TUL 18 - Diculik

1423 Words
“Om Lucu!” teriak Shindu ketika Pahlewa melambaikan tangan sambil berjalan menghampiri. Pengawal Shindu yang semula hanya mengamati dari jauh langsung mendekat dan bersiaga melindungi keduanya. “Tidak apa, mereka teman saya,” jawab Savira karena pengawal Shindu belum pernah melihat Pahlewa maupun Langlang. “Kamu kenapa?” tanya Langlang yang duduk di samping Shindu. “Tidak apa.” Savira kembali mendudukkan Shindu di tempatnya. Pria kecil itu langsung berlari menyambut Pahlewa yang juga menghampirinya. “Saya mengagetkan kalian, ya?” Savira hanya menggeleng lalu menatap Shindu dan Pahlewa yang kini sudah bercengkrama. “Wah, Shindu makin berat, ya, sekarang?” “Iya, dong! Aku ‘kan makan banyak. Biar cepet gede dan pinter kata Bunda.” Pahlewa menyapa sambil memangku Shindu dan berdiri di hadapan Savira. “Sedang apa di sini?” “Lagi jalan-jalan aja. Kalian jalan-jalan juga?” Kali ini Langlang yang menjawab. “Kami diajak teman.” “Mana temannya?” “Sedang bicara dengan kepala biksu.” Savira mengangguk. Pahlewa duduk di antara Langlang dan Savira, sementara Shindu ada di atas pangkuan Pahlewa. Shindu dan Pahlewa mengobrol seperti dua orang sahabat yang sudah lama tak berjumpa. Savira sesekali ikut menimpali dan terkekeh sementara Langlang tampak acuh dan seakan tak tertarik ikut nimbrung. Shindu lantas menarik-narik lengan baju Langlang, membuat pria itu menoleh dan tersenyum. “Kenapa?” “Tangan Om kenapa?” “Ah, ini karena kurang hati-hati jadi terluka begini,” jawabnya namun melirik Savira yang terlihat tak terpengaruh sama sekali dengan ucapannya. “Sakit nggak, Om?” “Sakit. Tapi udah baikan, kok.” “Semoga cepet sembuh, ya, Om.” “Terima kasih. Kamu senang sekali sepertinya ketemu om-om culun ini?” dengus Langlang menunjuk sahabatnya, membuat Pahlewa merotasikan bola matanya jengah. “Om Lucu, Om Baik. Bukan om-om culun.” “Lucu dari mana, sih? Culun yang benar.” “Om Lucu ‘kan pinter ngelucu.” “Om juga bisa.” “Masa?” tantang Shindu membuat Langlang mendengus pongah. “Ayo tebak. Cara masukin gajah ke kulkas gimana?” “Tebak-tebakkan lo jadul amat, sih?” ejek Pahlewa lantas berbisik memberikan jawabannya pada Shindu. Langlang hanya tersenyum miring lalu menatap Shindu dengan tatapan yang hangat. “Coba… apa jawaban yang dibisikin om-om culun ini,” katanya. “Buka kulkasnya, masukin gajahnya. Terus tutup.” “Salah!” Pahlewa dan Shindu saling menukar tatapan heran. “Ya… salah, Om.” “Kok bisa salah, sih? Tebak-tebakan lo ‘kan jadul banget,” sungut Pahlewa. Langlang mendengus pongah. “Terus… masalahnya di mana?” “Jawabannya apa dong kalau jawaban Shindu salah?” “Jawabannya, pesen dulu kulkasnya yang gede. Dan jangan diisi apapun. Pokoknya harus dikosongin biar gajanya bisa muat. Baru deh kalau udah dateng kulkasnya dibuka pintunya, masukin gajahnya, tutup terus kunci biar nggak kabur.” Seketika Shindu langsung terbahak dan berceletuk, “Kan sama aja, Om.” “Beda dong! Jawaban kamu tadi nggak sempurna.” Lagi-lagi Shindu tertawa. “Omnya Lucu.” Langang menepuk dadanya bangga. “Apa Om bilang.” “Ada lagi, nggak, Om?” “Ada.” “Apa?” Shindu turun dari pangkuan dan duduk di antara Langlang dan Pahlewa. Bocah itu tampak antusias. Membuat Langlang tersenyum bangga karena ia tak perlu menjadi orang lain hanya agar Shindu mau berdekatan dengannya. Kepala dan wajah Shindu mendongak serius menatap wajah Langlang yang kini juga terlihat serius. “Kenapa ayam kalau berkokok sambil merem?” Shindu ganti mendongak pada Pahlewa. Meminta pria itu melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Sayangnya jawaban Shindu kali ini juga salah ketika pria kecil itu mengatakan, “Karena udah hafal teksnya kata Om Lucu.” “Salah!” “Ih, kok salah lagi, sih?” rungut Shindu membuat Savira tak sadar mengulum senyum geli. Sedang Pahlewa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Harusnya jawaban yang Om kasih bener, kok. Om ini aja yang suka ngarang jawabannya.” “Nggak lah. Mana bisa,” balas Langlang tak terima. “Terus… jawabannya apa dong kalau jawaban Shindu salah lagi?” “Jawabannya ya karena ayamnya masih ngantuk. Kan bangunnya lebih dulu. Jadi berkokoknya sambil merem.” Shindu terbahak lebih kencang. Dan tawa itu menular pada Savira yang juga terkekeh karena anaknya. “Garing lo!” “Bilang aja anda kalah saing sama saya.” “Cih! Najis!” “Eh, Om Lucu kok ngomong jelek?” Langlang menjulurkan lidah puas ke arah Pahlewa yang kini tersenyum kikuk. “Iya, tuh. Om itu ngomongnya kasar.” “Aduh, maaf. Om Kelepasan. Habisnya Om itu suka ngomong ngamur. Tapi Om ngomong jelek, ya?” balas Pahlewa. Shindu mengangguk. “Kata Bunda kalau kita ngomong jelek ke orang lain walaupun nggak sengaja tetep harus minta maaf.” Langlang ingin terbahak menang rasanya melihat wajah Pahlewa yang kalah telak karenanya. “Nggak papa, kok. Om ‘kan Om baik. Jadi Om itu nggak minta maaf juga udah Om maafkan, kok,” cibir Langlang. “Nggak boleh. Harus tetep minta maaf dan saling memaafkan. Ayo!” Shindu menarik tangan Langlang dan Pahlewa bersamaan lalu membuat keduanya saling mengaitkan kelingking. “Om Lucu harus bilang maaf.” “Sory!” “Dengan senang hati anda saya maafkan,” sahut Langlang lalu keduanya saling membuang muka jengah. Savira hanya geleng kepala melihat tingkah kedua pria itu. Lebih kekanakan dari pada Shindu yang jelas masih kanak-kanak. “Kita jalan-jalan lagi, yuk!” ajak Savira memecah suasana di antara mereka kemudian. “Kalian mau ke mana?” kompak Langlang dan Pahlewa lalu saling menatap sinis dan mendengus. “Kami mau jalan lagi,” jawab Savira tanpa berniat menjelaskan lebih detail. Karena ada Langlang di sana, Savira merasa tak perlu memberitahu ke mana mereka akan pergi. Lagi pula hari ini adalah hari penuhnya bersama Shindu. Savira tidak ingin waktu mereka disisipi dengan kehadiran orang lain. Pahlewa cukup tahu diri dan mengerti dari gestur yang diberikan Savira. Sementara Langlang yang tidak peka malah bertanya, “Om boleh ikut, nggak?” “Kalau Bunda bolehin, ya, boleh aja.” “Maaf, tapi hari ini aku mau menghabiskan waktu berdua sama Shindu,” jawab Savira. “Ah, begitu, ya. Baiklah. Saya tidak akan mengganggu waktu kalian.” “Akihiro di mana?” tanya Pahlewa. Langlang lantas bergerak mencari keberadaan teman mereka yang lain. “Katanya masih lama. Kita diminta turun duluan saja.” Pahlewa mengangguk bersamaan dengan salah seorang pengawal Savira yang turun lebih dulu untuk mempersiapkan mobil. Sementara satunya tetap mengawal dari belakang. Shindu meminta Pahlewa menemaninya menghitung anak tangga yang mereka lewati satu persatu. Sementara Savira dan Langlang yang berjalan di belakang keduanya berjalan beriringn tanpa suara. “Urusan kamu–“ “Tangan kamu–“ Langlang melempar senyum tipis sebelum akhirnya ia menjawab lebih dulu pertanyaan Savira. “Sudah lebih baik. Urusan kamu dengan tuan Kagawashi bagaimana?” “Sudah selesai. Hanya salah paham. Dulu aku pernah menolong adiknya yang akan melahirkan. Ada satu benda yang dititipkan. Dan tuan Kagawashi mencari benda itu.” “Ah, begitu rupanya. Syukurlah. Tapi kamu masih pakai pengawal?” “Kakeknya Shindu yang minta. Mereka juga sudah dikontrak untuk satu tahun. Jadi kalau dibatalkan mungkin dendanya akan lebih besar.” “Tentu saja. Perjanjian pasti punya klausal yang harus dipatuhi. Ngomong-ngomong–“ Belum sempat Langlang menyelesaikan ucapannya, sebuah mobil van hitam berhenti tepat di depan mereka. Beberapa orang berpakain hitam-hitam keluar dari mobil-mobil itu dan menghampiri Langlang juga Savira. Secara reflek, langlang menarik tubuh Savira ke belakang tubuhnya. Sementara pengawal Savira seketika langsung dilumpuhkan dengan tembakkan. Savira menahan jeritan ketika melihat salah satu pengawalnya dilumpuhkan. Pahlewa yang berjalan jauh di depan langsung bersembunyi begitu mendengar suara tembakan tersebut. Langlang jelas kalah lawan jika melawan. Karenanya ia menyerakan diri agar dibawa pergi bersama Savira. Orang-orang itu langsung pergi setelah berhasil membawa Savira dan Langlang ke dalam mobil. Pahlewa langsung keluar dari persembunyiannya dan mencari bantuan ke atas kuil. “Langlang diculik Akihiro?” “Hah? Bagaimana bisa? Kalian punya musuh?” Pahlewa menggeleng sambil memeluk dan menenangkan Shindu yang menangis karena melihat ibunya dibawa penjahat. “Om, Bunda, Om. Bunda… Bunda….” “Tenang, ya. Bunda pasti dijagain Om Baik.” Pahlewa lantas meminta bantuan Akihiro untuk meminta biksu menjaga dan menenangkan Shindu sementara ia dan Akihiro turun lagi untuk menemui pengawal Savira yang lain dan yang terluka. Sambil menuruni tangga kuil, Langlang menelepon Zaki dan mengabarkan situasi yang terjadi. “Apa, siapa yang culik mereka? Kagawashi?” “Saya juga tidak tahu, Mas. Tapi Shindu aman dengan saya.” “Baik. Saya segera ke sana. Kamu kirim alamat kuilnya,” sahut Zaki kemudian bergegas menelepon Wirya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD