“Shindu…” lirih Savira sendu.
Bocah itu tidur membelakangi Savira sambil memeluk boneka kelinci kesayangannya.
“Bunda boleh masuk nggak, Sayang?”
Bergeming. Savira kemudian hanya bisa menghembuskan napas beratnya ke udara.
Setelah insiden papa baru yang dibuat Zaki, Shindu berubah menjadi murung dan pendiam.
Ia bahkan langsung masuk kamar setelah makan malam selesai meski kedua bibi kembarnya mengajak pria kecil itu bermain lebih dulu.
“Kamu, sih, kalau ngomong tuh liat tempat,” omel Caroline dengan suara pelan.
Ia dan Zaki berdiri di depan pintu kamar Savira sementara Savira sendiri sudah mendekati putranya.
“Ya mana aku tahu Shindu denger.”
Caroline berdecak. “Liat ‘kan Shindu jadi murung gitu.”
Zaki mendesah pasrah ketika sang istri terus saja mengemolinya.
“Tapi kalau nggak gini kita juga nggak akan tahu kalau Shindu ternyata nggak mau punya ayah baru, Yang.”
“Tapi liat Shindu kayak gitu aku juga sedih, Yang.’
Zaki mengedikkan bahunya. “Gimana lagi.”
Caroline menatap ibu dan anak itu dengan prihatin. Langkahnya mengayun dan ikut menghampiri tempat tidur Shindu.
“Shindu mau bobo sama Mommy?” Bocah itu menggeleng. “Shindu marah sama Daddy, ya, yang ngomongnya sembarangan?’
Bocah itu diam. Masih betah memunggungi sang bunda dan menyembunyikan wajahnya dari Caroline.
“Daddy minta maaf, ya, Sayang.” Zaki ikut buka suara.
“Shindu nggak marah sama Daddy, kok.”
“Terus kenapa semuanya dicuekin?” sahut Caroline.
“Shindu lagi kangen Ayah aja. Kalau lagi kangen sendirian nanti Ayah pasti dateng ke mimpi Shindu.”
Hati semua orang dewasa di sana mencelos perih. Savira bahkan menitikkan air matanya begitu saja.
Ada rasa bersalah yang terkubur dalam di relung hati. Tentang rindunya Shindu pada wujud ayah kandung yang tak pernah ada di sampingnya.
Zaki berlutut di samping tempat tidur Shindu dengan wajah yang berhadapan langsung dengan Shindu. Tangannya terulur untuk mengusap dan membelai kepala bocah itu dengan sayang.
“Shindu nggak mau punya papa baru?”
“Kalau nanti ada papa baru, nanti Ayah gimana? Kan kasian ayah sendirian terus, Daddy.”
“Ayah nggak sendiri kok di surga. Ada eyang buyut, ada om tante, ada saudara yang lain. Ayah nggak kesepian di sana, Sayang,” terang Caroline sambil ikut mengusap betis pria kecil itu.
Boneka yang semula menutupi wajah Shindu perlahan turun. Bola mata polos itu menusuk hati Zaki dan Caroline.
Meski Shindu tak pernah kekurangan kasih sayang dari Zaki dan Caroline, pria kecil itu nyatanya tetap merindukan sosok ayah kandungnya yang nyata.
“Shindu nggak mau punya banyak papa. Daddy aja udah cukup,” akunya jujur.
“Walaupun Daddy jadi daddynya Shindu tapi ayah tetep jadi ayahnya Shindu ‘kan? Shindu nggak suka kalau punya banyak papa?”
“Nggak mau. Nanti pusing panggilannya banyak.”
Zaki terkekeh lalu mencubit gemas hidung Shindu.
“Jadi sekarang mau bobo sama Daddy lagi nggak?”
Bocah itu menoleh ke belakang. Savira lekas menghapus air matanya dan tersenyum.
“Boleh kok kalau Shindu mau bobo sama Daddy.”
“Shindu bobo sama Bunda aja, Daddy.”
“Ya udah. Tapi jangan ngambek lagi dong! Kasian tuh Bunda sampai nangis karena dicuekin Shindu,” bujuk Caroline.
Bocah itu kemudian bangun. Lututnya bergerak di atas kasur agar bisa menghampiri sang bunda dan memeluknya.
“Bunda jangan sedih. Nanti Ayah marah kalau tahu Bunda nangis karena Shindu.”
Savira menggeleng kuat. “Nggak. Bunda nangis karena Bunda juga kangen sama Ayah.”
“Bunda peluk aku aja. Biar nanti ketemu di mimpinya bareng-bareng.”
Savira mengangguk cepat. Raut haru itu tak pernah hilang sedikitpun dari wajahnya setiap ia menyadari bahwa hidupnya diberkahi malaikat kecil yang begitu pengertian dan menyayanginya setelah sang belahan jiwa pergi meninggalkannya.
“Bunda sayang… banget sama Shindu. Bunda akan lakukan apapun asal Shindu nggak sedih dan kecewa karena Bunda,” lirih Savira kemudian mengecup kening putranya itu sebelum mempererat pelukan dan memejamkan matanya.
Sudah sejak lama Savira memutuskan untuk tidak menikah lagi. Melihat apa yang barusan terjadi pada Shindu, Savira semakin yakin untuk menutup rapat jalan hatinya menuju rasa yang bernama cinta.
Dan seolah diberi jawaban, mimpi yang kembali menghampirinya membuat Savira semakin yakin kalau keputusan untuk tidak menikah lagi adalah yang terbaik.
“Bunda mimpi ketemu ayah juga?”
Savira mengangguk. “Sama Shindu juga loh. Memangnya Bunda nggak muncul di mimpi Shindu, ya?”
Bocah itu menggeleng. Namun senyumnya secerah mentari pagi sebelum akhirnya ia memeluk sang bunda dengan erat.
“Kan… aku bilang juga apa. Bobonya karena dipeluk aku pasti makanya ketemu ayah.”
Savira terkekeh sambil mengusap-usap punggung pria kecil kesayangannya itu.
“Iya. Makasih, ya, udah bantuin Bunda jadi bisa mimpiin ayah. Shindu mau hadiah apa?”
“Hadiah?” tanyanya mengerjap polos dan menatap wajah sang bunda. “Buat apa?”
“Kan berkat Shindu Bunda jadi bisa ketemu Ayah di mimpi. Bareng-bareng lagi. Bunda seneng banget bisa maen bertiga.”
“Gitu, ya?” Savira menganggukkan kepalanya sambil bergumam.
“Shindu lagi pengen apa? Bilang aja sama Bunda.”
Bocah itu menggerak-gerakkan telunjuk dan jempolnya bersamaan di bawah dagu. Wajahnya tampak berpikir serius. Membuat Savira gemas dan berakhir mencubit kedua pipi tembamnya.
“Susah banget, ya? Sampe serius banget gitu mikirnya.”
Tatapan Shindu masih nampak serius. Savira sampai mengernyitkan alisnya heran.
“Shindu pengen apa? Bilang aja, kalau Bunda bisa kabulkan, pasti Bunda kabulkan.”
“Bunda nggak akan bohong ‘kan?”
“Hm. Shindu memangnya mau apa?”
“Shindu mau foto sama Ayah sama Bunda bertiga terus dipanjang gitu pakai bingkai.”
Savira terhenyak untuk sesaat. Permintaan Shindu jelas tidak mungkin bisa ia kabulkan.
Namun, alih-alih menolak langsung keinginan putra satu-satunya itu, Savira memilih bertanya dan memastikan lebih dulu kenapa,
“Shindu kok bisa kepikiran gitu?”
“Waktu disuruh cerita soal ibu atau ayah di sekolah, temen Shindu ada yang cerita kalau ibunya juga udah di surga.”
“Terus?” Savira menarik Shindu ke atas pangkuannya. Keduanya lengannya melingkari tubuh Shindu dengan erat.
“Karena ibunya juga pergi ke surga waktu dia masih bayi, dia nggak punya foto bareng ibunya. Terus sama ayahnya dibuatkan lukisan, Bunda. Gambarnya kelihatan mereka lagi sama-sama. Lukisannya bagus deh, Bunda. Kayak asli. Shindu juga jadi pengen.”
Savira tersenyum sambil mengusap kepala Shindu. “Shindu mau gitu juga?”
“Iya, Bunda. Boleh nggak?”
“Boleh, Sayang. Boleh banget. Nanti kita cari pelukisnya, ya?”
“Beneran, Bunda?”
“Beneran dong! Masa Bunda bohong? Kan tadi Bunda bilang sama Shindu kalau Bunda bisa, pasti Bunda kabulkan.”
“Yeayyy! Makasih, Bunda. Shindu seneng banget.” Bocah itu memeluk erat leher Savira sambil menggumamkan kalimat sayangnya tak henti-henti.
“Nanti kita telepon Eyang, ya. Kita minta Eyang carikan foto ayah yang pa…ling… bagus dan ganteng. Kayak anak Bunda yang ganteng ini.”
Savira menggelitik gemas putranya hingga Shindu tertawa bahagia. Dan tawa bahagia itu sungguh membuat Savira ikut merasa bahagia.
Jika ada ungkapan bahagia seseorang itu adalah bahagianya. Maka itu berlaku bagi Savira. Karena bahagianya Shindu, bahagianya juga.
Sayangnya, baru saja drama papa baru itu berakhir, Rara yang belum tahu malah memancing hal tersebut kembali.
“Kalau fotonya sama Papa baru, Shindu nggak mau, ya?”
Savira mengaduh dalam hati. Takut suasana hati Shindu buruk lagi.
Namun di luar dugaan, Shindu yang terlihat biasa saja bahkan membalas pertanyaan eyangnya itu dengan kalimat bijak namun sarat peringatan.
“Shindu cukup punya ayah sama daddy aja udah seneng kok, Eyang. Nanti kalau kebanyakan Shindu nggak ada waktu main-main sama temen dan lainnya.”
Rara dan Wirya sempat tertegun sementara Wening yang ikut dalam panggilan tatap wajah itu langsung berseru senang.
“Aku setuju Shindu. Nanti kalau pulang ke sini kamu harus sering main sama aku sama Mas Elang, ya. Nanti kita main ke emol yang ada air terjunnya.”
“Iya onti. Kalau gitu Shindu pamit dulu ya, Eyang, Onti. Shindu mau beresin tas dulu buat besok sekolah. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” jawab Rara, Wirya dan Wening bersamaan.
Kedua nenek dan kakek Shindu itu bisa merasakan sesuatu yang berbeda dari bahasa tubuh Shindu.
“Ya… Shindunya pergi. Wening ‘kan masih pengen ngobrol.”
“Ngobrol aja sama Mas Elang sana!” usir Rara mulai jahil.
“Ih, Mama mah ngusir mulu.”
Wening merutuk kesal namun akhirnya menurut dan pergi ke kamar kakaknya. Membuat Rara terkekeh sendirian.
“Vira, Shindu kenapa?” tanya Wirya kemudian.
Savira lantas menceritakan apa yang terjadi dengan Shindu sebelumnya.
Rara yang terkejut langsung memekik dengan dugaan yang hampir sama dengan Zaki sebelumnya.
“Kamu pacaran sama penjahat itu, Vira?”
“Nggak, Ma. Nggak gitu,” balasnya panik.
Panik bukan karena memang ada hubungan atau sekedar perasaan lebih, tapi ia tidak mau mertuanya salah paham juga.
Savira lantas kembali menceritakan perihal pertemuannya kembali dengan tuan Kagawashi.
“Ya ampun… Mama kira kamu beneran pacaran sama orang itu. Jangan deket-deket lagi ah, Vira. Walaupun kamu tahu dia nggak ada niat jahat, Mama nggak mau Shindu nanti kena aura jahatnya.”
Baru saja Savira ingin membicarakan perihal pengawal yang dibatalkan saja. Namun setelah mendengar penjelasan Rara barusan, sang kedua mertua nampaknya tidak akan setuju dengan idenya. Terbukti dengan Wirya yang kemudian mengatakan kalau,
“Tapi kamu tetap pakai pengawal, ya. Papa tidak bisa mengurangi pengawal karena kontraknya satu tahun. Jadi kamu dan lainnya tetap harus menggunakan jasa pengawal. Setidaknya ada yang membantu mengantar dan menjaga kalian kemanapun.”
“Papa bener, Sayang. Kagawashi itu mungkin memang bener terbukti nggak berniat jahat sama kamu, tapi kita nggak tahu kedepannya kalau-kalau kamu bertemu dengan orang lain seperti Kagawashi yang mungkin akan berbuat jahat karena situasi yang mendukung,” timpal Rara hanya bisa diangguki Savira dengan pasrah.
“Mama kamu benar. Papa hanya ingin kamu dan Shindu aman di sana. Jadi, meskipun kamu sedikit tidak nyaman, tolong ditahan, ya, Nak. Demi Shindu, juga Zaki dan keluarganya. Papa berhutang banyak sama mereka.”
“Iya, Pa. Vira janji nggak akan merepotkan Mas Zaki dan Mbak Caroline. Vira juga nggak akan bikin keluarga di sana cemas. Vira dan Shindu jangan sampai jadi beban kalian, ya. Insha Allah kami akan jaga diri sebaik mungkin.”
Wirya mengangguk bijak sebelum sambungan telepon itu akhirnya selesai.
Savira membuka pintu kamar lalu duduk di tepian kasur. Shindu kembali menjadi pendiam.
Meski sebelumnya terlihat tegar, ternyata putranya yang membanggakan itu hanya sedang menyembunyikan perasaannya agar tidak melukai orang-orang yang menyayanginya.
Savira merasa bangga sekaligus bersalah. Dalam hatinya ia harus merubah pemikiran Shindu agar nantinya ia tidak menjadi seseorang yang sukar mengatakan tidak atau mengungkapkan perasaan yang dirasakannya dengan jujur dan gamblang.
Sambil memperhatikan Shindu yang nampak serius dengan pekerjaannya, Savira tiba-tiba teringat sebuah hal.
“Bunda bantuin, ya?”
Shindu menoleh lalu mengangguk dan mempersilakan sang bunda mendekat padanya.
“Bunda punya ide. Shindu mau denger, nggak?”
Shindu menoleh ke samping bersamaan dengan kepala Savira yang juga menoleh dan wajah yang tersenyum. Shindu langsung menganggukkan kepalanya.
Keduanya tangan Savira lantas meraih bahu Shindu. Meremasnya pelan sebelum turun menyusuri lengan pria kecil itu dan berakhir dengan menggengam jemari kecilnya.
“Kalau kita bikinnya foto keluarga aja gimana?”
“Terus buatnya gimana, Bunda?”
“Nanti diedit jadi ada ayahnya, kok. Bisa keliatan lebih nyata juga. Nanti kalau Shindu tetep masih mau lukisannya, kita buat lagi juga lukisannya.”
“Bisa, ya, Bunda?”
“Bisa kok. Bisa banget. Sekarang ‘kan telnologi sudah canggih. Nanti Bunda cari orang yang bisa buat Ayah keliatan lagi sama-sama kita juga. Dan Shindu pasti bakal suka. Mau ‘kan?”
“Mau Bunda. Mau!”
Savira terkekeh. Shindu terlihat antusias dan memeluknya erat.
“Shindu nggak sabar buat fotonya, Bunda.”
“Gimana kalau lusa? Lusa Bunda libur kerja. Shindu mau nggak jalan-jalan sama Bunda seharian?”
“Mau Bunda, mau!”
Lagi pekiknya penuh semangat. Membuat Savira lega sekaligus bahagia karena putranya tak murung lagi.
Malam ini, Savira berhasil membuat senyum di wajah putranya kembali terlukis indah.
Shindu memang bukan
anak yang dengan mudah akan mengutarakan keinginannya secara gamblang.
Savira terkadang butuh usaha kerasa untuk membujuk dan membuat pria kecil itu mengatakan apa yang benar-benar diinginkannya.
Tak jarang Shindu
hanya diam atau menatap sesuatu yang disukai dan diinginkannya dalam waktu yang
sangat lama.
Dari hal itu lah Savira bisa mengetahui kalau Shindu sedang memendam keinginan tentang sesuatu yang didambanya.