangis dalam diam hingga kedua kelopak matanya perlahat terpejam, Savira akhirnya bisa terlelap bersama pelukan Shindu.
***
“Shindu mau ikut Bunda?” rengek bocah itu dua hari kemudian.
Savira akan berangkat kerja lebih pagi dari biasanya karena jarak rumah Zaki yang lebih jauh dari apartemennya ke tempat kerja.
“Shindu di rumah di sini dulu, ya. Kan ada onti Salma dan Selwa. Jadi Shindu nggak akan kesepian karena nggak ada Bunda.”
“Tapi nanti Shindu bobo sendiri.” Bocah itu semakin merajuk sambil memasang wajah sendu.
Savira sendiri sudah tersenyum geli dengan cara merajuk sang putra.
Sebetulnya Shindu bukan anak yang senang merajuk. Namun karena ia tahu Savira tidak sedang baik-baik saja karena merindukan ayahnya beberapa hari lalu, bocah itu tau kalau ia harus selalu ada di dekat sang bunda sampai bundanya kembali seperti sedia kala.
Mereka tentu sudah terbiasa dan sering melewati hari-hari seperti ini.
Jika dulu Shindu kecil tidak paham kenapa bundanya sering terlihat sedih, semakin besar dan mandiri, Shindu sedikit mengerti sebab kegelisahan dan gundah hati sang bunda.
Shindu tahu Savira merindukan Satya, ayahnya. Ayah yang juga tak pernah Shindu temui namun begitu ia kenali dan sayangi dari cerita sang bunda juga keluarganya yang lain.
“Bunda janji. Cuma seminggu kok. Seminggu ini soalnya pekerjaan Bunda banyak banget. Nanti Shindu ikutan nggak keurus sama Bunda.”
Bocah laki-laki itu langsung memeluk pinggang bundanya. Berharap Savira luluh seperti biasanya.
“Shindu bisa semuanya sendiri, kok.”
“Bunda tahu. Anak Bunda kan hebat. Tapi sekarang ini Bunda bener-bener harus kerja, Sayang. Shindu mau maafin bunda ‘kan?”
“Bunda kok minta maaf?” Bocah itu mendongak ke atas agar bisa menatap wajah bundanya.
“Bunda minta maaf karena Bunda nggak bisa sama-sama Shindu seminggu ini.
“Shindu maafin. Asal Shindu boleh ikut.”
Savira terkekeh. Shindu pikir bundanya akan luluh. Namun, kali ini ia salah. Sang bunda tetap kukuh memintanya tinggal bersama Zaki untuk waktu yang cukup lama.
Setelah dibujuk sana sini, Shindu akhirnya menyerah dan menuruti keinginan Savira.
Savira bukan lah sosok ibu yang galak. Ia juga tak pernah melarang Shindu melakukan hal-hal yang ingin dilakukan anak seusianya.
Savira selalu memberi kebebasan pada Shindu untuk memilih benda atau mainan yang ia mau dan perlukan bahkan saat mengambil keputusan yang menyangkut Shindu.
Namun semua itu tetap didasari aturan dan ketegasan yang tentu membuat Shindu belajar untuk mengenali diri dan tidak seenaknya.
“Anak Bunda pengertian banget. Bunda janji, liburan nanti kita main ke sea world. Shindu mau ke sana lagi ‘kan?”
Kepalanya langsung mengangguk cepat. “Senyum dulu kalau gitu. Bunda sedih nih kalau nanti pergi Shindu-nya masih murung. Nggak semangat kerja, deh,” rajuk Savira dengan bibir mengerucut manja.
Salah satu kelemahan Shindu yang Savira tahu akan membuat pria kecil itu merasa tak tega.
Oleh Shindu, lantas diberikanya senyum terbaik itu untuk sang bunda sebelum dipeluknya erat-erat wanita yang sangat disayanginya ini.
“Shindu sayang bunda. Bunda nggak boleh sedih, ya. Nanti ayah kalau dateng ke mimpi Shindu terus tanya, Ayah sedih juga karena Shindu bikn Bunda sedih.”
Savira tersenyum sambil mengusap punggung pria kecilnya itu.
“Iya, Sayang. Makasih, ya, anak bunda yang baik hati dan ganteng.”
Shindu terkekeh ketika hidungnya dicubit pelan oleh Savira.
Savira lantas pamit. Zaki yang hendak mengantarnya pun ditolak oleh Savira.
Savira bahkan sudah berniat untuk menggunakan moda umum selama seminggu nanti.
Dengan menaiki kendaraan umum, Savira merasa akan lebih aman dan anak buah Kagawashi mungkin tidak akan berani macam-macam jika mereka bertemu di tempat ramai.
Karenanya Savira pun berangkat menggunakan bus atau kereta bawah tanah yang kini membawanya sampai ke rumah sakit.
Langkah Savira terhenti begitu melihat seseorang yang dikenalinya. Pria yang menodongkan senjata ke kepala Savira beberapa hari lalu itu berdiri tak jauh dari parkiran rumah sakit.
Tubuh Savira menegang. Kakinya seperti disemen dan susah digerakan hingga sebuah genggaman tangan menyadarkannya.
Savira menoleh ke samping dan mendapati Langlang sedang tersenyum menatapnya.
“Tangan kamu dingin banget. Ini masih musim peralihan. Anginnya kencang. Kenapa tidak pakai sarung tangan?”
Savira mengerjap lambat untuk beberapa kali. kepalanya mendadak kosong bahkan tubuhnya tak bereaksi lagi ketika Langlang memasukkan tangan yang digenggamnya ke dalam saku jaket.
“Ayo! Nanti kamu terlambat.”
Savira mengangguk begitu saja. Dengan langkah kaku, ia mengikuti ke mana Langlang membawanya melangkah.
Pikirannya masih kosong. Savira masih kaget saat melihat anak buah Kagawashi yang kini justru tak terlihat lagi di matanya.
Namun, begitu mereka hampir tiba di depan lobi rumah sakit, Langlang melepas genggaman dan menggantinya dengan rangkulan erat di bahu Savira.
Tubuh Savira otomatis jadi merapat pada tubuh Langlang. Tapi yang membuat Savira seperti kerbau dicucuk hidungnya adalah hangat tubuh Langlang yang seperti tak asing untuknya.
Entah kenapa, Savira merasa nyaman diperlakukan seperti itu. Bahkan oleh Pahlewa sama sekali, Savira tidak merasakan hal seperti sekarang ini.
Ya, hanya Pahlewa dan beberapa rekan kerja pria Savira yang dekat dengannya dan pernah merangkul ia seperti yang dilakukan Langlang.
Tapi itu pun bukan dalam keadaan di mana yang merangkulnya terlihat santai dan cuek seperti sekarang.
Untuk pertama kalinya dalam hidup Savira, setelah bertahun-tahun lamanya tidak pernah lagi merasakan pelukan yang membuat hatinya menghangat, selasar perasaan itu tiba-tiba menyusup dan membuat jantung Savira berdebar.
Namun debaran itu berubah semakin kencang mana kala Langlang dengan senyum hangatnya mengajak Savira bicara sambil masuk ke dalam rumah sakit.
Savira tidak peduli dengan apapun lagi sepertinya, karena yang jadi fokusnya saat ini adalah bisikan Langlang yang membuatnya seketika dilanda ketakutan.
“Jangan kaku. Mereka masih mengamati kamu,” ucap Langlang sambil tersenyum misterius.