Ia terbang jauh-jauh ke Riau dengan sebuah misi. Apa? Tentu saja mengamuk di rumah Shabrina. Regan, Fadli, dan Fadlan sudah panik dibuatnya. Banyak hal yang harus dipikirkan tapi anaknya malab berbuat demikian. Untung saja tak jadi. Karena saat hendak tiba, ia melihat rumah Shabrina masih dikelilingi wartawan yang mengejar berita. Ferril berdesis. Buru-buru berputar balik dan akhirnya kembali terbang ke Jakarta. Ia hanya ingin membuka mulut gadis itu. Ingin mendengar langsung kalau bukan abangnya yang menghamili. Hanya itu saja.
Ia sudah memaki Shabrina melalui pesan tapi tentu saja tak akan digubris oleh gadis itu. Ia kesal setengah mati karena itu.
Dek! Balik!
Itu perintah papanya. Regan dan Fadli juga menyuruh pulang agar mereka bisa membahas solusinya. Mereka tentu saja perlu menyelidiki sesuatu setelah Fadlan menginterogasi anak sulungnya. Ia tentu perlu tahu bagaimana kejadian itu. Sebelum semua menjadi lebih runyam. Fadlan masih percaya kalau anaknya bukan pelakunya. Namun mereka tetap harus mengambil langkah untuk bertanggung jawab.
"Membuktikan kalau abang bukan pelaku itu bisa dilakukan setelah ini. Kita masih bisa melacaknya bahkan dengan keberadaan Shabrina lebih dekat, itu akan lebih mudah. Yang terpenting adalah tanggung jawab moral terlepas dari abang atau bukan yang menghamili. Papa tidak pernah mengajarkan abang untuk tidak bertanggung jawab atas apapun yang terjadi. Ini risiko hidup, bang. Kalau ternyata suatu saat nanti memang bukan abang yang menghamili, setidaknya kita tak perlu menyesal karena sudah mengambil langkah ini. Ini soal kewajiban di hadapan manusia dan Tuhan, bang. Kita ini manusia yang benar-benar buta akan apapun. Yang terpikir oleh papa dan yang menjadi jalan satu-satunya saat ini hanya lah menikahi Shabrina. Hanya itu."
Farrel jelas terpukul. Memang tak ada pilihan lain. Opanya juga berkata seperti itu. Mereka tak mungkin membiarkan masalah ini berlarut-larut. Beban moral karena tak ingin bertanggung jawab lebih tidak etis rasanya. Dan rasanya juga tidak manusiawi. Terlepas apakah benar atau tidak, itu bisa dibuktikan seiring waktu. Karena entah kenapa, Fadlan meyakini kalau akan ada jawabannya. Namun mereka perlu ada Shabrina. Karena kalau Shabrina terus dikungkung akan sulit melacaknya.
Teknologi memang bisa melacak sedemikian jauh namun tetap saja memiliki keterbatasan. Regan, Fadli, dan Fadlan paham. Akan lebih mudah membobolnya dengan keberadaan Shabrina di depan mata. Lalu menyambung ke semua orang yang berhubungan dekat dengan Shabrina. Meski mungkin akan memakan waktu. Tapi rencana mereka hanya itu untuk sekarang. Dan soal Farrel yang menikahi Shabrina itu ya bentuk tanggung jawab. Karena mereka juga tidak tahu itu benar atau tidak tapi permasalahannya adalah urusan Farrel yang akan berat di hadapan Allah seandainya tak melakukan itu.
Semua mata menoleh ke arah pintu yang akhirnya terbuka. Ferril muncul dari sana dengan penampilan yang agak kacau. Benar-benar tak seperti biasanya. Begitu Ferril duduk, Regan berdiri dan langsung menjelaskan semua rencana. Wira, Fadli, Fahri, Akib bahkan Kandra juga hadir dalam pertemuan dadakan semalam ini. Mereka membicarakan banyak hal. Ya tentu saja masih mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Farrel dan Shabrina.
Setelah hampir tuga jam, satu per satu bubar. Ferril?Cowok itu sudah melaju kencang dengan mobilnya ditemani Ardan yang menguap. Ia tidak tidur sejak semalam gegara kasus Farrel. Dan juga Adit yang sudah segar karena sempat tidur satu jam. Di mobil lain, Izzan, Pandu dan Agha bergerak ke arah lain. Entah apa hasil dari rapat dadakan di kantor Regan, yang jelas ini bagai mencari jarum di hamparan pasir putih pantai bagi Ferril saking gelapnya.
Ferril sudah tak bisa memikirkan hal lain lagi. Otaknya sudah benar-benar buntu. Baru kali ini ia tak memiliki solusi apapun. Karena ia sebetulnya masih menyangkal kenyataan yang terjadi. Ia masih yakin kalau abangnya bukan lelaki b***t. Kalau sadar melakukannya, seharusnya abangnya tak akan menikahi perempuan lain. Tapi sepertinya Ferril salah.
Dihari kejadian itu, Farrel benar-benar buta. Ada rasa bersalah yang menyelinap dan jujur saja hampir membatalkan pernikahan. Ia maju dan ia mundur. Banyak sekali hal yang ia pikirkan jika meneruskan pernikahan. Urusan keluarganya, Shabrina, dan istrinya. Tapi kalau seandainya ia mundur dari pernikahan waktu itu, apa yang ia paling takutkan untuk terjadi? Tahu apa?
Fara bersanding dengan lelaki lain dan membencinya. Itu yang paling ia takutkan. Apakah ia egois? Bukan kah manusia memang seperti itu? Memiliki hasrat untuk memiliki segalanya? Ia sudah terlanjur jatuh hati sedemikian dalam hingga sulit menahan diri. Ia tak mau kehilangan Fara. Tak mau cintanya pupus seperti apa yang terjadi pada Zakiya dulu. Ya oke, cintanya pada Zakiya memang tak sebesar pada Fara. Itu yang menjadi masalah bukan?
Lalu semua hal ini terjadi. Apakah Farrel menyesalinya? Ya. Tapi sekalipun ia mundur, penyesalan tetap akan datang. Ia tak bisa menampik itu. Jadi sekarang, ia harus bagaimana?
Ya menghadapi kenyataan yang terjadi. Bertanggung jawab atas segala apapun. Sekalipun entah itu perbuatannya atau tidak. Begitu pula dengan Ferril. Terlepas tentang kasus ini milik siapa, ia tak peduli. Baginya, siapapun keluarganya yang bermasalah, ia akan membantu. Ia akan ikut menanggung beban itu. Dan ia bersedia berbuat apa saja untuk menyelesaikannya.
Lalu sekarang adalah waktunya untuk kembali melajukan mobilnya dengan kencang.
@@@
Satu minggu ini hidup Echa tenang. Yeah semenjak kabar Shabrina dihamili Farrel dan dari pemberitaan, mereka juga menikah, Echa ikut merasakan dampaknya. Apakah ia senang?
Hahaha. Awalnya agak aneh. Karena sudah terbiasa diganggu Ferril. Cowok itu kan memang tak pernah absen menganggunya melalui pesan. Tapi semenjak itu sudah tak pernah datang lagi. Mungkin sibuk?
Ah Echa juga enggan mencari tahu karena ia juga sedang sibuk berkelana mencari pekerjaan. Ia sedang semangat. Masih mencoba segala cara yang baik untuk mendapatkan pekerjaan. Ia tak punya banyak teman dan terpaksa menghubungi beberapa teman yang masih cukup dekat untuk bertanya lowongan. Namun belum ada hasil. Ia juga sudah berkeliling kemarin untuk menawarkan guru privat. Tapi belum ada hasil. Kini ia sedang berkelana di media sosial untuk mencari lowongan pekerjaan dan sudah mengirimkan beberapa lamaran. Namun belum ada jawaban. Rasanya lelah ya? Karena ia tak tahu kapan ini akan berakhir.
Ia mengupayakan segala cara. Ketika lelah akhirnya berbaring dan melamun banyak hal. Mendadak terpikir pula soal tawaran dari Ferril. Apakah ia harus merendahkan egonya dan menerima tawaran itu?
Tapi berat. Ia akan berhutang budi pada Ferril. Akhirnya malah terperangkap. Ia tak suka jalan seperti itu. Jadi pilihan itu pun masih ia hapus. Meski akhirnya ia mencoba mencari juga beberapa perusahaan yang terafiliasi dengan keluarga Ferril. Ia melihat beberapa lowongan yang muncul termasuk yang pernah Ferril tawarkan. Tapi urung. Sekalipun ia melamar sendiri dan kalau diterima? Tak mungkin ia tak bertemu cowok itu. Ini pilihan yang buruk juga.
Dan disaat ia masih sibuk berkelana di media sosial, ponselnya bergetar di tangannya. Nama Nabila muncul namun ketika ia mengangkat, tak begitu jelas suaranya. Echa terduduk seketika. Firasat buruk merasuk ke hati begitu saja. Ia segera beranjak dan bersiap-siap. Ia sudah pernah menghadapi ini sekali. Dan kalau instingnya benar, kemungkinan besar kalau Nabila kambuh.
Ia berlari menuju stasiun. Ia sudah memperhitungkan. Sekalipun bisa naik ojek, naik kereta tetap lebih cepat untuk tiba di sekitar Pasar Minggu. Naik angkot hanya akan membuatnya terjebak di jalanan karena mereka sering berhenti cukup lama. Beruntungnya, begitu tiba di stasiun, kereta langsung datang. Ia berlari agar bisa masuk. Lalu berpegangan saking masih ngos-ngosannya. Kemudian turun di stasiun pasar minggu dan memesan ojek. Kurang dari lima menit ia sudah tiba. Kemudian berlari masuk ke gedung apartemen itu. Ia sudah mengeluarkan ponsel untuk bersiap-siap menelepon ambulans kalau-kalau terjadi sesuatu. Dan benar.....
Setelah berteriak meminta tolong pada petugas untuk membukakan pintu apartemen Nabila, gadis itu sudah terkapar.
@@@
Ia melihat-lihat. Dari kabar berita yang heboh itu, yang ia tahu kalau keluarga Ferril sempat dirawat di rumah sakit ini. Ya rumah sakitnya memang bernama sama. Namun ia tak tahu kalau taksi membawanya ke daerah yang berbeda. Apalagi ia benar-benar masih buta soal Jakarta. Bahasanya tidak begitu familiar dengannya. Ia sudah belajar banyak bahasa Indonesia secara diam-diam tanpa sepengetahuan ayahnya. Ayahnya yang memang warga negara sini malah tak pernah mengajarkannya sama sekali. Ia hanya pandai berbicara bahasa Inggris. Ya Jerman dan Belanda juga bisa tapi tak begitu menguasai.
Lalu tiba di rumah sakit ini, ia hanya melihat-lihat. Ingin bertanya tapi pasti tak akan diizinkan. Apalagi ia tak bisa berbacara sedemikian lancar. Yang ada akan dicurigai. Apalagi yang ia cari ini adalah orang-orang konglomerat. Bisa panjang urusannya. Dandanannya saja agak ia tutupi.
Ia hanya melihat banyak sekali yang mengenakan penutup kepala terutama perempuan. Namun karena tak bisa menirunya, ia hanya memakai sekenanya saja. Ia berkeliling rumah sakit dengan tanpa tujuan dan tanpa arah. Sesekali berhenti dan memerhatikan sekitar hanya untuk memastikan kalau tak ada yang mencurigai kehadirannya. Ya sejauh ini memang tak ada yang peduli kareja semua orang sibuk masing-masing. Ia berjalan lagi menyusuri koridor. Ia sempat melihat di area gedung administrasi di mana banyak jas putih berkeliaran. Ia yakin kalau ruangan mereka di sana namun untuk dapat masuk perlu identitas. Ia tak akan bisa. Ia bisa berada di negara ini pun secara ilegal. Bagaimana mungkin ia bisa masuk ke sana? Apalagi tanpa bantuan ayahnya. Aah tapi akan berisiko juga. Ia benar-benar tak punya jalan dan sepertinya memang tidak perlu menganggu. Ia hanya akan melihat-lihat saja.
Lalu matanya tertarik pada sebuah area khusus. Area IGD di mana beberapa ambulans keluar masuk. Ia terus memerhatikan itu tapi tak ada yang menarik juga. Hanya menelaah ternyata begitu cara kerjanya. Karena melihat dari jauh tak begitu puas, ia akhirnya mencoba mendekat. Ia tahu kalau orang-orang tampaknya begitu sibuk. Ia tak akan menganggu. Ia hanya tak punya pekerjaan dan tak tahu harus melakukan apa makanya bisa berada di sini. Ia tak mungkin menyambangi kantor Ferril maka itu ia ke sini.
Hingga tiba ambulans di mana Echa berada di dalamnya. Mereka cukup lama berputar-putar dan teralihkan ke Depok karena jalan banyak yang ditutup. Banyak kemacetan dan entah berapa lama. Nabila sudah tenang. Jadi dokter pun juga merasa aman. Namun bagi Echa tetap harus dibawa ke rumah sakit. Dokter juga sependapat. Setelah hampir satu jam berputar-putar dan malah nyasar di rumah sakit ini meski masih rumah sakit yang sama hanya berbeda daerah, ia akhirnya tiba. Ia terburu-buru melompat turun lalu mengikuti brankart yang membawa Nabila.
Ia benar-benar khawatir karena takut terjadi sesuatu. Walau tadi sudah agak tenang karena sudah ditangani dokter yang ikut bersamanya dengan ambulans. Tapi tetap saja harus ada hasil pasti. Ketika ia hendak menelepon omanya Nabila, tangannya mendadak ditarik seseorang. Ia menoleh dan perempuan itu menatapnya dengan mata melotot.
@@@
Gegara Ardan bilang kalau ia menaruh kamera kecil terbarunya di lemari buku Farrel yang ada di apartemen, trio sableng itu langsung bergegas ke apartemen Farrel. Begitu tiba di sana, Ardan ber-ihiy ria mendapati kameranya. Tapi begitu dibuka isinya yang langsung dipindahkan Ferril menggunakan komputer rahasia Farrel yang ada di apartemen itu.....
Ia ditoyor habis-habisan oleh Ferril dan Adit. Kenapa? Wong rekamannnya hanya sampai mereka pergi dari apartemen Farrel kala itu. Yang terekam justru Ferril yang tidur belingsatan di atas tempat tidur, kadang mengorok, kadang menggaruk p****t, kadang menungging lalu berakhir dengan tengkurap. Adit terbahak menonton itu. Ardan malah nyengir. Ia lupa kalau kamera itu hanya merekam paling lama enam jam. Lebih dari itu tentu saja mati karena kehabisan baterai. Ya, apa sih yang diharapkan dari kamera kecilnya itu?
Ketiganya sama-sama duduk sambil menghela nafas. Rasanya lelah sekali karena langsung berlari-lari ke sini. Berharap mendapatkan sebuah petunjuk tapi ternyata kosong. Tak ada apapun. Namun tanggal-tanggal kejadian pasti tak jauh-jauh dari itu. Hanya saja memang tak ada hasil pasti.
Agha yang baru tiba sendirian, langsung mengambil alih komputer. Ia berhasil mendapat rekaman CCTV di depan pintu apartemen milik Farrel. Agha juga baru tahu kalau ada CCTV di atas pintu itu. Andai Pandu tak salah melihat semalam saat mereka mengobrak-abrik apartemen Farrel. Farrel sih tak bilang apa-apa karena masih terpukul dan tak sanggup bicara sejak kemarin. Tapi berkat paksaan Papanya, ia akhirnya menceritakan apa yang dilaluinya. Tentu ia tak mengingat kejadian saat disodori minum oleh Rano di apartemen lelaki itu. Farrel hanya ingat kejadian di pagi hari kala itu. Hal yang membuat Ferril berdesis tak percaya. Masa Shabrina muncul begitu saja di apartemennya sementara ia tak ingat apapun? Aneh bin ajaib kan? Tapi herannya, Ferril tetap percaya. Ya, sepercaya itu ia pada Abangnya. Mau dikata bodoh juga Ferril tak perduli. Ia kenal Abangnya dari rahim, mana mungkin Ferril tak percaya?
Walau ia agak sangsi juga sih. Karena bagaimana pun Abangnya lelaki kan? Masa menolak jika digoda perempuan seseksi Shabrina? Hihihihi. Gak deh! Ferril percaya kok. Mau ceweknya sebohay apapun, ia yakin sih setidaknya Farrel tak akan melakukan lebih. Hahaha!
Namun selama belum ada bukti memang tak ada yang bisa menjamin apapun. Apalagi Farrel juga tak ingat apa yang terjadi. Ferril agak mencurigai hal itu. Ia masih percaya dan malah berpikir mungkin abangnya telah meminum sesuatu yang salah sehingga lupa. Atau masih menyimpan persoalan itu rapat-rapat. Namun Fadlan yang memaksa anaknya untuk berbicara benar-benar yakin dan percaya kalau Farrel memang benar-benar tak ingat apapun. Bukan bermaksud untuk menyembunyikan. Tapi apa yang harus dikatakan kaoau memang tak ingat apapun. Ya kan?
Jadi ia menduga kalau memang terjadi sesuatu pada Farrel. Entah apa. Namun sudah pasti jebakan. Dan ini yang sednag dicari Ferril. Masalahnya adalah mereka bergerak dengan tanpa arah sama sekali. Tak ada petunjuk apapun. Benar-benar gelap. Walau bukan berarti menyerah.
Kemudian yaa hening. Ardan, Adit, Ferril dan Agha tenggelam menyimak rekaman di depan itu. Tapi mereka tidak terlalu memerhatikan jika ada yang ganjil. Apalagi Ardan sudah menguap bahkan sampai pulas karena memang tak ada menarik hingga....
Agha tiba-tiba menghentikannya. Lelaki itu memperbesar sosok lelaki berbaju hitam yang sempat terekam walau tak terlihat sama sekali wajahnya. Saat diulang lagi dan dilihat lagi, masih tak terlihat. Ferril langsung menyuruhnya memindahkan gambar itu untuk mengirimkannya pada Regan. Biar tim IT Regan yang mengidentifikasi sosok lelaki itu. Sementara mereka terus memerhatikan rekaman-rekaman itu hingga.....
"Aish!" Ferril berdesis. Rekaman itu berakhir tepat sehari sebelum kejadian. Farrel memang bilang hari kejadiannya karena ia tak pernah bisa lupa akan hal itu. Apalagi bayang-bayang kedatangan Shabrina yang membuatnya ketakutan parah. Gadis itu memang sempurna sekali membuatnya tersiksa selama berminggu-minggu. Membuatnya ketakutan di sepanjang malam. Sampai Fara juga bertahya-tanya akan apa yang terjadi. Namun ia selalu menghindari dengan beberapa kebohongan yang akan membawa kerumitan dan kehilangan rasa percaya.
Sementara Agha terus memeriksa CCTV itu. Ia penasaran kenapa tak ada rekaman lain lagi hingga akhirnya ia menyimpulkan sesuatu yang kemudian disadari Ferril. Lelaki itu juga berpikir hal yang sama dengan Agha. Adit? Lelaki itu langsung melompat bangun lantas bergegas pamit. Ia berlari menuju kantor fasiliti apartemen. Bukan kah setiap apartemen ada CCTV?
Ia menoyor kepalanya sendiri karena merasa bodoh. Pencarian mereka selama tiga hari belakang ini memang menemui jalan buntu gegara Farrel yang sempat tak ingin membicarakan hal ini lagi walau akhirnya berhasil dibujuk. Sejujurnya, Farrel sangat malu jika harus mengatakannya tapi ia tak punya pilihan apalagi Ferril berjanji akan memukulnya kalau ia masih diam saja. Dua hari kemarin, Farrel memang habis dibuat babak belur oleh Ferril. Pedih melihat wajah gantengnya menjadi lebam dan memerah. Mana bengkak pula. Ferril kan gak perduli. Kalau sudah emosi, yang main itu otot bukan otak lagi. Dan Farrel tak mampu melawan. Bukan karena ia tak bisa silat tapi ia bahkan tak berdaya dengan kondisinya sendiri boro-boro melawan. Rasanya ingin mati menghadapi semua masalah ini tapi setipis imannya masih berbicara. Masih ingin bertahan meski semua terasa buntu. Seolah tak ada habisnya dan tak ada jalan keluarnya.
Ferril marah karena mempermalukan keluarga. Itu wajar kan? Ferril juga marah karena masalah ini sampai membuat Bunda sakit. Dan Ferril juga marah karena kakak iparnya pasti tersakiti dnegan keadaan ini. Meski ia juga tak mengikuti bagaimana perkembangan keluarga kecil abangnya ini. Ya sekalipun nantinya akan ada perceraian, ia tak masalah. Barangkali memang yang terbaik seperti itu. Justru kalau memaksa kakak iparnya untuk bertahan adalah sebuah kezaliman. Ya kan?
Ferril sibuk menelepon Regan yang juga sibuk dengan timnya. Ia memberitahu kalau ada kemungkinan CCTV yang terpasang di atas pintu apartemen Farrel dirusak seseorang karena tak ada lagi rekaman sehari menjelang kejadian ditambah seseorang yang mereka curigai. Farrel juga menemukan keganjilan itu bukan? Hanya saja, Farrel tak tahu harus bagaimana karena memikirkan rasa malu yang amat sangat jika sampai orang-orang tahu masalahnya. Ia mencoba menyelesaikannya sendirian namun gagal. Ia mencoba memendamnya dan ternyata memang tak menyelesaikan masalah. Ini rumit. Ia seharusnya jujur sejak awal. Tapi bagaimana mungkin ia bisa jujur? Ya kan? Lantas kini? Farrel bahkan tak berani menatap mata-mata orang yang memandangnya dnegan rasa jijik. Menghamili seorang perempuan bukan suatu kebanggan. Tentu saja itu aib dan dosa besar.
Sementara Regan sedang berkutat untuk mengidentifikasi orang yang gambarnya terekam CCTV dan baru dikirim Agha tadi. Namun sialnya, tidak terlacak. Regan curiga. Kalau orang biasa, datanya pasti ada. Kalau tidak terlacak seperti ini artinya.....
"Kemungkinan orang penting," tutur Regan pada Fadli. Lelaki itu mendesah keras. Tapi siapaaa? Ia tak mampu berpikir. Namun ia langsung curiga pada keluarga Shabrina. Sebab tak ada jawaban lagi. Ini juga yang sedang mereka cari sebetulnya. Mereka sedang mencari motif keluarga Shabrina mendadak menuduh Farrel. Menilik ayahnya gadis itu sedang dalam masa hendak pemilihan umum untuk sebuah jabatan, bukan tidak mungkin untuk mencari cara seperti ini untuk mencari dukungan bukan? Meski terasa ganjil juga.
"Bukan mereka," yakin Fadli.
Ia paham ke mana arah pikiran Fadli. Regan bisa seyakin itu karena ia sudah melacak semua keluarga Shabrina. Memang keluarga perempuan itu orang penting tapi tak seberapa penting sampai harus dilindungi sedemikian rupa. Ayah Shabrina itu hanya politisi biasa. Terkenal sejak terpilih menjadi anggota DPRD lalu berlanjut menjadi anggota DPR RI perwakilan Riau. Kemudian berlanjut lagi menjadi Bupati di sana. Regan juga sudah membaca semua rencana ayah Shabrina yang digadang-gadang akan dicalonkan menjadi Gubernur Riau. Selain itu, ayahnya juga punya perusahaan pertambangan tapi tak seberapa sukses. Regan bahkan mendapat semua data keuangan kampanye lelaki itu dari mencalonkan sebagai anggota DPRD hingga Bupati. Hasilnya? Aaah tentu saja didukung pengusaha-pengusaha yang punya kepentingan di Riau. Pendanaan sudah pasti dari sana. Bahkan tak sepeser pun ia mengeluarkan uang untuk kampanye Bupatinya itu. Dan sebagian kecil, dana itu bersumber dari kasus korupsi di Riau yang masih menemui jalan buntu. Bagaimana bisa memeriksa seseorang yang punya kekuasaan seperti itu? Lembaga-lembaga pemerintahan tentu tutup mulut selama mendapat jatah uang untuk itu. Ya, begitu lah politik kotor. Politik dijadikan ladang bisnis untuk memperkaya diri bukan untuk membangun negeri. Sialnya, itu seakan menjadi budaya para pejabat saat ini.
@@@