“Vira?”
Savira menoleh dan tersenyum mendapati Pahlewa yang ternyata memanggilnya.
“Mas. Lagi belanja juga?”
Pahlewa mengangguk. Belum sempat membalas ketika Langlang lebih dulu datang dan bertanya sambil membawa dua botol saus yang salah satunya akan mereka beli.
“Wa, mending beli dua aja deh. Mumpung promo beli satu gratis sa–” Kalimatnya menggantung. Langkahnya terhenti ketika tatapannya bertemu dengan tatapan orang yang ia rindukan beberapa hari ini.
Savira mencoba tersenyum lantas sedikit menundukkan kepala seraya menyapa Langlang.
Savira kira Langlang akan bersikap seperti biasa jika bertemu dengannya. Namun kali ini berbeda.
Pria itu hanya balas mengangguk lalu kembali melanjutkan ucapannya. Membuat Savira mengernyit heran.
“Mas aku duluan, ya?’
“Oh, iya, Vir,” balas Pahlewa lalu menatap kepergian Savira.
Mereka lantas kembali berbelanja dan Langlang tiba-tiba saja meminta Pahlewa untuk menemani Savira.
“Kenapa?”
“Kasian dia belanja sendiri. Lagi hamil malah disuruh belanja. Cowok macam apa, sih, itu mantannya?” rutuknya.
“Pengusaha kalau lo lupa.”
Langlang berdecak kesal. “Gue tau kalau soal itu mah, anjing!”
Pahlewa mendengus. “Terus? Maksud anda bilang seperti tadi itu apa Tuan Langlang?”
“Udahlah. Nggak usah dibahas. Gue kan cuma minta lo temenin Savira berlanja. Kenapa jadi ke mana-mana, sih, nanya?”
Pahlewa mengernyit jengah. Tangannya sudah akan melayang dan memukul sahabat bodohnya itu kalau saja Savira tidak muncul lagi di dekat mereka.
“Eh, maaf. Salah lorong.”
“Nggak papa, Vira.”
Savira tak mau menatap Langlang. Sikapnya seolah tak melihat pria yang justru semakin dibuat kesal karena sikapnya sendiri.
“Lo aja yang temenin. Gue males,” kilah Pahlewa lalu pergi meninggalkan Langlang yang kini kebingungan sendiri.
Savira juga masih tampak mengacuhkannya. Dan hal itu membuat Langlang malah jadi merasa kesal.
“Hah! gue kenapa, sih?” omelnya sebelum bergegas mengikuti ke mana arah Savira berbelanja.
Dengan tingkah yang jelas terlihat aneh, Langlang mengikuti Savira sambil pura-pura berbelanja.
Ia begitu penasaran dengan kondisi Savira. Namun gengsinya melangit kala mengingat tamparan Savira hari itu.
Savira sendiri terlihat santai mengambil dan memasukkan belanjaan yang ia perlukan ke dalam troli.
Namun di tengah ia sedang membaca tulisan di belakang kotak s**u yang akan ia beli, Savira menoleh ketika menyadari seseorang seperti sedang memperhatikannya.
Langlang yang kepergok langsung saja pura-pura mengambil barang dan melihat-lihatnya. Seolah sedang berbelanja.
Savira lantas mencoba acuh. Melanjutkan belanjanya hingga berkali-kali ia merasakan hal yang sama dan mendapati Langlang seperti sebelumnya. Pura-pura mengambil barang sambil berdiri tak jauh darinya.
Untuk memastikan Langlang bukan mengikutinya, Savira pun mengarahkan belanjaannya kali ini ke rak pembalut wanita.
“Kamu ngikutin saya?” tanya Savira kali ini dengan berani.
“Saya? Ngikutin kamu?” tunjuk Langlang dengan telunjuk pada dirinya sendiri.
“Iya. Karena dari tadi saya lihat kamu terus saja memperhatikan saya. Lalu kalau kepergok, kamu pura-pura belaja ambil barang. Iya ‘kan?”
“Nggak. Kamu kegeraan. Saya memang ingin belaja. Kamu lanjutkan saja. Tidak perlu pedulikan saya.”
Gengis Langlang meroket. Dan ia memang tidak ingin mengakui hal itu. Bagaimana mungkin ia mengakui kalau dirinya memang membuntuti Savira dengan alasan ingin menjaga dan menemaninya berbelanja.
“Oh, jadi kamu juga mau beli pembalut?”
“Hah?”
Savira mengendikkan dagu sambil melipat kedua tangan di dadanya dan menunjuk pembalut yang sedang dipegang Langlang.
“Astaga!” pekik Langlang begitu menyadari apa yang sedang ia pegang dan jatuh karena dirinya yang terkaget.
“Apa ini?”
“Pembalut. Kamu mau beli buat siapa?”
Langlang berdeham kikuk lalu mengembalikan pembalut itu ke tempatnya lagi.
“Saya hanya jalan-jalan melihat saja. Kamu sendiri, ngapain beli pembalut?” herannya membuat Savira jadi bingung.
Savira mendengkus tipis. “Pake ngeles lagi,” gumam Savira lirih.
“Kamu bilang apa?” balas Langlang.
“Tidak ada. Lanjutkan saja belanjanya. Nggak usah pedulikan saya,” balas Savira dengan kalimat yang hapir sama seperti yang diucapkan Langlang sebelumnya.
Jika dipikir-pikir lagi, untuk apa sebetulnya Langlang melakukan hal ini. Membuntuti Savira belanja.
Entahlah.
Langlang merasa bingung sendiri. Hanya saja karena ia mengira dan tahu kalau Savira sedang hamil tapi berbelanja sendiri, ia menjadi kasihan.
Lupakan perasaannya pada Savira. Karena yang menjadi fokusnya saat ini adalah membantu Savira.
Alih-alih pergi dan menghiraukan Savira, Langlang malah mengejar Savira dan mengambil alih troli belanjaan yang dibawa perempuan itu.
“Kamu mau apa?”
“Saya mau bantu kamu. Kamu pasti kelelahan. Dari tadi saya lihat kamu terus-terusan mengusap pinggang belakang kamu. Pasti melelahkan bukan belanja dalam keadaan hamil dan sendirian?”
“Apa? Hamil?”
Langlang mengangguk polos. “Iya. Kamu sedang hamil ‘kan? Mantan suami kamu yang bilang.”
“Hah? Siapa yang hamil?”
Padahal Savira sedang mentruasi. Dan pinggangnya memang sering sakit dan mudah terasa pegal jika sedang menstruasi.
“Kamu lah. Memangnya saya sedang bicara dengan siapa?”
Sambil semakin dibuat bingung. “Maksud kamu… saya hamil?”
“Iya. Kamu.”
“Siapa yang bilang saya hamil?”
“Suami.” Langlang berdeham sebelum mengoreksi ucapannya. “Maksud saya mantan suami kamu. Dia bilang kamu sedang hamil.”
“Mas Zaki?”
“Iya. Memangnya kamu punya mantan suami yang lain?”
Savira masih belum bisa mencerna informasi apapun di kepalanya.
“Hari itu, saat mantan suami kamu menemani Shindu menjenguk saya, dia bilang kamu titip pesanan.”
“Pesanan?”
Langlang kembali mengangguk. “Iya. Pesanan buah dan takoyaki. Dia bilang kamu tidak suka semangka tapi minta dibelikan semangka,” terangnya.
“Kamu suka daging gurita dan udang tapi saat minta dibelikan takoyaki kamu minta tidak pakai udang dan gurita. Bukankah wanita yang sedang hamil biasanya seperti itu? menginginkan sesuatu yang biasanya tidak ia sukai karena bawaan bayi dalam perutnya?”
Savira akhirnya mengerti apa yang terjadi. Semua ini pasti ulah Zaki sehingga Langlang mengira dirinya hamil.
Padahal semua yang dikatakan Langlang itu adalah permintaan Caroline yang rupa-rupanya tidak hamil seperti dugaan Savira.
“Kamu masih mau berbelanja apa lagi? Biar saya temani.” Langlang membuat lamunan Savira buyar.
Mendesah pelan, Savira menarik kembali troli belanjaan yang sebelumnya.
“Tidak perlu. Saya bisa belanja sendiri. Dan lagi. Saya tidak hamil.”
“Hah? Kamu serius? Jadi kamu nggak hamil?”
Savira memilih berlalu. Namun karena Langlang masih mengejarnya, Savira buru-buru mendorong troli belanjaannya hingga tak menyadari sebuah troli dengan belanjaan penuh hampir menabraknya ketika ia lengah.
Untung saja Langlang lebih dulu menarik Savira sehingga hanya troli belanjaan itu yang bertabrakan.
“Hati-hati kenapa, sih?”
Pegawai supermarket yang melihat segera meminta maaf dan wanita yang meninggalkan trolinya tanpa sengaja itu juga minta maaf pada Savira.
Telapak tangan Langlang masih menempel di pinggang belakang Savira. Menghantarkan rasa hangat dan nyaman yang merambat hingga ke dalam hati Savira.
“Kamu nggak kenapa-kenapa?”
Savira menggeleng. Lalu ketika menyadari posisi mereka terlalu dekat, Savira bergegas mundur lebih dulu dan mengucapkan terima kasih.
Namun Langlang tidak menerima penolakan kali ini.
Dengan gerakan cepat, ia kembali menarik troli belanjaan yang Savira bawa dengan satu tangan sementara tangannya yang lain menggenggam sebelah tangan Savira dengan erat.
“Ada lagi yang mau kamu beli?”
Savira hanya menggeleng, membiarkan telapak tangannya terus digenggam oleh hingga mereka tiba di kasir.
Langlang lantas membantu Savira mengeluarkan semua belanjaannya, membayarkannya bahkan membantu Savira membawa belanjaannya hingga ke mobil.
“Terima kasih.”
“Hm. Hati-hati. Sampai jumpa lagi, Vira.”
Langlang tersenyum, mengulurkan tangan ke udara. Hendak mengusak puncak kepala Savira namun tiba-tiba saja urung.
Telapak tangannya mengudar di atas kepala Savira dan hal itu membuat Savira mundur selangkah untuk menghindarinya.
“Maaf. Kalau gitu sayu balik dulu. Sampai jumpa lagi, Vira. Salam sama Shindu.”
Savira mengangguk kecil. Pengawal Savira lantas menaikan belanjaan ke dalam mobil.
“Nyonya masih ada yang mau dibeli?” tanyanya ketika melihat Savira masih memandang ke arah supermarket dengan tatapan yang dalam.
“Nyonya!”
Savira menjenggit lalu menyadari kalau dirinya terbawa suasana tadi bersama Langlang.
“Kita pulang,” ucapnya lalu naik ke mobil.
Namun, begitu ia tiba di rumah, Savira mengernyit heran ketika mendapati sebuah cokelat ada dalam belanjaannya.
“Perasaan nggak beli cokelat ini. Tapi kok ada di sini.”
Tak lama setelah itu, Savira mendapat sebuah pesan dari Langlang. Mengatakan kalau cokelat itu hadiah untuk Shindu karena sudah jadi anak baik dan menunggu bundanya pulang saat penculikan itu.
Tiba-tiba saja kurva senyum Savira terlihat melengkung tipis ketika melihat cokelat di tangannya tersebut.
Namun hal itu hanya sesaat. Savira langsung menggelengkan-gelengkan kepalanya seraya mengusir pikiran aneh yang mendadak datang ke dalam kepalanya.
"Aku nih kenap, sih?" katanya lalu menyimpan cokelat itu di dalam lemari es bersama tumpukkan cokelat kesukaan Shindu yang lain.