Chapter 4B

2071 Words
Hari terus berganti, ini sudah hari ke enam Allisya berada di Jepang, hubungan Liam dan Eve pun semakin membaik setiap harinya, bahkan jika sekilas orang melihat mereka benar-benar terlihat seperti keluarga harmonis yang saling mencintai, Liam pun perlahan mulai menerima jika kenyataannya Eve memang istrinya sekarang, dan mungkin karena kebersamaan mereka selama seminggu ini, Liam benar-benar menyadari perasaannya, bahwa sejak dulu Eve lah yang ada di hatinya, namun ketulusan cintanya itu tertutupi oleh obsesinya terhadap Allisya, ia berjanji tidak akan lagi membuat Eve terluka, dan ia ingin mengakhiri semuanya dengan Allisya, walau ia harus membuat wanita itu menangis, tapi baginya inilah yang terbaik, ia tidak bisa menjanjikan apapun untuk Allisya di masa depan, sekarang Eve lah istrinya, pilihan kedua orang tuanya, walau ia belum tau alasan di balik pernikahannya dengan Eve, tapi ia yakin gadis itu melakukan sesuatu yang besar untuk keluarganya. “Apakah hari ini kau pulang malam?” Eve menyendokkan sup kacang merah pada mangkuk Liam . “Ya. Aku di rumah sakit sampai malam hari ini, kau pulang jam berapa hari ini? Aku akan menjemputmu,” ujar Liam tersenyum begitu lebar, membuat Eve benar-benar merasa bahagia. “Sepertinya aku pulang malam hari ini, aku harus bertemu dosen Kim dan ke lab.” Eve menghembuskan nafas panjang, mengingat ia harus menghadapi hari yang panjang. “Aku akan menyempatkan menjemputmu nanti, katakan padaku jika urusanmu sudah selesai.” Liam mengacak-acak rambut Eve, menyendokkan sesuap nasi pada gadis itu. “Kau tidak perlu menjemputku. Kau pasti sibuk di rumah sakit.” “Tidak apa-apa. Aku akan tetap menjemputmu.” *** Eve berjalan memasuki pelataran kampus setelah mobil Liam yang tadi mengantarnya menghilang di tikungan jalan raya, gadis itu tak berhenti tersenyum mengingat semua perlakuan manis Liam . “Astaga, Apa yang membuat senyum terbit sepagi ini di wajah Mrs. Hwang?” Dareen datang menyentil hidung Eve, membuat gadis itu meringis pelan. “Yakk ,” Eve melotot kesal, namun Dareen hanya menjulurkan lidahnya dan tertawa pelan. “Sepertinya hubunganmu dengan suamimu semakin baik akhir-akhir ini.” “Begitulah.” Eve kembali tersenyum membayangkannya, membuat Dareen yang melihat itu merasakan sakit di sudut hatinya. “Ahh, maaf untuk kejadian hari itu, kita baru sempat bertemu hari ini setelah kejadian itu.” Eve menunduk menyesal mengingat Liam yang memukul Dareen tempo hari. “Bukan masalah. Aku tau bagaimana emosinya suamimu melihat seorang pria lain di rumahnya, jika aku menjadi Liam mungkin aku akan melakukan hal yang sama.” Dareen tersenyum menjelaskan, berusaha menghilangkan perasaan bersalah Eve. “Tapi beberapa hari ini aku tidak melihatmu.” “Aigoo~ kau pikir pekerjaanku hanya di kampus saja? Aku tim riset di negeri ini yang mengembangkan teknologi nano, aku ke kampus hanya seperlunya, lagi pula lima hari ini aku pergi ke Malaysia.” “Untuk apa kau ke sana?” Tanya Eve dengan raut bingung. “Aku ada proyek di sana,” Jawaban Dareen membuat Eve tersenyum bangga. “Ahh yaa apa yang kau lakukan di kampus?” Tanya Dareen membuat gadis itu tersadar. “Astaga. Aku harus menemui Dosen Kim sekarang.” Eve memukul kecil dahinya, dia tidak boleh tepat waktu unuk menemui dosen pembimbingnya yang berasal dari Korea itu, karena pria tua itu sangat disiplin soal waktu. *** Siang telah berganti menjadi malam, namun hal itu tidak membuat seorang pria berhenti untuk memeriksa data pasien-pasiennya. Bahkan pria itu sepertinya lupa memiliki janji untuk menjemput istrinya sekarang. Ketukan pintu itu menghentikan kegiatan Liam , pria itu melepas kacamata bacanya dan terkejut begitu mengetahui siapa yang datang. Allisya, wanita yang seminggu ini tidak ditemuinya. “Allisya, bagaimana bisa? Bukankah kau pulang besok?” Liam beranjak dari kursinya, menyambut kedatangan wanita itu, sedangkan Allisya hanya memberikan senyumannya, berjalan mendekat ke arah pria itu, dan langsung mencium Liam penuh kerinduan. “Aku sangat merindukanmu. Aku menyelesaikan pekerjaanku dengan cepat agar bisa lekas bertemu denganmu.” Allisya kembali mencium bibir pria itu, melumatnya penuh nafsu, menyalurkan kerinduannya pada pria itu. *** Eve melihat ponselnya untuk yang ke lima kali, ia sudah mengirimi Liam pesan sejak tiga puluh menit yang lalu, namun belum ada balasan dari pria itu. “Apa Liam memiliki jadwal operasi, sehingga dia tidak membalas atau mengangkat teleponku?” Eve bergumam, gadis itu duduk sendiri di halte depan kampus, menunggu Liam yang mengatakan akan menjemputnya tadi pagi. Ia kembali melirik arloji yang kini sudah menunjukkan jam sepuluh malam. “Lebih baik aku membeli makan malam, dan mengunjunginya di rumah sakit, mungkin dia sangat sibuk dan melewatkan makan malamnya.” Eve kembali menggumam, gadis itu telah membuat keputusan dan beranjak meninggalkan halte itu. Ia menuju restoran yang tidak jauh dari kampusnya dan membelinya dua porsi untuk dirinya dan juga Liam, menunggu bus yang akan membawanya menuju rumah sakit tempat Liam bekerja, begitu turun dari bus ia berlari ke kafe di seberang jalan untuk membeli coffee, langkah yang ringan itu membawanya untuk menemui Liam, tak ada perasaan kesal karena Liam tidak menjemputnya, ia sangat memaklumi jika Liam sangat sibuk, bahkan hal itu sering terjadi saat mereka berada di bangku kuliah. *** Sepertinya kejutan yang ingin ia berikan pada Liam dengan datang menemui pria itu gagal, justru dialah yang kini benar-benar dibuat terkejut, bagaimana suaminya menerima suapan dari wanita itu, dan bagaimana bibir wanita itu bertemu dengan bibir suaminya dan saling memagut satu sama lain membuat dadanya sesak, tangannya mencengkram erat menahan emosi, air mata gadis itu bahkan sudah tumpah, apakah kehadiran wanita itu selalu menimbulkan luka untuk dirinya? Selama enam hari ini, bukankah ia tidak pernah merasakan luka itu lagi, tapi saat wanita itu kembali, kenapa semuanya kembali begitu menyakitkan. Tubuh gadis itu mundur, bergetar melihat kini posisi mereka yang lebih intim, ia benar-benar tidak kuat untuk melihat hal yang selanjutnya, dan meninggalkan tempat itu adalah pilihan terbaik, dengan kekuatan yang tersisa ia berlari menjauhi tempat terkutuk yang seolah membunuhnya. Astaga. Bahkan ia tidak bisa menggambarkan bagaimana terluka dan perih hatinya, yang telah berkali-kali tersakiti. Oleh dua orang yang tidak memiliki perasaan itu. *** Tetesan air kembali datang saat insan di bumi mulai terlelap, tatapan gadis itu nanar, kakinya terus melangkah walau air langit itu telah membasahi tubuhnya, tangannya meraba sekitar, mencoba mencari pegangan entah apapun itu untuk membantunya berjalan, karena rasa-rasanya tubuh itu sudah tak kuat menopang beratnya, dan akhirnya gadis itu berhenti di halte, memperhatikan tetesan air langit yang seolah merasakan bagaimana kesedihannya yang begitu menyiksa, hingga rasanya ia ingin mengakhiri hidupnya saja, air mata itu terus mengalir seolah tidak ada habisnya, kadang ia menangis dalam diam namun beberapa saat ia meraung keras, memukul-mukul dadanya, seolah meneriakkan betapa kesakitan dirinya, dan cara untuk melampiaskan yang bisa ia lakukan hanya meraung keras berharap beban di hatinya sedikit berkurang, namun nyatanya hal itu tidak mengurangi sakitnya sedikit pun. Mobil itu berhenti di depan sebuah halte, di mana seorang gadis menangis pilu memukul-mukul dadanya, raut wajah pria itu begitu menunjukkan kekhawatiran saat melihat siapa wanita itu, ia segera keluar dari mobil, tak mempedulikan tubuhnya yang basah oleh air hujan. “Astaga Eve, apa yang terjadi? Kenapa kau menangis di sini?” Dareen mengguncang pelan bahu Eve namun yang dilakukan gadis itu tetap menangis bahkan tangisannya semakin kencang, ia mencengkram kerah baju Dareen, dan berakhir memeluk pria itu, menangis di d**a Dareen, yang ia butuhkan saat ini hanyalah sandaran, ia belum bisa mengatakan apapun, tubuhnya terasa begitu lelah dengan semua yang terjadi. “Eve, ada apa? Kenapa kau di sini? Kau bisa menceritakannya padaku.” Dareen balik memeluk Eve begitu erat, hatinya juga terasa sakit melihat bagaimana Eve terisak pilu sendirian di halte itu. “Sakit Dareen. Ini sangat menyakitkan ..hiks hikss.” Hanya isakan yang keluar dari bibir gadis itu. “Eve, sebenarnya apa yang terjadi?” Dareen mengusap punggung Eve, berharap ketenangan yang ingin ia sampaikan pada gadis itu tersampaikan. “Tidak apa-apa. Aku tidak bisa menceritakannya padamu, aku.. aku...” Dan gadis itu kembali menangis di pelukan Dareen, dan di balik punggung gadis itu Dareen juga menangis, ia bisa merasakan bagaimana terlukanya Eve bahkan hanya lewat tangisan gadis itu. Namun yang bisa ia lakukan saat ini hanya menenangkan gadis itu. “Eve, apa kau mau terus menangis seperti ini? Ini sudah satu jam kita di sini, hujan juga sudah berhenti, kau bisa sakit jika begini, aku akan mengantarmu pulang.” Ujar Dareen melepaskan pelukannya, sudah satu jam lebih ia membiarkan Eve menangis dan ia tidak bisa membiarkannya lebih lama jika tak ingin melihat gadis itu jatuh sakit. “Baiklah.” Ujar Eve lirih, bagaimana pun ia harus pulang, ia seorang istri sekarang, sesakit apapun hatinya ia harus kembali ke tempat terkutuk itu, setidaknya ia masih akan menunggu penjelasan Liam dan bagaimana nasib rumah tangganya, pria itu harus memutuskannya. “Setelah ini kau harus segera mandi dan membuat cokelat hangat, pastikan penghangat ruangan di kamarmu nyala. Aku tidak ingin melihat wajah pucatmu besok.” Dareen memegang pundak Eve dan sedikit meremasnya, dan tanpa diduga Eve kembali memeluk pria itu dan menangis terisak di sana, sejujurnya ia masih belum sanggup untuk melihat wajah kedua orang itu, namun cepat atau lambat ia harus menghadapi keduanya. “Tidak apa-apa, semuanya akan baik baik saja Eve, ingatlah ada aku yang selalu di sisimu.” Dareen mengusap punggung gadis itu berulang kali. Kini mereka telah tiba di apartemen, sejak tadi pintu sudah terbuka namun Eve belum beranjak untuk masuk, rasanya begitu berat harus berhadapan dengan seseorang yang selalu menjatuhkan hatinya berkali-kali. *** “Liam apa yang kau lihat?” Allisya memeluk Liam dari belakang, mengendus aroma pria itu, sedangkan Liam masih terdiam, hatinya bergemuruh melihat pemandangan yang ia lihat dengan matanya, tangannya mengepal kuat, entah mengapa hatinya begitu bergejolak seolah ingin meledak melihat istrinya yang pulang dengan pria lain bahkan kini berpelukan di depan pintu apartemennya. Allisya tersenyum licik begitu mengikuti objek pandang Liam . ‘Aku akan menjadikanmu milikku seutuhnya malam ini , aku akan memanfaatkan emosimu itu untuk menjadikanmu milikku, aku sudah tahu kau akan berakhir dengan mencintai gadis itu, tapi aku tidak ingin kau berpaling padanya, aku tidak akan membiarkanmu Liam ,’ batin Allisya tersenyum licik juga merasa sedih, melihat bagaimana tatapan Liam kepada Eve. “I love you, Liam,” Allisya menciumi leher Liam , dan tidak ada penolakan dari pria itu. “Jadikan aku sepenuhnya milikmu.” Bisik Allisya seduktif, tangannya mulai nakal menelusup ke balik kemeja Liam , membelai setiap inci kulit pria itu, bibirnya bahkan terus menelusuri leher Liam , mencium dan menghisapnya setiap inchi, Allisya yakin sebentar lagi Liam akan mengikuti permainannya. “Eunghh,” lenguhan kecil dari Liam itu membuat Allisya tersenyum senang “Sialan. Kau yang memulai ini Allisya, jangan berharap aku akan berhenti.” Ujar Liam dan kembali meraup bibir Allisya begitu ganas, ia menekan kepala gadis itu untuk memperdalam ciumannya, mempermainkan lidahnya dan menggigit kecil bibir yang menyatu dengan bibirnya itu, tangannya tak tinggal diam, tangan itu kini merambat ke pinggang gadis itu, meraba punggung yang masih tertutup kemeja berwarna broken white itu dengan tangan panjangnya. Tiba-tiba saja Liam sudah menindihnya membawanya pada kenikmatan yang sangat ia inginkan sejak dulu. Allisya terkesiap sekaligus merasakan kenikmatan ketika tubuhnya menyatu dengan pria itu merasakan sensasi panas yang nikmat menjalar ke seluruh tubuhnya, Pria itu mengerang, dalam dan parau membawa dirinya serta wanitanya pada kenikmatan tertinggi dunia. Tanpa mereka sadari hal yang bagi mereka surga tadi adalah neraka bagi seorang gadis yang tengah terduduk di depan pintu kamar itu dengan tangis yang terdengar pilu. “Hiks... hiks ini benar-benar menyakitkan, kenapa kau lakukan ini , aku aku...” Eve mencengkram rambutnya, kepalanya terasa pening, melihat bagaimana suaminya bercinta wanita lain di kamar yang seharusnya menjadi kamarnya. Ia bahkan tidak tahu bagaimana mendiskripsikan rasa sakitnya kini, hatinya tercabik-cabik ribuan kali oleh satu nama. “Kenapa... kenapa sesakit ini rasanya....” Eve memukul-mukul kuat dadanya berusaha menghilangkan rasa sakit yang seolah menghimpitnya hingga ia tidak bisa bernafas sama sekali. “Kenapa kau lakukan ini padaku?” sungguh ini merupakan pukulan yang berat baginya, dengan tertatih ia berjalan menuju kamarnya, bahkan berkali-kali ia terjatuh, tubuhnya begitu lemas seolah tulang tulangnya dilolosi satu-satu, fakta yang baru ia lihat dengan mata kepalanya benar-benar menjadi luka yang menusuk hingga ke palung hatinya. “Kenapa.... kenapa kau lakukan ini padaku?” Eve. Gadis itu masih memukul-mukul dadanya yang terasa begitu sesak, ia benar-benar merasa tidak bisa bernapas sekarang. Dan begitu tiba di kamarnya ia langsung terjatuh saat pintu itu tertutup, meringkuk dan menangis pilu di sana, jika seperti ini apa yang harus ia lakukan? Apakah ia harus menyerah sekarang? saat sang surya kembali menyapa besok, masih adakah kekuatan yang tersisa pada dirinya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD