Lawang, 14 Juli 2011
Jingga dan Krisna duduk berhadapan sembari mengenang masa SMA mereka. Jingga terbahak mengingat bagaimana Krisna dulu bisa kalah saat adu panco dengannya.
"Ayo kita tanding ulang sekarang, pasti aku yang menang!" tantang Krisna percaya diri.
Tawa Jingga kembali pecah. "Ya, ya, kamu pasti menang," kata Jingga dengan senyuman mengejek sehingga Krisna semakin jengkel.
Jingga mengawasi Krisna yang duduk di depannya dengan saksama. Pemuda bengal dan sok cool yang dulu dikenalnya kini telah berubah menjadi pria dewasa yang gagah dan keren.
"Apa sih, lihat-lihat gitu?" tanya Krisna risih. Sahabatnya itu juga jauh berbeda dari gadis tengil, culun dan dekil yang dulu sering bermain dengannya sehingga membuat Krisna sedikit canggung. Jingga yang ada di depannya ini adalah wanita dewasa yang cantik dan menarik.
"Aku senang melihatmu sekarang, padahal dulu aku selalu meragukan masa depanmu," aku Jingga sambil meringis.
"Bagaimana keadaan teman-teman kita sekarang?"
Selama beberapa detik Krisna membiarkan sendoknya mengambang di udara, lalu menyuapkannya ke dalam mulut. "Sepertiya baik."
Jingga mengerutkan keningnya karena menangkap nada ragu-ragu dalam sahutan Krisna. "Sepertinya?"
"Yah, kita sudah nggak sering bareng lagi," terang Krisna, bagi Jingga suaranya masih terdengar sumbang.
Jingga merenung sejenak, kemudian mengalihkan percakapan pada kunjungannya ke rumah Rosa kemarin yang ditolak oleh keluarga Rosa. "Kamu tahu nggak kenapa orang tuanya Rosa begitu?" tanya Jingga.
Krisna terdiam. Dia hanya memandangi Jingga dengan nanar selama beberapa detik kemudian tersenyum kecil. "Aku kurang paham urusan keluarganya."
"Apa kamu tahu sekarang dia tinggal di mana?" tanya Jingga.
Krisna mengangguk. "Kalau kamu mau menemuinya, aku bisa menemanimu pulang kerja nanti," kata Krisna. "Aku juga ada urusan dengan dia."
***
Jingga duduk di jok belakang motor Krisna sepulang kerja. Krisna membawanya ke sebuah supermarket di pinggir Jalan Raya Singosari. Mereka memarkir motornya di depan supermarket tersebut.
Sosok wanita dengan rambut di sanggul yang mengenakan seragam hitam putih yang berdiri di depan meja kasir langsung menarik perhatian Jingga begitu dia memasuki supermarket. Wanita itu adalah Rosa. Penampilannya hampir mirip dengan yang dilihatnya hari minggu lalu di pematang sawah dari jendela kamarnya. Ternyata cewek yang waktu itu memang Rosa.
Krisna mendahului Jingga menuju kasir lalu menyapa Rosa dengan senyuman canggung. Jingga baru sadar kalau pria itu membawa sebuah tas kerek warna putih di tangan kanannya.
"Hai," sapa Krisna.
Rosa menatap tajam, seolah dia ingin menguliti Krisna. Jingga tertegun, tak pernah seumur hidupnya melihat Rosa menampilkan ekspresi demikian.
"Mau apa lagi kamu datang ke sini?" tegur Rosa ketus.
Krisna tersenyum kecut lalu menunduk. Dahi Jingga mengerut saat mencoba memahami situasi yang terjadi antara Rosa dan Krisna. Apa yang terjadi pada dua sahabatnya ini?
Krisna meletakkan keresek putih yang dibawanya tadi ke atas meja kasir. "Tolong berikan ini pada Biru."
"Biru nggak mau menerima apa pun darimu," tegas Rosa.
Kerutan di dahi Jingga semakin bertambah. Dia lalu mendekati kedua sahabat itu dan menyapa Rosa.
"Apa kabar, Rosa?"
Rosa tampak terpegun saat melihat kehadiran Jingga. Jingga meringis lalu menunjuk dadanya. "Jingga! Masak lupa?"
Mata Rosa membeliak, perlahan sudut bibirnya tersungging. "Jingga?"
Jingga balas tersenyum semringah. "Lama ya kita nggak ketemu."
"Astaga! Kamu berubah, kamu cantik sekali sekarang," puji Rosa.
Jingga tertawa. "Kamu masih tetap lebih cantik," ujarnya merendah.
"Ke mana aja kamu selama ini? Kenapa baru muncul sekarang?" tanya Rosa. Ekspresi dinginnya seketika mencair ketika mengobrol bersama Jingga.
"Ya, kamu tahu sendiri Papua jauh," kata Jingga sembari tertawa ringan.
Jingga menatap keresek putih milik Krisna di atas meja kasir. Kalau tidak salah dengar, benda itu tadi ingin diberikan Krisna pada Biru, tapi kenapa harus diberikan melalui Rosa? Karena penasaran gadis itu membuka keresek tersebut.
"Ini buat Biru?" tanya Jingga.
Jingga tercengung saat melihat benda dalam keresek putih itu. Sebuah mainan robot-robotan yang bisa berteriak "Fire!Fire!" seperti milik adiknya dulu.
"Apa ini? Memangnya Biru anak umur sepuluh tahun?"
"Itu bukan buat Samudra Biru teman kita, tapi untuk Langit Biru, anaknya Rosa," terang Krisna.
"Eh, Rosa sudah menikah?" Jingga langsung antusias.
Jingga teringat pada sosok anak laki-laki yang digandeng Rosa di pematang sawah kemarin. Pasti itu dia si Biru junior. Rosa hanya membalas dengan senyuman kecil.
"Sudah berapa tahun kamu menikah? Suamimu kerja di mana?" tanya Jingga menggebu-gebu.
Rosa masih mempertahankan senyumannya meskipun kini dia terlihat tidak nyaman. "Aku ... sudah bercerai," jawabnya.
Jingga tercengang mendengar jawaban Rosa itu. "Oh ... maaf," lirihnya canggung.
Jingga lalu menatap Krisna dan Rosa bergantian. Melihat situasi mereka yang tidak menyenangkan serta hadiah robot yang diberikan Krisna pada Rosa terbit spekulasi dalam benak Jingga. Jangan-jangan mantan suami Rosa itu Krisna!
"Cerai apanya!"
Sebuah suara merdu menyahut serta menginterupsi pembicaraan mereka. Seorang wanita cantik berkacamata tipis muncul dari balik rak sambil menyodorkan sebotol minuman isotonik, produksi pabrik tempat Jingga dan Krisna bekerja. Jingga menatap nanar wanita cantik berambut panjang itu. Sosok itu mengingatkannya pada seseorang.
"Kamu bahkan nggak nikah," tambah wanita itu disertai senyuman mengejeknya.
"Tutup mulutmu, Viola!" hardik Krisna.
Jingga membelalak. Matanya mengawasi wanita angkuh yang berdiri di hadapannya itu dengan gamang. Wanita itu balas menatap Jingga dengan seringaian sinis. Dia sungguh berbeda jauh dengan sosok sahabat Jingga sepuluh tahun lalu yang manis dan berhati lembut.
Mulut Jingga terbuka lalu memanggil nama teman baiknya itu dengan lirih. "Vio?"
Rosa mengambil botol pemberian Vio itu. "Hanya ini saja?" tanyanya.
Vio mengangguk. "Aku sebenarnya ke sini karena ingin melihat wajahmu yang penuh derita itu, kamu tahu, kan? Orang akan merasa lebih bahagia ketika melihat orang lain menderita." Vio bertutur sembari menyibakkan rambutnya dan tersenyum.
"Sudah kubilang hentikan, Vio!" Krisna menggeram sembari menggemertakkan gigi.
Rosa menunduk lalu mengetikan barcode-nya pada komputer di meja kasir. "Pakai kantung plastik?" tanya Rosa. Dia tampak berusaha mengabaikan celaan Vio.
"Nggak usah," sahut Vio.
Jingga mematung. Dia tak mengerti dengan situasi yang terjadi di antara teman-temannya ini. Ada apa sebenarnya? Kenapa mereka tampak seperti orang yang bermusuhan?
Rosa menyerahkan botol minuman itu pada Vio dengan ekspresi datar. "Terima kasih, sudah berbelanja di toko kami."
Vio kembali tersenyum sinis lalu menerima botol tersebut.
"Rosa, apa kamu harus diam saja menerima ejekan seperti ini?" tegur Krisna.
"Bukan urusanmu," tegas Rosa. Tatapannya serasa dingin dan menusuk ketika berhadapan dengan Krisna. Krisna tak dapat membalas perkataan Rosa tersebut.
"Tunggu sebentar!" Jingga akhirnya bersuara setelah sekian lama bergeming. "Tolong jelaskan padaku apa yang terjadi di sini? Kenapa kalian semua bersikap aneh seperti ini?" tanya Jingga.
Rosa dan Krisna tak menjawab, sementara Vio mengembangkan senyuman mengintimidasi.
"Bukankah sudah cukup jelas? Kita ini sekarang musuh, persahabatan kita sepuluh tahun lalu itu, hanya mimpi di musim panas." Vio melangkah keluar dari supermarket itu menuju mobilnya yang terparkir di luar.
Jingga tergemap. Dia tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Teman-temannya kini bermusuhan?
"Jika nggak ada yang ingin kalian beli, sebaiknya cepat pergi. Jangan ganggu pekerjaanku," kata Rosa. Wanita itu lalu menjauh dari meja kasir untuk mengisi rak-rak di deret sebelah selatan yang kosong dengan botol-botol shampo.
"Baiklah, aku akan datang lagi besok. Jika Biru memang nggak mau menerima hadiahku, silakan dibuang saja." Krisna berjalan keluar dari supermarket setelah menekan kalimat tersebut. Jingga tak punya pilihan lain kecuali mengikutinya.
***
"Apa benar sekarang ini kalian sudah putus hubungan?" tanya Jingga ketika dia sudah duduk di jok belakang motor Krisna menuju pabrik mereka.
Krisna melirik Jingga dari kaca spionnya. Mata gadis itu tampak sendu. Dia pasti sangat terpukul mengetahui teman-temannya kini sudah berubah drastis. Jarak dan waktu tak hanya memisahkan raga namun juga hati mereka.
"Hm." Krisna hanya menjawab dengan gumaman dan anggukan kecil.
"Bagaimana dengan Seta, Erwin dan Biru? Kamu juga bertengkar dengan mereka?"
"Bisa dibilang begitu," sahut Krisna sembari membelokkan setir menuju halaman parkir PT Otsuko. Dia lalu menghentikan motornya tepat di samping sepedah pancal milik Jingga.
Jingga turun dari motor Krisna lalu menatap mata cowok itu lekat-lekat. "Sejak kapan kalian jadi seperti ini? Apa yang menyebabkan kalian begini?" cerca Jingga.
Krisna menghela napas lalu membuang muka. "Sejak Biru meninggal."
Jingga membeliak. Degup jantungnya berpacu cepat, dadanya terasa nyeri, tubuhnya gemetaran. Dia berharap apa yang baru saja didengarnya itu salah.
"A-apa? Kamu bilang apa barusan?" tanya Jingga.
Krisna tergegap saat melihat ekspresi Jingga itu. Dia menatap Jingga dengan nanar. "Kamu ... kamu belum tahu?" tanya Krisna.
Krisna menghembuskan napas lagi kemudian berkata. "Biru sudah meninggal, sembilan tahun yang lalu."
Jingga merasa kakinya seketika melemas. Dia limbung dan jatuh ke tanah. Krisna terkejut dan segera berjongkok di sampingnya.
"Jingga, kamu nggak apa-apa?" tanya Krisna.
Jingga terdiam, tatapan matanya kosong. Bayang-bayang senyuman manis Biru yang sombong masih melekat pada ingatannya. Cara pemuda itu mengejek dan memanggil namanya masih terngiang di telinganya. Sentuhan lembut pemuda itu kala menggenggam tangannya masih terasa pada telapak tangan Jingga. Perlahan air mata mengalir dari pelupuk mata Jingga dan membasahi pipinya.
"Bohong ... bohong...." Jingga merintih disela isaknya. Bahu gadis itu bergetar hebat. Dia mencengkram lengan baju Krisna lalu memukuli sahabatnya itu berkali-kali. "Yang kamu katakan barusan itu bohong, kan? Katakan itu bohong!" hardik Jingga.
Krisna hanya terdiam. Dia tak tahu harus menjawab apa. Dia membiarkan Jingga meraung dan menangis di hadapannya.
***