Undangan Tunggal
Chapter 1
Pukul 08 : 20
Aku berkeliling ruangan gedung, mengitari setiap meja, mencari hidangan yang menarik minat lidahku sambil sesekali melirik kanan kiriku. Barangkali aku menemukan orang yang mungkin kukenal, pikirku.
Makanan berat bukanlah pilihanku kali ini. Masih terlalu pagi bagiku untuk menelan karbohidrat. Dan ini hari sabtu. ya Tuhan.., aku masih ingin berbaring diranjangku.
Rasa kantuk, masih. Seolah ada sesuatu yang menggelayut dikelopak mataku, padahal aku tak memakai maskara atau -pun bulu mata palsu. Aku mengatupkan gigi gigiku dengan kuat, melawan mulutku untuk tidak menguap. Sesekali aku menahannya dengan menutupi bibirku dengan tangan.
ughh.. Aku butuh segelas kopi panas. Itu akan sangat membantu.
Semalam..
Aku menghabiskan malamku dengan menonton serial drama favoritku. Sendirian. Tentu saja aku tidak memiliki pacar- yang mereka sebut kekasih yang datang menemuimu, mengetahui ini hari weekend-mu, lalu tenggelam dalam pelukannya semalaman penuh sambil menonton drama romantis favorit. Tidak. Nyatanya dengan perasaan nanar aku hanya bergelayut pada bantal yang tak bernyawa. Hangat, namun tak menggibur jiwa.
Tak ingin mengasihani diri sendiri lebih dalam aku mengesampingkan perasaan meranaku itu.
Aku meminta pada secangkir teh panas untuk menghangatkan tubuhku dan pada snacks aku berbicara.
Ketika hawa subuh mulai terasa aku mengecek lagi jam dinding untuk kesekian kalinya. Kali itu jam sudah menunjukan pukul empat pagi. Aku bangkit dari sofa. Dengan setengah lunglai aku berjalan menuju kamarku, Membanting tubuhku keatas kasur dan langsung tertidur. Aku telah mengatur alarm sebelumnya mengingat besok pagi aku akan menghadiri Undangan pernikahan temanku.
Paginya..
Aku justru terbangun dikarenakan mendengar teriakan tetanggaku. Dengan mata yang masih mengerat aku berusaha untuk melek. mendongakkan kepalaku dengan berat dan Mengintip cahaya dari celah jendela. Diluar sudah terang. Aku turun dari ranjangku dengan satu loncatan spontan. Menarik handuk, berlari menuju kekamar mandi.
Tak sampai lima menit aku sudah keluar dari kamar mandi. Tidak lupa aku mengintip jam dinding hingga membuat mulutku menganga. Jam dinding seolah mengabaikanku dengan menunjukan padaku bahwa dia sudah pukul 06.45 menit. Dan alarm yang telah menghianatiku sebelumnya.
Aku menggerutu sambil berjalan kembali ke kamarku. Aku tak akan sempat menyaksikan momen akad nikah temanku, Indah. Yang akan sah menjadi seorang istri dalam lima belas menit lagi-telah memintaku untuk menjadi salah satu saksi di momen sakralnya. Dengan rasa bersalah aku meminta maaf pada Indah.
Aku tak memiliki cukup waktu untuk berdandan ria. Tau, Aku sudah jauh terlambat.
Aku menggaris alisku, Menepuk pipiku dengan bedak, mengoles lipstick. Melempar handuk keranjang tempat tidur selesainya kemudian menarik gaunku yang kugantung dipintu lemari. Aku memang sudah mempersiapkan pakaianku sejak semalam. Aku ampir saja merusak gaunku dengan menariknya terlalu keras. Gaunku tersangkut di gagang pintu lemari, itu membuatku hampir kena serangan jantung.
Dan sekarang aku disini. Sampai 40 menit kemudian setelah menerjang kemacetan.
Aki celingukan mencari kopi panas yang barangkali mereka sediakan untuk membunuh kantukku.
Sejak kapan diacara resepsi pernikahan menghidangkan kopi panas?." Pikirku.
Jarang sekali kita melihat acara pernikahan digedung menghidangkan kopi,bukan? Kecuali kau menghadiri acara pernikahan diperkampungan, itupun tak mereka hidangkan secara langsung.
Mataku sudah menelusuri setiap meja dan tidak kutemukan ada yang kucari.
ughh.." dan kenapa setiap menu di pesta pernikahan selalu tampak sama." Aku mengeluh.
Sate, soto ayam, rendang, capcay.
Dan yang lainnya kau tebak sendiri.
ugh." sepertinya menu-menu tersebut adalah menu yang selalu ada disetiap bisnis catering. Aku sungguh tak akan mencoba menggapai piring. Aku memilih melanjutjan langkah menerobos beberapa orang.
Kulihat kearah luar, ada yang duduk diemperan gedung, ada yang minggir kearah taman dan ada pula yang berdiri dipojokan sambil bercakap-cakap dengan pasangan atau teman mereka masing-masing.
Aku melirik kedekat tubuhku mencari seseorang yang tidak ada disampingku padahal aku menyadari betul bahwa aku sendirian.
Aku memutar kepalaku untuk menyingkirkan rasa canggungku, gedung ini sangat besar dan menggema. Suara tamu-tamu terasa bergemuruh seperti angin yang saling menyahut didalam ruangan.
Ada kursi-kursi dibagian tengah gedung, disisi kanan kursi pengantin yang disediakan khusus untuk tamu VIP.
Dekorasi tampak manis dengan nuansa pink yang mendominasi. bunga-bunga mawar terpajang disetiap sisi. backdrop pelaminan yang membentuk lingkaran besar bunga mawar dibelakang panggung pengantin dan hiasan yang seperti bentangan sayap disisi kanan dan kirinya, lalu bunga-bunga lily pink yang bertengger dibawah panggung pengantin mengelilingi.
Sepertinya indah memang tak memilih tema khusus untuk pernikahannya ini. Namun ini cukup manis dan romantis.
sampai disudut ruangan dipintu sebelah timur gedung aku menemukan Chocolate Fountain, lalu aku mencuilnya dengan ujung jariku kemudian aku mengemutnya. Seseorang melihatku dengan tatapan jijik saat aku mengulum jari telunjukku, aku tak peduli, aku hanya melengos pergi.
Mataku terhenti dimeja lain disisi kiri pintu, aku melihat zuppa soup disana, aku mendekat kearah meja, lalu aku menyelip diantara ibu-ibu yang sedang mengerumuni meja hidangan, kuambil satu mangkuk Zuppa Soup lalu aku bergeser kesisi meja kemudian aku menyantapnya sambil berdiri dengan lengan kiriku yang mengapit dompetku.
Aku memutar sedikit tubuhku kekiri, mengarahkan pandanganku kali ini jauh kedepan kearah Pengantin yang sedang berbahagia.
Sambil mengemut zuppa soup ku aku memandangi Indah. Yang cantik seperti biasanya. Namun. Aura pengantinnya memberi kesan yang berbeda. Spesial. Yeah, aku tau. Pasangan pengantin selalu membawa kesan tertentu. Itu seperti, mempelai menarik energimu bersama mereka.
Indah terlihat berbeda dari biasanya, dengan gaun putih kebaya yang menempel dengan sempurna ditubuhnya yang ramping. Membentuk lekukan - lekukan yang memperlihatkan bentuk tubuhnya.
Kalung mutiara Cantik melingkari bagian lehernya yang terbuka, rambutnya yang panjang digelung ditutupi kain veil panjang yang menjuntai dibelakang punggungnya. Pengantin pria hanya memakai jas putih mengilat, celana putih dan peci putih.
Tiba-tiba hatiku bertanya-tanya kapan aku akan ada momen itu. Aku sungguh membayangkannya. Seketika aku senyum senyum sendiri dengan hatiku yang penuh harap. Tetapi,
ugh
mendadak aku mendesah yang entah tanpa sebab membuatku tak nyaman. Perasaan ini terasa lebih mengerikan daripada mendapati diri datang kepesta pernikahan tanpa pasangan.
Ku ambil nafas dalam - dalam ditengah lalu lalang orang - orang. Ruangan gedung mulai terasa panas tetapi tubuhku mulai menggigil.
Setengah menyesal aku yang tak mendengarkan saran Tessa - teman kantorku. Dia sempat menawariku pria pinjaman yang bisa dibayar untuk menemaniku namun aku menolaknya.
Dengan percaya diri aku memilih melenggang sendiri memasuki gedung. Saat aku memasuki foyer Beberapa orang menengok kebelakangku, menduga seseorang yang mungkin sedang menyusulku.
Untuk beberapa saat aku mematung. Berdiri,
memegang Zuppa soup, mengapit dompet kecilku dengan lenganku yang setengah gemetar.
Aku mengetuk ngetuk sendok dengan jariku. Dengan canggung. Bibirku mengerut membuat senyuman kecut. Masih memandangi kedua mempelai.
Mereka sibuk bersalam-salaman dan cipika cipiki dengan para tamu terhormat yang memberikan ucapan selamat. Senyuman bahagia terus menebar dari keduanya. Dan tangan yang terus mengayun menyalami
tangan - tangan para dermawan.
Sesekali kulihat pasangan pengantin itu saling melirik mesra satu sama lain, seperti saling menyampaikan pesan rahasia yang hanya diketahui oleh mereka berdua, Lalu tiba-tiba tenggorokanku terasa berat dan hampir saja aku tersedak makananku sendiri. Aku melirik kekanan dan kiriku mencari air putih dan tak kutemukan didekatku.
Baru saja aku mau melangkah untuk mencari segelas air minum ketika seseorang menyenggolku dari belakang.
Eehhh Maaf mbak."
seorang perempuan muda permisi padaku.
Aku maju satu langkah dari tempatku berdiri, memberinya sedikit ruang untuk mengambil Zuppa Soup lalu aku melihat seorang pria mendekat pada perempuan muda itu.
Sayaang..
bisik pria itu kepadanya lalu memegang pundaknya dengan mesra. Kemudian pria itu membisikan sesuatu ditelinganya, perempuan itu mengangguk lalu pria itu menarik lembut dirinya dan membawanya pergi.
Aku berdehem dengan canggung dan kupikir aku benar benar tersedak zuppa soup ku kali ini. Seketika aku langsung tak berselera melanjutkan makanku. Aku mengelus tenggorokanku dan dengan perasaan yang entah kenapa agak sedikit kesal kutaruh mangkuk Zuppa soup dipinggir meja, kemudian aku melangkah lagi berjalan ketengah ruangan untuk mencari dimana letak air putih disediakan sambil memegang dengan gemas dompetku.
Aku kembali kearah meja prasmanan untuk mendapatkan segelas air untuk menghilangkan eneg ditenggorokanku.
Air putih itu diletakan diujung meja prasmanan didekat kursi VIP, diatas meja bundar besar bertaplak kain renda-renda berwarna putih.
Aku berjalan segera kearah meja untuk mengambilnya.
Senaaa?!"
Suara nyaring yang terdengar familiar dari sisi kananku memanggilku saat tanganku baru saja menyentuh gelas. Aku menoleh pada suara itu dan kulihat seorang wanita muda bergaun berokat ungu dan hijab yang senada sedang berdiri terkejut melihatku. Dia menyengir padaku dengan tatapan tak percaya.
Senaaa!,
Ulangnya, dia menjerit dramatis mendekatku sambil membentangkan kedua tangannya dan langsung memelukku. Dan dengan spontan aku balas memeluknya.
Susi!?
Kataku.
Kemudian dia melepaskan pelukannya. Dengan kedua tangannya yang masih memegang lenganku dia menurunkan pandangannya kebawah menuruni gaunku lalu keatas lagi dan berhenti di wajahku.
Ya ampun, sena, kemana saja dirimu?!
Dengan wajah yang masih terkejut dia berkata sambil tak melepaskan kedua tangannya.
ehh, Aku masih ditempat yang sama, sus."
Ucapku, memberinya senyuman yang ku usahakan senatural mungkin. Bukankah seharusnya aku senang bertemu dengan teman lama?" Tetapi tidak, aku merasa tak se terkejut Susi. Dan bukankah seharusnya akulah yang bertanya padanya tentang keberadaannya selama ini. Susi tau dimana tempat tinggalku, dimana aku bekerja, bahkan beberapa kali dia pernah datang kerumahku, meminta bantuanku soal skripsi terakhirnya. Setelah itu dia menghilang bak ditelan ikan paus selama seratus hari. Kemudian aku mendengar kabar dari temannya bahwa dia berada diluar kota. Aku tak tertarik untuk bertanya apa yang dia lakukan disana. Mungkin dia mendapat pekerjaan disana," pikirku waktu itu. Dann tiba-tiba aku mendengar panggilan dari suara yang setidaknya aku masih mengenalinya.