Bab 2 Cerita Yang Tidak Terduga

1712 Words
Janice melangkahkan kakinya dengan kikuk di halaman utama rumah orang tuanya. Hampir 3 bulan Janice tidak datang ke rumah tempat ia menghabiskan masa kecilnya. Bagi Janice, apartemennya terasa jauh lebih nyaman dibandingkan rumah besar yang penuh fasilitas mewah tersebut. Di apartemennya Janice bisa melakukan apapun yang ia inginkan, dan yang paling penting adalah Janice tidak perlu merasa kikuk setiap kali menghabiskan waktu sarapan bersama dengan ibunya dan Callista yang selalu mengabaikan kehadirannya. “Nona? Anda pulang malam ini?” Seorang pelayan datang mendekati Janice dengan tatapan kebingungan. Janice mengulas senyum ramah, tangannya terulur untuk memberikan bingkisan yang telah ia kemas dengan rapi. Untunglah Janice sempat melihat toko kue langganan ibunya ketika ia dalam perjalanan. Tanpa berpikir panjang, Janice turun dari mobil dan membeli beberapa kue dari toko tersebut. Janice tahu jika ibunya sangat sering datang ke toko tersebut untuk membeli kue. Janice berharap kue yang ia bawa dapat membuat ibunya merasa terkesan. Setidaknya ia tidak datang dengan tangan kosong. “Ini untuk kalian.” Kata Janice. Pelayan tersebut menatap Janice dengan kebingungan. Terlihat ragu ketika menerima bingkisan dari Janice. “Terima saja.” Janice kembali berbicara sambil tersenyum. “Dan tolong sajikan kue ini di piring yang cantik.” Janice juga menyerahkan bingkisan yang lain. Kue rasa coklat yang sangat disukai oleh ibunya. “Nona Janice? Kenapa anda ada di sini? Semua orang sudah menunggu di lantai dua.” Lalu seorang pelayan senior yang cukup akrab dengan Janice datang dan menegurnya. “Ya, aku akan segera ke sana.” Jawab Janice sambil tersenyum dengan gugup. Langkah kaki Janice terasa bergetar ketika ia berada semakin dekat dengan ruang keluarga. Rasanya Janice ingin menuruni anak tangga lalu berjalan meninggalkan rumah ini tanpa perlu bertemu dengan Julian. Namun Janice tidak memiliki pilihan lain. Ia tidak bisa menghindari permintaan ayahnya. “Janice?” Sambutan ayahnya ada suara pertama yang Janice dengar ketika ia berada di ambang pintu. Janice menarik napasnya dengan gugup. Ia merasa sesak napas ketika semua orang mengarahkan tatapan mereka kearahnya. Ibunya duduk tempat di samping Callista, mereka mengenakan pakaian dengan warna yang senada. Tampak sangat cantik dalam balutan gaun sederhana yang sangat cocok untuk acara pertemuan keluarga. Sementara itu ayahnya duduk di ujung ruangan, tepat menghadap ke arah pintu masuk sehingga ia bisa langsung mengetahui ketika Janice datang. Lalu tatapan Janice jatuh tepat di sebelah kiri ayahnya, pada seorang pria yang sedang duduk dengan tenang. Ia juga menatap Janice sesaat, tapi tidak ada yang bisa Janice baca dari tatapan datar tersebut. Dan seakan menunjukkan jika ia tidak peduli dengan kehadiran Janice, pria itu mengalihkan tatapannya. “Akhirnya dia datang. Sepertinya dia sangat sibuk sehingga kita harus menunggu lama untuk kedatangan seorang Princess.” Kata Callista. Kakaknya itu tampak memutar bola matanya dengan kesal. “Maaf karena aku datang terlambat. Toko bunga sedang ramai karena banyak pelanggan yang ingin membeli buket bunga.” Janice mulai memberanikan diri untuk kembali melangkahkan kakinya. Karena sudah tidak ada tempat yang tersisa di sisi kanan, Janice terpaksa mengambil tempat duduk di sisi kiri. Tepat di samping Julian. “Kau sama sekali tidak terlambat, Janice. Kami semua senang akhirnya kau datang..” Ayahnya kembali tersenyum. “Papa, bisakah aku kembali ke kamarku?” Callista bangkit berdiri, terlihat sangat muak ketika harus duduk berhadapan dengan Janice. “Duduklah, Callista. Malam ini Julian datang mengunjungi kita, kau harus menghormati kedatangannya.” Janice menundukkan kepalanya dalam-dalam. Berusaha keras untuk tetap bertahan sekalipun ia mulai merasa tidak nyaman. “Karena semuanya sudah berkumpul, sepertinya aku harus segera mengutarakan tujuan kedatanganku ke sini.” Terdengar suara Julian. Telinga Janice berdesir ketika mendengar suara pria itu. Setelah sekian lama memendam rasa rindu, akhirnya Janice kembali mendengarkan suara Julian. Entah kenapa Janice ingin menangis karena ia tidak sanggup menahan perasaan bahagia yang terasa sesak di dalam dadanya. “Tentu saja, Julian. Apa yang ingin kau katakan?” Janice merasakan ada pergerakan di sofa sebelahnya. Tanpa berani mengangkat kepalanya untuk menatap Julian, tiba-tiba saja Janice merasa jika Julian meraih tangannya. Pria itu menggenggam erat tangan Janice. Tangan Julian terasa sangat dingin, genggaman pria itu semakin kuat sehingga membuat Janice menatapnya dengan spontan. Lalu.. tatapan itu kembali menyayat hati Janice. Membuatnya ingin menghilang dan pergi sejauh mungkin dari rumah ini. Untuk setiap kalimat jahat yang menyakiti hatinya, tatapan Julian terasa lebih menyiksa perasaan Janice. “Izinkan aku menikahi Janice.” Ucap Julian dengan tegas. Janice bergeming. Sebuah kalimat pendek yang dikatakan oleh Julian berhasil membuat Janice kehilangan kekuatan untuk mengendalikan dirinya sendiri. Tubuhnya mulai menunjukkan reaksi berlebihan, tangannya berkeringat dan kakinya bergetar karena gugup. Julian… apa yang baru saja dikatakan oleh pria itu? Benarkah Janice sedang bermimpi? Ia sedang berada di dalam dunia khayalannya sendiri? “Apa kau sudah gila?!” Callista bangkit berdiri sambil menatap Julian dengan marah. Ketika mendengar teriakan Callista, kesadaran Janice kembali. Untuk sesaat Janice akhirnya menyadari jika ia tidak sedang bermimpi. Reaksi Callista yang tampak kesal, juga ekspresi orang tuanya yang terlihat terkejut, telah berhasil meyakinkan Janice jika apa yang baru saja dia dengar bukankah khayalan yang terbentuk di dalam pikirannya sendiri. “Paman, mungkin ini sangat mengejutkan. Namun, aku akan tetap meminta izin kepada paman. Jadi, izinkan aku menikah dengan Janice.” Julian mengulangi kalimatnya, kali ini dia memberikan penjelasan yang lebih panjang sehingga membuat Janice semakin terkejut. “Julian.. ini sangat mengejutkan untuk kami.” Janice memaklumi respon ayahnya yang tampak masih kebingungan. Bukan hanya ayahnya, tapi Janice juga merasakan hal yang sama. “Usia Janice sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan sendiri. Apakah Paman mengizinkan aku berbicara dengan Janice mengenai rencana ini? Biarkan dia yang memutuskan apa yang akan dia lakukan.” Julian mengeratkan genggaman tangannya pada jemari Janice. Mendengar suara pria itu sudah cukup membuat Janice terluka, namun seakan masih ingin memberikan penyiksaan kepada Janice, Julian justru meminta waktu untuk berbicara dengannya. “Kau ingin berbicara dengan Julian, Janice?” Ayahnya menyadari jika sekarang Janice tampak seperti orang linglung yang kebingungan. Oleh sebab itu ayahnya mencoba memastikan apa yang ingin Janice lakukan. “Apakah kalian sudah gila?!” Callista kembali berteriak dengan marah. “Kau mau berbicara denganku, Janice?” Tanya Julian sambil menatap lurus ke arah mata Janice. Janice kembali terlena ke dalam tatapan itu. Sorot teduh yang terasa begitu tulus. Janice masih ingat jika sejak kecil ia sangat menyukai warna mata Julian. Hitam pekat, seakan menggambarkan betapa misteriusnya pria itu. Setelah bertahun-tahun berlalu tanpa bisa menatap matanya, kini Janice kembali dihadapkan dengan sang empunya netra gelap yang membuat siapapun merasa tenggelam di dalamnya. Dan seperti kebodohan Janice lainnya, kali ini ia juga melakukan hal yang sama. *** “Menikahlah denganku..” Kata Julian dengan suara dingin. Kini tatapan matanya tidak lagi menyorot kepada Janice. Julian lebih memilih untuk menatap ke arah lain, tampak enggan jika harus berinteraksi dengan mata Janice. “Aku tidak mengerti.” Janice berbicara dengan pelan. “Bagian mana yang tidak kau mengerti?” Janice menatap kolam renang yang tampak sangat tenang. Malam ini tidak ada satupun bintang maupun bulan, langit tampak sangat gelap. Segelap mata Julian yang selalu menyorotkan kesedihan. Dan sepert sebuah kesengajaan yang diatur oleh Julian, kini mereka sedang berbicara tepat di ujung kolam renang. Sebuah tempat yang membuat Janice lebih mudah untuk diintimidasi. “Kenapa harus aku?” Julian terkekeh pelan. Pria itu menundukkan kepalanya, berdiri sejajar dengan Janice dan menghadap ke arah kolam renang yang menggambarkan pantulan bayangan mereka. Sekalipun berdiri bersisihan, Janice bisa merasakan jarak yang begitu lebar diantara mereka. Seakan menegaskan jika sedekat apapun Janice berdiri di samping Julian, ia tetap tidak akan pernah bisa menggapai pria itu. “Karena kau yang membunuhnya?” Julian menampilkan senyuman sinis. Seketika Janice merasa jika kakinya lemas. Seharusnya Janice sudah menyadari tujuan Julian datang ke rumahnya. Seharusnya Janice tidak membiarkan harapannya melayang terlalu tinggi. Seharusnya…. Seharusnya Janice tidak pernah datang kembali ke rumah ini. “Menangis?” Tanya Julian. Janice tersenyum lalu mengusap air matanya yang mengalir tanpa bisa ia kendalikan. Sebuah potongan kejadian di masa lalu terasa kembali menguasai pikirannya, membuat Janice merasa tersiksa karena dihantui rasa bersalah. “Kau menangis setelah membunuhnya? Apakah itu adil, Janice?” Janice kembali mengusap air matanya. Ternyata semua hukuman yang ia dapatkan masih belum cukup untuk mengobati luka di hati Julian. Setelah mendapatkan caci maki, setelah dikucilkan dan ditinggalkan sendirian, Janice masih harus menghadapi hukuman lainnya. Sebuah hukuman yang tentu saja tidak akan mudah untuk ia jalani. “Menikahlah denganku, hanya dengan cara itu saja aku bisa menjagamu tetap berada di dalam genggamanku.” Julian berbicara dengan serius. Dalam kemarahan yang dirasakan, Janice masih bisa mendengarkan getaran di dalam suara Julian. “Jangan menyiksa dirimu sendiri.” Janice memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya, kini ia menatap Julian dari samping, memperhatikan setiap detail dari ekspresi pria itu. “Aku sudah tersiksa dengan semua perbuatanmu, Janice. Jadi sekarang kau harus membayar dosa yang telah kau lakukan.” Mata Janice kembali terpejam. Kali ini, haruskah dia kembali menanggung sebuah hukuman? Setelah sekian lama mengasingkan dirinya sendiri, haruskah Janice kembali menjalani hari-hari menyakitkan? “Kau akan semakin tersiksa jika menikahiku. Haruskah kita melakukan ini?” Tanya Janice sambil menolehkan kepalanya. “Kau yang harus tersiksa, bukan aku.” Jawab Julian dengan tatapan tajam yang mengarah tepat kepada Janice. “Tapi kau juga akan tersiksa, Julian!” Janice mengungkapkan rasa frustasinya. “Itu sama sekali bukan urusanmu!” Julian menarik tangan Janice dengan cepat lalu tanpa Janice sadari ia sudah berdiri di ujung kolam renang dengan lengan yang digenggam erat oleh Julian. Janice menarik napasnya dengan pelan. Mencoba untuk membayangkan hal-hal menyenangkan di dalam pantulan air kolam yang tampak hitam pekat. Julian tahu jika Janice memiliki trauma dengan kolam renang. Pria itu tahu seburuk apa trauma yang Janice rasakan. Dan Julian memanfaatkan trauma Janice untuk membuatnya semakin merasa terdesak, membuatnya kehilangan pilihan. “Menikahlah denganku dan hadapi hukumanmu, Janice. Kau tidak boleh hidup dengan bebas setelah membunuhnya.” Julian berbisik pelan ke telinga Janice. Dengan mata yang masih terpejam, Janice memohon di dalam hatinya. Sungguh, kali ini Janice tidak ingin membuat keributan. Dia tidak ingin berteriak ketakutan dan membuat semua orang datang untuk memberikan tatapan prihatin kepadanya. “Menikahlah denganku atau aku akan melepaskan genggaman tanganku.” Julian kembali berbicara. Janice menggelengkan kepalanya dengan cepat. Lalu tanpa sadar sebuah jawaban keluar dari bibir Janice. Sebuah jawaban yang seharusnya sangat tidak tepat untuk diungkapkan di situasi ini. “Tidak, jangan melepaskan tanganku. Kumohon, jangan melepaskan tanganku!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD