Senjata Makan Tuan

2277 Words
Sepanjang perkuliahan berlangsung, Titan terus saja menatap Ammar tanpa berkedip. Luka yang sedikit perih pada lututnya menghilang begitu saja digantikan dengan debaran pada jantungnya. Dia tidak menyangka jika Dosen tamu yang mengajar kelasnya hari ini adalah Om Dudanya. Kalau Titan tahu sejak awal dia akan mempersiapkan penampilan terbaiknya untuk mengikuti perkuliahan hari ini. “Dari tadi senyum terus. Terpesona sama Dosen tamu, eh? Tumben kamu tergoda dengan Pria tampan.” Namira menyenggol lengan sahabatnya. “Pesona Om Duda memang tiada tandingannya,” ucap Titan. “Maksud kamu, Pak Dosen Duda?” tanya Ellyana penasaran. Titan mengangguk. “Nanti selesai kuliah aku cerita sama kalian. Sekarang ini lebih baik kita serap ilmu dari Pak Ammar dan nikmati wajah tampannya.” Kedua sahabat Titan mengangguk. Mereka itu meskipun gadis bar-bar dan selalu heboh, jika soal kecerdasan tidak ada yang bisa mengalahkannya. Ketiganya setiap tahun selalu mengikuti olimpiade untuk mewakili kampus tercinta mereka. Perkuliahan berjalan dengan lancar. Ammar sangat pandai menjelaskan materi. Tidak ada satupun mahasiswa yang tidak memperhatikannya. Meskipun, ada beberapa mahasiswa yang memperhatikan karena pesona ketampanannya bukan karena materi yang dia sampaikan. “Rasanya baru 10 menit duduk kenapa sudah selesai saja perkuliahannya? Pengen nambah lagi!” seru Namira. “Dosennya bikin betah. Kamu lihat saja, di kelas ini tidak ada yang menguap sama sekali. Selama 2 jam penuh mata mereka melotot terus ke arah depan,” saut Ellyana. Titan memasukkan semua barang bawaannya ke dalam tas. Lututnya terluka sedikit nyeri ketika kakinya diluruskan. “Masih sakit?” tanya Namira. “Kelamaan di buat duduk lumayan nyeri saat aku luruskan.” “Digerakkan pelan-pelan dulu, Tan. Jangan langsung berdiri.” “Iya, Nam-Nam.” Ellyana berjongkok di depan Titan. Dia ingin melihat keadaan lutut sahabatnya. “Sampai memar begini, pantesan nyeri.” “Kebentur lantai cukup keras pasti,” saut Namira. “Kalau nggak keburu Bu Rieka datang sudah aku jambak itu putri kampus.” “Iya, aku juga kesal. Selalu saja mengganggu Titan. Padahal dia ‘kan sudah jadian sama Kak Erik, ngapain juga masih pakai acara cemburu buta.” Ellyana bersungut-sungut dengan mengelus lutut Titan. Titan mencoba berdiri dengan pelan. Nyeri yang dia rasakan sudah mulai berkurang. “Biarin sajalah namanya juga kurang waras,” ucapnya. “Pulang yuk, keburu perpustakaan tutup nanti.” Kedua sahabat Titan mengangguk. Mereka membantu gadis manis itu berjalan menuju ke parkiran mobil. Sepanjang perjalanan menuju ke perpustakaan ketiga sahabat itu membicarakan judul skripsi yang akan mereka ajukan pada semester depan. Karena sebentar lagi akan magang, pasti waktu untuk mereka bertemu akan semakin sulit. “Oh, iya. Kamu belum menjelaskan siapa itu Pak Ammar. Kok mau bisa kenal sama dia?” tanya Ellyana. Titan duduk di belakang sedikit memajukan badannya. “Nam-nam, Liliput kalian jangan sampai terkena serangan jantung saat aku menjelaskan siapa Pak Ammar.” Titan sedikit terkekeh mendengar sahabatnya mendengkur. “Pak Ammar itu klien Papa Love.” “What?” “Serius?” Seru keduanya. Dunia memang sangat sempit. Bisa-bisanya klien Papa Titan menjadi dosen tamu yang mengajar perkuliahan hari ini. Tidak akan ada yang menyangka jika Ammar adalah seorang calon duda. Kalau dilihat dari segi wajah dia masih seperti umur di bawah 30 tahun. “Hmmm ... aku tuh waktu pertama kali bertemu sama Pak Ammar langsung terpesona. Sampai nggak bisa mengalihkan pandangan dari wajah tampannya. Saat dia menjelaskan permasalahan rumah tangganya sama Papa Love, kelihatan sexy.” “Kamu pasti kecentilan di depan Pak Ammar ya?” tuduh Namira. “Ya, enggak lah. Mana mungkin aku berani centil di depan Papa Love! Bisa langsung di jewer sampai putus telingaku.” Ellyana melihat ke arah belakang agar bisa melihat Titan dengan jelas. “Terus kamu memutuskan untuk mengejar Pak Ammar?” Titan tersenyum, dia mengangkat kedua jempolnya. “Liliput memang pandai menebak.” “Setelah pertemuan pertama, berarti hari ini pertemuan kedua kalian?” “Nggak, Li. Mungkin kami berdua sudah ditakdirkan berjodoh. Waktu aku pergi cafe setelah berkunjung ke rumah Mama. Pak Ammar ternyata ada di sana bersama dengan sekretarisnya.” “Wow ...” teriak Namira sedang fokus menyetir. “Kok bisa sih? Rejeki anak sholehot ye ‘kan?” “Hmm, kalau jodoh nggak kemana,” Jawab Titan. “Kamu panggilnya Om Duda? Memangnya Pak Ammar nggak marah?” “Mana mungkin dia mau marah, Li. Orangnya saja cuek sama aku. Kayak nggak menganggap aku ada saat bertemu. Cuek sekali!” “Oh, iya.” Ellyana kembali menoleh ke belakang. “Pak Ammar bercerai karena apa?” “Pastinya aku sih enggak tahu, soalnya itu rahasia klien Papa Love. Tapi, yang aku tangkap saat mereka mendiskusikan soal harta gono-gini. Sepertinya, Pak Ammar bersikukuh mau bercerai.” Sebenarnya, Titan sudah mengetahui penyebab Ammar bercerai. Dia tidak mau mengatakan pada sahabatnya. Karena menurutnya itu adalah privasi Ammar. “Seperti apa ya istrinya? Pasti cantik. Secara vibes Pak Ammar enggak kaleng-kaleng.” “Aku juga belum tahu, Li. Kayak apa mantan istrinya. Nanti aku cari tahu deh dari Papa Love. Siapa tahu beliau mau kasih sedikit informasi.” Perjalanan menuju ke perpustakaan meskipun macet tidak membuat ketiga gadis itu merasa bosan. Mereka menggosipkan dosen tamu hari ini dengan asiknya. Sepertinya, Ammar akan cegukan karena terus saja menjadi buah bibir. Sesampainya di perpustakaan. Titan pamit untuk membeli minum dan camilan terlebih dulu. Kedua sahabatnya dia minta untuk mencari tempat dan buku yang diperlukan. Gerai minimarket berada tepat di sebelah perpus jadi dia tidak butuh waktu lama untuk belanja. “Lah, kita bertemu lagi. Astaga, benar-benar jodoh kita!” “Kamu ngapain di sini?” “Belanja.” Titan mengangkat keranjang berisi minuman dan snack. “Bukannya rumahmu jauh dari sini?” Titan mengangguk. “Iya, Om. Memang benar.” “Terus kenapa kamu bisa sampai ke sini?” “Om Duda perhatian banget sama Titan,” ucap gadis manis itu dengan mengulum senyum. “Titan mau ke perpustakaan. Ini beli minum sama snack buat teman cari tugas.” Ammar menganggukkan kepala. Sudah gilirannya untuk membayar belanjaannya. Setelah selesai dia langsung pergi begitu saja tanpa berpamitan dengan Titan. “Titan ...” Namira dan Ellyana melambaikan tangan saat melihat Titan sedang mencari mereka. “Kenapa tempatnya di pojok sekali?” Ellyana sedikit bergeser agar Titan dapat duduk di sebelahnya. “Di Sana sudah penuh semua. Enggak bakal nyaman kalau duduk di tempat biasa.” “Nih pilih sendiri snack dan minuman yang kalian suka.” Titan menaruh Snack di atas meja. Kedua sahabatnya langsung mengambil snack dan minuman. Setelah itu, mereka akan mendiskusikan judul yang sudah dibuat masing-masing. “Jadi kalau aku ambil tema seperti ini nanti waktu pengerjaannya akan sedikit sulit ya?” tanya Titan. “Menurut aku sih begitu, Tan. Kalau menurut Nam-Nam bagaimana?” “Aku setuju sama Liliput. Kalau kamu ambil tema itu, skripsi akan kamu buat sepertinya akan menjadi yang terbaik. Tapi, sampel yang kamu butuhkan terlalu luas. Pasti membutuhkan waktu cukup lama dalam proses pengerjaannya.” Titan menimang-nimang lagi saran yang diberikan oleh kedua sahabatnya. Kalau dia ingin lulus dengan cepat memang harus berada di zona aman. Tapi Titan tetap ingin mengambil judul dengan tema yang sudah dibuatnya. “Kalau aku tetap pakai judul itu bagaimana? Hati kecilku berkata jika aku bisa menyelesaikannya tepat waktu.” “Gak ada masalah. Yang penting kamu serius dalam proses pengerjaannya. Gak boleh mengeluh ya! Jika butuh bantuan bilang saja, sebisa mungkin kita akan membantu.” Namira mengangguk, setuju dengan apa yang dikatakan oleh Ellyana. “Kita belum tahu siapa dosen pembimbing kita nanti. Jadi, tetap persiapkan sematang mungkin. Syukur-syukur dapat dosen baik hati dan tidak suka mempersulit mahasiswa yang sedang skripsi.” “Oh, iya. Aku dengar kemarin akan ada dosen baru. Namun, hanya mengajar di semester akhir saja,” ucap Ellyana. “Biasanya kalau dosen baru akan mengajar semester awal. Tumben banget yang diajar hanya semester akhir,” jawab Titan. “Liliput memangnya dengar dari mana? Aku sama Titan enggak dengar gosip itu?” “Kemarin waktu aku nganterin tugas ke ruang dosen. Kepala program studi sedang berbincang sama wakilnya. Pas lewat aku gak sengaja dengar.” Titan dan Namira mengangguk secara bersama. Mereka tidak terlalu mementingkan soal gosip beredar di kampus. Jadinya, akan selalu ketinggalan updated berita terbaru. Selesai mendiskusikan soal judul skripsi yang akan mereka ajukan. Ketiga gadis itu pergi dari perpustakaan menuju ke cafe milik Titan. Mereka akan makan malam, selain itu Papa Titan sudah menunggu anak gadisnya di sana. “Astaga, kenapa dalam sehari aku bertemu dengan Om Duda sampai 3 kali? Benar-benar jodoh dari yang maha kuasa!” seru Titan. Namira pamit ke toilet, sekarang ini Titan hanya bersama dengan Ellyana menuju ke meja yang sudah disiapkan oleh Papanya. “Kok 3 sih? Bukannya 2 kali ini?” “Aku lupa tadi mau cerita.” “Apa?” “Waktu di minimarket tidak sengaja aku bertemu dengan Pak Ammar.” “Benarkah?” “Hmmm ... jodoh dunia akhirat. Tidak perlu mencari tapi selalu di pertemukan.” Ellyana memutar bola mata, sahabatnya sangat berlebihan. Sejak dia mengenal Titan baru kali ini dia tertarik dengan seorang Pria. Sekalinya jatuh cinta, Titan malah mencintai seorang Duda sudah berumur. “Selamat malam, Pa.” “Selamat malam, Sayang.” Titan dan Ellyana menyalami Ihsan. Keduanya hanya menyapa Ammar yang sedang duduk di depan Papa Titan. Awalnya, Ellyana akan duduk satu meja dengan Ihsan, namun Titan malah menyeretnya ke meja sebelahnya. “Kok pindah sih? Kata Papa Ihsan ‘kan kita duduk di sana,” tunjuk Ellyana pada meja sebelah. “Gak enak ada Pak Ammar. Nanti kita malah ganggu. Pasti dia akan sungkan bercerita jika ada orang asing di dekatnya.” “Benar juga sih. Tapi ‘kan aku kepo, penasaran kenapa dia bisa bercerai dengan istrinya.” “Husstt, jangan keras-keras. Nanti dia dengar!” Titan mengajak sahabatnya makan malam lebih dulu karena Papanya masih melakukan diskusi dengan Ammar. Sepanjang makan malam berlangsung ketiga gadis itu membicarakan soal magang yang akan mereka lakukan pada semester depan. “Jadi kamu sudah kirim CV ke perusahaan itu?” Titan menggeleng, dia menelan makanan yang ada di mulutnya lebih dulu sebelum menjawab. “Rencananya besok aku mau langsung datang ke sana. Sekalian mau lihat suasa kantornya.” “Sebenarnya aku ingin magang di sana juga, tapi takut nggak diterima,” ucap Namira. Ellyana juga mengangguk. “Sama, aku juga ingin. Tapi Mama bilang kalau daftar di sana susah.” “Kalian ini! masak belum dicoba sudah pesimis begitu sih.” “Lah, kamu punya kapasitas otak besar, Tan. Kalau kami mah kapasitas sederhana. Iya ‘kan Li?” “Betul, sepertinya kamu bakal di terima magang di sana, Tan. Aku dan Liliput akan magang menggunakan bantuan orang dalam saja.” Titan berdecak kemudian tertawa. Sahabatnya memang tidak pernah jaim sedikitpun padanya. Ellyana akan magang di perusahaan orang tua Namira. Sebaliknya, Namira akan magang di perusahaan orang tua Ellyana. Titan paling anti magang di perusahaan orang tuanya maupun orang tua sahabatnya. Dia malas diperlakukan begitu baik karena mengenal Ihsan sebagai Papanya. Titan ingin benar-benar magang tanpa bantuan koneksi orang dalam. Selesai makan malam, kedua sahabatnya pamit pulang. Sementara Ihsan pergi ke toilet. Kini dia sedang berada di satu meja dengan Ammar yang sedang meminum kopinya. “Lututmu bagaimana?” “Sudah sembuh.” “Secepat itu?” Titan mengangguk. “Lagian cuman lecet sedikit.” Dia tersenyum manis ke arah Ammar. “Terima kasih sudah perhatian sama Titan, Om.” Ammar mendengkus. “Saya hanya bertanya.” Bukan Titan namanya kalau tidak iseng dengan Pria di depannya. Kesempatan emas baginya tidak akan dibiarkan berlalu begitu saja. “Om Duda ternyata sering jadi dosen tamu ya? Kenapa nggak sekalian saja jadi dosen tetap?” “Nggak ada waktu.” “Memangnya Om Duda bekerja di perusahaan mana?” “Kenapa?” “Titan tuh sedang mencari tempat magang. Siapa tahu di perusahaan Om Duda ada lowongan.” “Gak ada. Lagi pula walaupun sedang menerima anak magang sepertinya kamu tidak akan masuk kualifikasi.” “Ye ... jangan ragukan kemampuan Titan, Om. Meskipun serampangan begini Titan termasuk mahasiswa cerdas.” Sombongnya dengan terkekeh. “Mana ada mahasiswa cerdas bertengkar di dalam kelas?!” sindir Ammar. Titan mencebikkan bibirnya. “Bukan Titan yang mulai duluan. Putri kampus itu yang bikin gara- gara terus!” “Kamu rebut pacarnya?” “Idih ... gak mungkin lah! Bukan tipe aku.” Titan memajukan sedikit kursinya. “Kalau pacar Putri kampus kayak Om Duda bisa lah Titan pertimbangkan,” bisiknya dengan menaik turunkan kedua alisnya. “Titan, stop panggil aku Om Duda. Meskipun sebentar lagi aku akan menjadi Duda tapi aku punya nama!” Titan tertawa terbahak. Wajah Ammar tiba-tiba serius sangat menggemaskan sekali di matanya. Membuatnya ingin mencubit kedua pipinya. “Lucu banget sih, pengen Titan cium!” serunya dengan mengedipkan mata jahil ke arah Ammar. “Kamu pengen cium siapa, Sayang?!” Titan terlonjak kaget saat mendengar pertanyaan dari Papanya. Dia tidak sadar jika Ihsan sudah berada di belakangnya. “Hah ... nggak, Pa.” Titan memutar otak mencari alasan. “Ini loh, Titan lagi nonton drakor. Ganteng banget pengen Titan Cium,” tunjuknya pada layar ponsel. “Bohong. Dia bukan ingin mencium ponselnya, Om. Melainkan ...” “Ah ... Papa Love, Titan sudah mengantuk? Ayo kita pulang sekarang,” saut Titan. Dia menatap Ammar penuh permohonan. “Masih ada Om Ammar. Tunggu sebentar lagi ya. Apa mau istirahat di ruangan Papa dulu? Nanti Papa gendong kalau ketiduran.” Titan menggelengkan kepala. Bahaya kalau dia meninggalkan Papanya dengan Ammar. Bisa-bisa Om Dudanya mengadukan kelakuan jahilnya barusan. “Titan tunggu di sini saja.” “Tadi Nak Ammar mau bilang apa?” tanya Ihsan ketika sudah duduk. Kedua mata Titan membola. Dia melihat ke arah Ammar yang sudah tersenyum miring ke arahnya. ‘Mampus, ketahuan Papa!’ serunya dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD