Echa salah kalau berharap harinya akan tenang. Hahaha. Sekalipun jauh, Ferril masih menyapanya dengan sapaan yang sungguh sangat ia hapal. Tapi ia tak pernah membalasnya. Gadis itu malah menaruh ponselnya lalu bersegera keluar dari kamar Nabila. Gadis itu sudah sibuk di dapur. Hanya membantu si bibi untuk memindahkan lauk-pauk ke meja makan.
"Pagi, Omaa," sapanya pada Oma gaulnya Nabila. Si Oma terkekeh dan menjawab sapaannya. Perempuan itu masih terlihat bugar namun jalan sedikit sudah lelah.
Echa ikut membantu menyusun piring dan sarapan dimulai tak lama setelah itu. Jujur saja, Oma paling suka kalau Nabila membawa teman-temannya. Ia berasa punya teman. Nabila sudah menitip pesan pada Omanya untuk tak menanyakan soal pekerjaan pada Echa. Hal itu masih sangat sensitif. Nabila hanya ingin menjaga perasaan Echa. Setidaknya dengan datang ke sini, mereka bisa bersantai. Kalau sudah kembali ke Depok, Nabila yakin kalau Echa mungkin akan kehilangan semangatnya lagi. Apalagi kalau sudah menjelang akhir bulan. Karena gadis itu harus kembali merelakan uangnya untuk dikirim ke kampung halaman.
Usai sarapan, Nabila mengajaknya ke kebun teh Omanya. Hanya berdua. Nabila mengendarai mobil mini milik Oma. Dan mereka mengademkan jiwa di kebun teh begitu sampai di sana. Tak ada yang dilakukan selain duduk dan berbicara.
"Apa rencana lo setelah ini?"
Echa mengendikan bahu. Ia sudah melakukan banyak hal. Dari usah Subuh, ia mengirim banyak lamaran. Ia juga menunggu pertanda kemungkinan kedatangan murid baru. Namun masih belum ada. Tak apa, mungkin bukan rezekinya.
"Seorang Echa gak punya rencana itu aneh. Waktu lo memutuskan untuk keluar saja, lo udah kelihatan yakin dengan jalan yang lo ambil."
"Itu karena gue belum mengukur dampaknya. Gue gak pernah mengira kalau Bos akan melakukan hal sejahat itu. Lo inget kan, dia masih ngunci hak kita ditambah dia menutup semua akses kita untuk mencari pekerjaan di bidang ini. Lalu pesangon kita juga dihanguskan. Padahal kalo gue hitung-hitung, gue bisa hidup setidaknya untuk dua tahun dengan pesangon itu. Sekarang? Gue masih ada uang. Tapi ketar-ketir karena semua menjadi gak pasti begini, Bil."
Banyak hal yang ia pikirkan. Bukan urusan hidupnya yang sebetulnya lebih banyak ia pikir kan. Melainkan? Hidup orangtuanya. Haaah. Andai hidupnya senormal anak-anak lain diusinya atau mungkin memiliki orangtua yang lebih baik? Sialnya ia tak bisa memilih untuk dilahirkan dari orangtua yang mana. Bukannya ia tak bersyukur. Ia hanya merasa marah dan kesal hati setiap ingat hal ini.
Nabila mengangguk-angguk. "Nerima pekerjaan dari Ferril jelas bukan jalan untuk lo ya?"
Echa terkekeh. Bukan kah jawabannya sudah sangat jelas? Ia tak mau tergantung pada lelaki itu.
"Itu hanya akan membuat gue terus terperangkap, Bil. Dan pada akhirnya gue hanya berada di samping dia. Gue lebih kasihan sama dia kalau harus berdampingan dengan seseorang yang bahkan gak bisa mencintai dia."
Nabila mengangguk-angguk, ia mengerti perasaannya. Ia berbicara jujur saja. Kalau jahat dan matre, ia sudah lama menghabisi Ferril. Ia habiskan uangnya. Ia cintai dnegan kebohongan. Ya kan? Tapi sayangnya, Echa tak bisa berlaku sejahat itu. Sama sekali tak bisa.
"Gue hanya gak mau melukai seseorang yang udah sangat baik pada gue. Dia berhak mendapat perempuan di luar sana yang lebuh baik dan rela buat ngantri untuk dapetin dia. Dibanding bertahan sama gue yang gak akan pernah ngasih kesempatan."
"Lo udah pikirin hal ini matang-matang?"
Echa mengangguk-angguk. "Yang jadi masalah adalah tuh orang gak pernah nyerah."
Nabila terbahak. Ia juga sudah tahu. Ferril tidak akan pernah mendengar. Lelaki itu selalu memenangkan pikirannya sendiri. Terlalu percaya diri. Mungkin itu rumusnya hingga bisa bertahan sampai sekarang. Nabila merasa takjub juga akan kepercayaan diri itu. Tapi mungkin memang harus begitu kalau berhadapan dengan sahabatnya ini. Segala hal tak terasa mudah bagi Ferril. Pembelajaran yang sangat bagus untuk playboy sepertinya. Agar tak menyamaratakan semua perempuan. Kesempurnaan bukan kunci.
"Dan ketika lo akan ngomong itu, lo bisa memperkirakan gimana reaksi dia?"
Echa mengangguk mantap.
"Gimana reaksinya?"
Ia menghela nafas. "Bukan kah sudah jelas, Bil?"
Ia terdengar frustasi. Nabila kembali menyemburkan tawa. Ini jelas frustasi. Karena Echa sudah sangat sering melakukan ini tapi tak memberikan efek apapun.
"Ferril tuh cuma kepengen satu hal sama lo."
"Apa?"
"Nyoba jalanin hubungan dulu sama dia. Itu yang dia pengenin."
Echa mendengus. "Dan lo tahu apa yang terjadi selanjutnya?"
Nabila terbahak. Ia tahu apa yang ada di dalam kepala Echa.
"Dia semakin gak akan pernah lepasin gue."
"Romantis kan?"
Ia mendengus lagi. Di bagian mana yang romantis? Itu namanya bucin, posesif, dan gila!
"Keren kali, Cha," Nabila terkekeh. "Coba dipikir lagi. Di mana lagi lo bisa dapetin cowok kayak Ferril?"
Echa menarik nafas dalam. Ya kalau dipikir dari sisi itu, Nabila memang ada benarnya. Namun tetap saja...penolakan keras itu selalu muncul.
"Gue gak mengharapkan hal semacam itu sekarang, Bil."
Ia hanya butuh uang untuk hidupnya sekarang. Bukannya menghamba uang tapi memang itu lah kenyataannya. Ia sedang berusaha keras untuk mendapatkan hal itu. Ini jelas terdengar menyedihkan. Namun ia telah berusaha keras untuk hidupnya kini.
Nabila tersenyum tipis. "Ini yang dinamakan hidup ya? Mengejar apa yang tidak ada. Mencari apa yang belum ditemukan."
"Kebutuhan akan selalu ada. Keinginan pasti lebih banyak. Tapi kebutuhan yang mencekik lebih darurat."
Nabila terkekeh. "Gue kepengen ketawa aja. Dari sekian tahun, obrolan kita masih tentang mimpi bukan tentang pernikahan."
Echa tertawa. Memang benar. Rasanya benar-benar jauh dari situ. "Kadang terbersit kalau itu adalah sesuatu yang gak mungkin buat gue."
"Tapi katanya gak ada yang mustahil di dunia ini."
Echa mengangguk-angguk.
@@@
Inspeksi ketat jelas dilakukan. Pekerjaan itu dijadwal ulang lebih cepat dan pihak Swastika Eka Graha menyanggupinya dengan cepat tanpa tahu kalau ini adalah jebakan. Mungkin kasus ini hanya akan menjadi internal perusahaan. Tapi Ferril akan menyuarakan kasus ini hingga ke luar. Seperti apa yang bos perusahaan itu lakukan, yaitu menutup segala akses Echa dan Nabila untuk mendapatkan pekerjaan, maka Ferril pun sama. Mereka berencana untuk menutup aksesnya dalam meraih keuntungan. Cara-cara kotor untuk mendapatkan uang harus dihentikan dengan segera.
"Ada dendam pribadi apa?"
Tahu-tahu Farrel muncul. Mungkin merasa aneh dengan tindakan Ferril pada sebuah konsultan menengah biasa. Tapi sikapnya seperti menghadapi musuh besar perusahaan atau pesaing bisnis yang sangat berbahaya.
Lelaki itu mengambil duduk di kursi. Ferril menghela nafas. "Mungkin terdengar sepele. Tapi gue yakin kalo terdengar kakak ipar, dia juga akan setuju dengan apa yang gue lakukan ini."
"Ada hubungan apa dengan Fara?"
Ferril terkekeh. "Hubungan erat. Persoalan cinta, lingkungan, dan kehidupan."
Farrel mengangguk-angguk. Langsung paham. "Lalu kenapa Swastika? Bukannya kita yang mengundang mereka untuk masuk ke dalam perusahaan?"
"Abang sudah mendengar siapa dalang yang membawanya?"
"Pak Danu?"
"Lelaki yang pernah suka sama Bunda tapi jangan bilang Papa."
Farrel terkekeh. Ia langsung paham. "Lalu?"
"Sepertinya kongkalingkong dengan pemilik perusahaan itu. Dana yang diminta ke perusahaan kita sangat besar. Hampir lima miliar hanya untuk uji lingkungan di sebuah cabang dan kantor pusat. Sampai saat ini, yang dibayar baru 500 juta untuk pengukuran di kantor pusat di beberapa kota besar. Sesuai perjanjiannya memang harus uang muka dibayar setengah dari total biaya. Nah, uang itu, sepersekian persen masuk ke rekeningnya sebagai ucapan terima kasih karena telah memenangkan perusahaannya untuk tender di perusahaan kita."
Farrel mengangguk-angguk. Perusahaan mereka sudah cukup ketat dalam penyelenggaraan tender dan memutuskan pemenangnya. Namun jika sampai menang begini, itu pertanda kalau ada konspirasi besar dibaliknya.
"Saat gue cek, salah satu penilai tender itu memang beliau. Ditambah satu lagi Pak Aryo. Beliau juga dapat remisi. Gue gak tahu berapa jumlahnya. Tapi kebayangkan? Mereka bisa dapat ratusan juta untuk proyek ini. Berarti pada pengukuran sebelumnya pun sama."
"Pengukuran enam bulan lalu?"
Ferril mengangguk-angguk. "Kita mengukur itu untuk kenyamanan dan keselamatan karyawan bekerja dan juga lingkungan masyarakat di sekitar perusahaan. Ini investasi untuk masa depan supaya cicit-cicit masih bisa menikmati udara segar. Tapi kalau pengukurannya tidak menggunakan prosedur yang benar, tenaga kerja yang tidak terkualifikasi, dan terindikasi penipuan bahkan pemalsuan data, apa yang terjadi ke depan nanti?"
Farrel makin paham. Ternyata kerisauannya memang sama dengan apa yang mungkin akan dipikirkan istrinya tentang hal ini. Ia mengangguk-angguk.
"Lantas rencana lo?"
"Gue minta uji lingkungan dilakukan hari ini di kantor ini. Gus mau lihat bagaimana persiapan mereka besok-besok dan bagaimana mereka berusaha menyempurnakan apa yang selama ini mereka hanya tutupi tanpa memperbaiki."
Farrel menahan senyum. Sebetulnya ia malah ingin tertawa melihat Ferril begitu serius saat ini. Tanpa tahu kalau memang ada motif dibaliknya. Bagaimana pun motif perasaan sepenanggungan dengan Echa sudah mendarah daging padanya.
"Jalan kan saja kalau begitu," tuturnya lantas beranjak dari sofa. Urusannya bukan di sini sebetulnya.
"Lo datang ke sini cuma mau nanya beginian?"
Farrel mengangguk. Lelaki itu sudah keluar. Ferril geleng-geleng kepala. Padahal ia belum selesai dengan orasinya yang mendadak cinta lingkungan. Hahaha.
Ia mengangkat kedua kaki di atas meja. Lalu meluruskannya seperti biasa. Kemudian mengeluarkan ponsel. Ini sudah jam dua siang. Waktu makan siang sudah jelas lewat. Ia hanya ingin tahu apa yang dilakukan Echa. Tapi kalau bertanya pada orangnya langsung, tentu saja tak akan dibalas.
"Lo di mana? Lagi bareng Echa gak?"
Nabila langsung menyemburkan tawa. Echa melotot. Padahal ia sudah mengatakan pada Nabila untuk mengangkat telepon itu. Tapi kalau patuh namanya bukan Nabila. Mereka sedang berada di sebuah saung yang ada di tengah-tengah kebun teh. Makan siang sudah disediakan para pembantu Nabila yang datang dari rumah dan membawa makanan untuk mereka nikmati di tengah-tengah kebun teh ini.
Nabila sengaja menukar mode panggilan itu menjadi panggilan video. Hal yang tentu saja membuat Ferril heran. Ketika videonya muncul, senyumnya sangat lebar. Benar-benar lebar. Hahaha. Karena wajah Echa sedang cemberut dan sesekali melotot itu menjadi hiburannya. Namun begitu melihat ke arah kehijauan yang ada di belakang Echa, jelas bukan berada di apartemen Nabila seperti biasa.
"Lagi di mana?"
"Tebak doong di mana!"
Echa mendengus. Jelas ia sebal. Hahaha. Tapi mau bagaimana lagi? Selama ia didekati Ferril, tak satupun yang berada di pihaknya. Semuanya kompak berada di pihak Ferril. Ia juga bingung kenapa Ferril bisa meraih hati semua orang yang berada di dekatnya? Tapi hatinya sama sekali tidak. Eeeh!
"Bandung?"
Ia langsung menebak dengan jitu. Yaa di mana lagi kalau bukan di Bandung jika urusannya dengan Nabila? Kalau di Jakarta jelas tak ada pemandangan semacam itu. Kecuali kalau ke Bogor. Namun yang ini pemandangannya jauh lebih asri dan kebun tehnya tampak luas.
"Lagi liburan? Kok gak bilang?"
Nabila terbahak. "Ngapain kita bilang-bilang sama lo?"
"Ya kan ajak gue sekali-kali."
"Halaah. Paling entar lo datang tanpa diundang."
Ferril terkekeh. Biasanya memang begitu. Ia gemar menyusul Echa di mana pun berada. Modus utamanya hanya lah mendekati Echa. Tidak ada hal lain.
"Beeyb!" panggilnya. Echa langsung mendengus. Nabila sampai cekikikan. Suka sekali dengan reaksi Echa yang selalu jutek begitu. Lucu saja. Sementara Ferril malah gemas melihat wajah cemberutnya. Hahaha. Alih-alih tersinggung karena ditolak secara langsung dan terlalu blak-blakan. Ia menyukai sisi manapun dari Echa tiap gadis itu menolaknya. "Cakep, Beyb! Aku nyusul ya?"
Tentu saja tak ada jawaban. Echa memalingkan wajahnya. Hanya Nabila yang menyahut dan mengiyakan. Menurutnya, itu terserah Ferril apakah ia akan datang atau tidak.
"Dalam rangka apa, Bil? Cuma sekedar liburan?"
Ia mengalihkan pembicaraan. Kamera Nabila tentu saja masih mengarah pada Echa yang kini tampak makan. Kali ini ia tak sadar kalau dijadikan objek rekaman. Nabila sengaja menaruh ponselnya dengan menopangkan badan ponsel pada sisi gelas dan mengarahkan kamera ke arah Echa.
"Masih dalam kasus yang sama, Ril. Beberapa hari kemarin, kita nemu hasil penelitian dari peneliti asing tentang salah satu sungai yang tercemar oleh limbah tekstil perusahaan. Hasilnya tentu melewati baku mutu atau standar lingkungan berdasarkan peraturan. Dan perusahaan yang diduga melakukan pencemaran itu tentunya klien-klien kita."
Ferril mengangguk. Sudah tentu bisa menebak.
"Hari ini ada pengukuran dari kantor kalian ke kantor gue."
Nabila langsung terbatuk-batuk. Echa langsung tertarik saat mendengarnya. Ferril berbicara dengan sangat serius kali ini.
"Kira-kira apa yang harus dicek?"
"Chaaa!"
Nabila memanggil. Echa menghela nafas. Mau tak mau ia menjawab.
"Keahlian harus bersertifikat, peralatan harus lengkap dan tersertifikasi, peralatan juga harus memadai dan memenuhi standar, peralatan keselamatan juga sama."
Ferril tersenyum kecil. Hal yang membuatnya semakin lebar tersenyum adalah karena bisa melihat wajah Echa.
"Beyb, aku ke bawah dulu mau lihat hasilnya. Mau dengar gak?"
Ia langsung menawarkan diri. Ia beranjak membawa ponselnya dan dengan percaya diri mengamerakan diri dengan ganteng. Ala-ala yang sedang merekam video selfie. Hal yang tentu saja menjadi bahan tawa pada karyawan. Tapi demi cinta tak masalah. Apalagi kalau terlihat ganteng. Echa tak mendengus kali ini. Ia terpaksa mengambil ponsel Nabila dan memutar kameranya. Dalam sekejab menyesal karena melihat wajah Ferril dengan teramat dekat. Nabila yang baru duduk di sebelahnya tertawa melihat itu. Ferril kan memang narsis sekali.
"Siang, beyb," sapanya sambil memainkan mata. Echa hanya berdeham dan Nabila terkikik-kikik. Reaksinya menang selalu begitu kalau melihat kelakuan Ferril dan Echa.
"Yang ngukur jadi?"
"Mereka masih tertahan di depan, Pak."
Echa mendengar percakapan itu. Ferril mengangguk-angguk.
"Sudah berjalan berapa lama?"
Salah satu staf lingkungan langsung mendampinginya. Omong-omong Ferril keren juga. Hahaha. Kata-kata terlintas begitu saja dibenaknya dan Echa mati-matian menghapusnya. Hahaha.
"Hampir satu jam, Pak."
"Banyak kendala?"
Ia mengangguk. "Kami melakukan pengecekan alat dan perlengkapan tapi tidak memenuhi syarat."
"Kalau begitu kenapa masih ditahan? Suruh pulang saja."
Si staf lingkungan langsung mengangguk. Ferril menghentikan langkah. Ia berdiri agak jauh dari rombongan tim sampling dari mantan perusahaan Echa dan Nabila yang masih tertahan. Ia benar-benar mengerahkan tenaga untuk hal ini.
"Lihat kan, Beyb?"
Echa mengangguk. Tak bisa menyangkalnya. Nabila masih terkekeh. Ia suka reaksi Echa yang agak gengsi kalau Ferril ada kemajuan seperti ini. Ia puas kok dengan apa yang dilakukan Ferril.
"Aku berencana untuk speak up, Beyb. Tapi akan lihat bagaimana progresnya. Orang yang dijanjikan memang sudah sesuai dengan daftar nama yang mereka berikan. Kira-kira masih ada kemungkinan celahnya, Beyb?"
Echa mengangguk. "Biasanya Bos akan menyewa orang dari perusahaan lain yang sudah ahli dan bersertifikasi. Alat-alat juga begitu. Mereka akan langsung meminjam. Sehingga memberi kesan kalau pengukuran lingkungan di perusahaan sudah memenuhi syarat. Namun dalam analisanya belum tentu."
"Lalu bagaimana mengatasinya?"
Echa mengangkat sebelah alisnya. "Yakin mau lakuin?"
"Apa sih yang gak buat kamu, Beyb?"
Ia memainkan matanya. Nabila terbahak. Echa mendengus. "Besok kirim juga tim dan tempatin di lokasi yang sama. Jangan hanya satu lab tapi lebih. Lo berani ngelakuin itu?"
"Gak masalah, Beyb. Meski harus ngasih hartaku untuk dunia, gak apa-apa demi kamu."
Nabila terpingkal-pingkal. Ia benar-benar terhibur dengan hal ini. Echa kembali mendengus. Meski sudah biasa digombali. Hahaha.
"Dengar nih, Beyb. Rom!" ia memanggil staf lingkungan tadi. "Hubungi lab yang kredibel untuk mengukur uji lingkungan bersama mereka besok pagi. Tapi rahasiakan nama labnya dari mereka dan jangan saling tahu. Jalin kerja sama secepat mungkin."
Rome mengangguk. Lelaki itu segera berlari karena ini genting sekali. Ferril kembali beralih pada ponselnya dan mengharapkan wajah pada Echa dengan senyuman termanisndi sepanjang masa.
"Jadi, aku boleh nyusul kan, Beyb?"
Echa menghela nafas. Kalau sudah begini, ia tahu ia akan kalah. Hahaha. Akhirnya gadis itu mengangguk pelan dan Ferril ber-uhu ria saking senangnya.
"Jalan sama aku besok ya, Beyb? Janji?"
Echa lagi-lagi pasrah. Terus terjebak seperti ini dan berpusat pada kebaikan Ferril. Kebaikan yang mungkin akan membuka jalan untuknya menggapai hati Echa suatu saat nanti.
@@@
Ferril bersiul-siul. Ia tidak mungkin menyetir dengan kondisi tubuh seperti ini. Jadi ia sengaja membawa salah satu asisten kantornya untuk menyetirkan mobil untuknya menuju Bandung. Perjalanan dimulai usia Isya. Bunda geleng-geleng saat mendengarnya pamit. Katanya....
"Nyusulin calon menantu untuk Bunda."
Percaya saja lah. Barangkali kaki ini akan berhasil. Hahaha. Meski kemungkinannya juga masih kecil. Tapi ia selalu melakukan hal semacam ini untuk meluluhkan hati Echa. Pelan tapi pasti. Meski ini sudah setahun lebih dan belum beregek apapun. Hahaha.
"Ya, Nes. Ada apa?"
Itu loh Nesia. Cewek yang waktu itu nonton film bersamanya dan beritanya cukup heboh. Kedekatan anak konglomerat dengan artis bulukan berita yang luar biasa sebetulnya. Tapi karena Nesia yang dikenal sebagai gadis baik-baik dan juga cerdas ini yang menyorot perhatian. Kok mau-maunya sama Ferril? Hahaha. Cowok itu sudah terlaku sering masuk pemberitaan dengan berbagai perempuan dalam berbagai acara. Namun tak ada atau pun yang terkonfirmasi sebagai pacarnya. Ferril selalu menghindar berpacaran dengan public figure. Ia juga enggan memacari anak konglomerat. Papanya juga malas berbesan dengan sama-sama anak konglomerat. Urusannya ribet dan panjang. Lebih baik mencari yang biasa dan sederhana.
"Lagi di mana?"
Ferril menghela nafas. Ia sedang bersantai di kursi depan dan sedang dalam perjalanan menuju Bandung.
"Kenapa memangnya?"
"Besok malem sibuk gak?"
"Ada acara?"
Gadis itu menggigit bibir. Agak malu juga mengatakannya. "Ada acara makan malam sama keluarga besar. Kira-kira mau ikut gak?"
Aaaah. "Waah sorry banget, Nes. Gue lagi gak di Jakarta."
Ia tidak berbohong. Hahaha. Karena sekarang memang sudah jauh meninggalkan Jakarta. Meski perjalanan menuju Bandung juga masih cukup panjang.
"Aaaah. Gue kira lo ada di rumah. Bener-bener sibuk ya?"
Ferril berdeham. Sibuk mengejar perempuan sebetulnya. Hahaha. "Ya begitu lah. Kayak biasa."
Nesia mengangguk-angguk. Tidak bisa apa-apa kalau sudah begini. Gadis itu hendak mengajak untuk berbicara saja lewat telepon. Tapi Ferril menolak. Katanya lelah. Lain kali saja. Dan memang benar. Setelah itu, ia pulas.
Asistennya sudah tak heran dengan kelakuan Ferril. Tak kaget seperti awal-awal saat bekerja dengan Ferril dulu di mana ia bisa melihat bosnya beebicara dengan lebih dari lima perempuan dalam sehari. Ini sih sudah mendingan. Hanya satu atau dua orang. Itu pun tertutupi karena kesibukan Ferril yang memang semakin padat. Cowok itu tak begitu punya banyak waktu untuk bermain-main. Ia sibuk mengurus pekerjaan karena dilimpahi tanggung jawab besar untuk mengurus perusahaan.
Menjelang jam tiga pagi, mereka akhirnya tiba di Bandung setelah beberapa kali berhenti untuk makan. Banyak restoran yang buka selama dua puluh empat jam di wilayah tol. Jadi tak sulit mencari makan.
Kini Ferril merebahkan tubuhnya. Ia tertidur sebentar. Lalu solat subuh di mushola bawah, apartemennya di Bandung. Ia tentu saja punya satu di sini. Kemudian menanyakan keberadaan Echa dari Nabila.
Kita mau ke kebun strawberry Oma gue, Ril. Mau nyusul? Lo udah di Bandung?
Biasanya Ferril selaku cepat datang jika urusannya dengan Echa. Ferril tentu saja mengiyakan.
Kirim alamatnya.
Nabila mengiyakan. Ia mengirim lokasinya. Sementara ia dan Echa sudah berada di meja makan untuk siap-siap sarapan.
"Si Ferril udah sampe di Bandung."
Echa menghela nafas mendengarnya. Reaksi itu kembali membuat Nabila tertawa.
"Temenin lah jalan-jalan. Dia udah baik banget mau ngelakuin itu buat kita. Kan lumayan kalo Ferril berhasil. Meski gak sampe nutup perusahaan tapi setidaknya, dia bakal banyak kehilangan kepercayaan klien."
Echa mengangguk. Memang ada benarnya.
@@@