Swastika Eka Graha

2999 Words
Orang yang tak ambil pusing dengan gosip yang sudah beredar tentu saja Echa. Ia bahkan tak terpengaruh sama sekali. Hal yang membuat Nabila ingin tertawa. Apalagi saat mendengar kata-kata Ferril. "Seriusan? Dia gak marah? Cemburu dikit gitu enggak?" Nabila justru terbahak. Echa malah senang kalau memang gosip Ferril dan perempuan itu benar. Meski hal itu justru membuat Ferril sedih. Iya lah. Kalau tak ada rasa cemburu sedikit pun berarti perjuangannya masih belum membuahkan hasil sama sekali. "Dia mau cemburuin elo doang kayaknya tuh." Echa tak begitu menanggapi. Ia sibuk dengan makanannya. Hari ini baru ada nafsu makan setelah sedih tidak berhasil mendapatkan murid baru. Ya anggap saja yabg kemarin itu ujian sebelum benar-benar mendapatkan pekerjaan yang lebih baik atau murid baru lagi. "Lo masih belum bilang apa-apa ke Ferril?" "Ngomongnya gimana?" Nabila menepuk jidat. "Ya jujur aja. Kalo emang gak bisa memberikan harapan apapun. Dari pada kesannya kayak lo gantungin cowok yang di kampus waktu itu. Yang pernah lo ceritain." Echa mengangguk-angguk. Memang benar. Tapi Ferril juga sudah terikat cukup lama dengannya. Ini cukup membuat kepala pusing sebetulnya. "Kalo digantung kan lebih gak enak. Dan lagi, Ferril juga terlalu baik untuk disakitin. Ya gue tahu sih, mungkin dia juga playboy. Kayak kemarin tuh. Tapi dia kayaknya cuma fokus ke elo doang biarpun kelakuannya minus kayak gitu." Echa tertawa. "Masih aja ya lo bela? Udah jelas belangnya gitu." Nabila terbahak. "Abis gimana ya, Cha? Kalo inget wajahnya tuh kayak sebejat apapun dia, termaafkan gitu aja. Heran juga gue. Padahal kalo cowok lain, gue gak begini sih. Kalo b***t ya b***t. Tapi Ferril nih agak aneh. Kasus yang unik juga menurut gue. Apalagi jalan pikirannya gak bisa ditebak." Echa mengangguk-angguk. Memang benar. "Dan lagi, gue yakin, dia malah makin semangat ngejar elo. Secara, dari sekian banyak cewek, katanya baru elo doang yang nolak dia blak-blakan gitu." Echa tertawa. Akhirnya ia menemukan hiburan juga mendengar hal-hal semacam ini. Meksi sudah sering membicarakannya dengan Nabila. Namun dengan suasana hati yang juga kacau, ini cukup menghibur lah. Setidaknya ia masih bisa tertawa dibandingkan kemarin-kemarin. "Cowok playboy tuh gitu ya. Jadi curiga gue. Ntar kalo udah dapet, dilepehin gak tuh? Secara, ngejarnya udah susah. Kalo dapet harusnya dipertahanin dong." Echa hanya terkekeh-kekeh. "Eh iya, terus apa rencana lo?" Ia terlalu asyik membicarakan tentang Ferril. Jadi lupa kalau mereka punya masalah lain yang lebih genting. "Gue lihat di internet, ada peneliti asing yang ngecek sungai besar di Bandung terus hasilnya parah banget. Lo masih inget kan kalau kita punya banyak klien yang lokasinya di sekitar sungai itu? Dan lo masih inget kan kalau datanya dimanipulasi semua supaya memenuhi standar pemerintah. Dengan adanya ini, gue jadi agak semangat. Setidaknya, kita harus hubungi si peneliti asing itu. Kalo bisa sih sampe ngobrol." "Ya udah. Udah lo hubungi?" "Udah. Tapi belum ada jawaban." Nabila mengangguk-angguk. "Mau ke Bandung?" Echa tampak ragu. "Gak usah kebanyakan mikir," tukasnya. Kita berangkat aja besok gimana? Gue bayarin. Selow, Cha kalo sama gue. Ya ongkosnya emang gak seberapa. Tapi ini cara gue bantuin temen. Jadi lo gak boleh nolak oke?" Echa tersenyum kecil. Si gadis sungkan untuk meminta tolong ini memang sulit sekali meminta sesuatu. Mungkin karena asuhan juga. Ia suka dimarahi kalau meminta tolong atau meminta sesuatu pada ibunya. Sehingga itu seakan menjadi sebuah pandangan untuknya sendiri. Padahal tak ada ruginya kok meminta tolong. Namanya juga orang yang sedang butuh bantuan. Pasti harus dibantu kan? "Gue ada niatan mau ngasih salinan dokumen dan nyocokkin ke mereka gitu. Menurut lo akan aman atau enggak?" Nabila agak-agak was-was. Takut mereka juga ikut terseret. Ini jelas sangat berbahaya. "Tahan dulu deh kalo yang itu. Kita lihat dulu gimana obrolan sama si peneliti asing ini. Kalo bisa menemukan titik temu, barangkali kita bisa ngasih data palsu yang kita punya. Karena kan yang tertera di website pemerintah ya data laporan kita. Terus harus nyesuiain juga titik mereka ngambil sampel ujinya. Biar gak bisa berkilah." Echa mengangguk-angguk. "Baru abis itu nyocokkin datanya. Karena data kit a juga ada di website pemerintah itu, ini jelas akan lebih aman dan menguntungkan posisi kita, Cha. Gue hanya gak mau kita ikut terseret ke dalam pusarannya. Lo tahu sendiri Bos kayak gimana. Kita mau nyari kerja aja diblok sama dia kan." Echa mengangguk-angguk. Benar juga. "Akan lebih berbahaya kalo kita langsung pasang badan sendiri. Itu namanya minta didorong ke jurang. Kita udah begini tambah ancur lagi, beneran jadi mayat." Echa menghela nafas. Ia tak menyangka kalau perkaranya akan sesulit ini. Ia sudah pernah melapor ke kementerian. Tapi malah terdengar ke telinga bosnya lalu tak lama ia dibekukan. Dibekukan dalam artian kerja tapi tak dibayar. Yaa yang dua bulan itu. Kejam bukan? Padahal kalau masih ada nurani dan takut Allah, seharusnya tak melakukan itu. Kalau memikirkan itu, tentu saja Echa masih sangat sakit hati. Meski ia mencoba menabahkan diri dan belajar untuk menerima semua keputusan itu dengan lebih lapang. Walau tetap saja ada makian. "Tapi yang gue heran ya dari dulu sampe sekarang, bos itu gak pernah belajar dari hidup yang dia jalani. Coba deh lo pikir, dia udah setua itu, anak aja gak punya. Apa gak pernah mikir, kenapa Tuhan gak ngasih dia anak? Padahal dia berduit meski pelitnya gak ketulungan. Katanya kalo segitu pelitnya, kuburnya sempit." Nabila terbahak. Sejujurnya mereka sudah sangat sering membicarakan ini namun anehnya tak pernah bosan. "Kayaknya Allah gak mau kalo orang pelit begitu, ada turunannya. Terlalu bagus kali. Kan katanya, doa anak yang soleh itu bisa jadi amal jariyah. Tapi dia gak dikasih, berarti kesempatan untuk dapat doa itu udah gak ada. Sementara dia orangnya pelit dan jahat banget lagi sama kita. Mau jadi apa dia mati entar? Udah zolim, pelit, gak ada yang doain pula untuk lapangan kuburnya. Gak kebayang gue pedihnya siksanya." Echa ikut bergidik membayangkannya. Mengerikan. "Masih syukur kalo sempet tobat. Tapi sampe sekarang aja, dia masih keponya di kita di mana kerjanya. Pada nanya ke yang lain. Saking dendamnya ya sama kita?" Echa terkekeh. "Ya sih." Padahal mereka hanya staf biasa tapi dihadapi seperti berhadapan dengan rentenir atau tersangka kejahatan. Hak untuk mencari pekerjaan ikut ditumpas. Padahal bukan perusahaan besar. Tergolong perusahaan biasa saja malah. Kalau di sebut kecil kan tak kecil-kecil amat juga. Karena gedung dua lantai itu lumayan keren untuk menjadi sebuah tempat kotor. Tapi tetap saja terlalu bengis rasanya kalau menyandera hak orang lain. @@@ "Katanya serius sama Echa," tutur Fasha yang tumben-tumbennya mengeluarkan komentar atas perkembangan asmara Ferril. Ferril hanya menghela nafas lantas berjalan melewatinya. Ia sedang tak mood. Bukan karena Echa. Tapi urusan pekerjaan. Rencana yang sudah ia susun matang-matang untuk membangun bisnis baru terpaksa diurungkan. Ternyata ada pengkhianat di antara karyawannya dan ia sedang dalam perjalanan untuk eksekusi hari ini. Memang bukan cuma sekali atau dua kali kejadian seperti ini terjadi. Namun sudah berkali-kali. Sepertinya juga yang ini lebih keterlaluan dibandingkan dengan kasus-kasus yang lain. Karena tidak ada yang membuatnya harus turun langsung untuk eksekusi. Ia masuk ke dalam sebuah ruang meeting. Orang-orang kepercayaannya sudah duduk. Ia sudah menyelidiki ini selama beberapa hari. Terkait siapa yang membocorkan rencananya untuk membeli sebuah lahan di Sukabumi. Niat hati mau membuka lahan pertanian yang luas di sana dan merekrut masyarakat lokal untuk bekerja di sana. Namun gagal karena tahu-tahu sudah ada yang membeli lahan itu tanpa sepengetahuannya. Padahal ia sudah membuat perjanjian dengan pemiliknya. Namun perjanjian itu dibatalkan secara sepihak dengan datangnya penasaran lain yang lebih menggiurkan dari segi nominal. Padahal itu adalah bisnis pertanian pertama yang hendak dikembangkan Ferril sendiri. Bukan atas nama perusahaan Opanya, Adhiyaksa Corp. Jelas sekali kalau ia marah besar sekarang. Karena rencananya gagal total. Awalnya, ia juga tak mengira kalau akan ada yang membocorkan rencananya untuk membeli lahan. Ia mengira memang ada pesaing lain tanpa motif yang memang berniat membeli lahan itu. Namun saat mengetahui siapa pembelinya dan juga keterlibatan orang-orang tertentu di kantornya, ia mulai curiga. Ia sendiri yang bergerak mencari orangnya secara langsung tanpa perantara siapapun. Sehingga aksi eksekusinya hari ini benar-benar tak ada satu pun yang tahu. "Santoso dan Dyano." Kedua orang itu langsung berdiri. Melihat aura Ferril yang tak tampak bersahabat sejak memasuki ruangan ini tentu saja bukan sebuah firasat yang bagus. Pasti sesuatu telah terjadi. "Buat catatan untuk pengkhianat hari ini," tukasnya. Keduanya saling melirik. Tentu saja bingung dengan siapa yang dimaksud dengan pengkhianat. "Bandung Lautan Api," ia malah menyebutkan judul lagu. "Berkobar darah di antaranya." Keduanya langsung paham begitu pula dengan karyawan lain dan juga orang yang dimaksud. Aris dan Hazery adalah orang yang dimaksud. Keduanya langsung terduduk memohon ampun. Ferril tak pernah melukai karyawan. Ia cenderung royal kepada mereka. Dekat pula dan mengenal bagaimana keluarga mereka karena mereka lah yang selalu berada di sekitarnya. Ia mempelajari ini dari Opa, Papanya, dan juga Om tengilnya. Attitude dan rasa hormat pada orang yang lebih tua sekalipun yang memimpin jauh lebih muda tidak boleh hilang. Ferril menarik nafas dalam. Kedua orang itu masih cukup muda sebetulnya. Masing-masing berusia 35 dan 39 tahun. Tidak akan sulit mencari pekerjaan baru jika berhasil menjadi pengkhianat seperti ini. Ia tahu kalau memang ada motif ekonomi dibaliknya. Namun bagi Ferril, itu tetap saja tak bisa dibenarkan. Kalau mereka sedang butuh seharusnya mereka bisa mengajukan pinjaman pada kantor. Pihak kantor pasti akan membantu. Tapi sepertinya beban hutnag pada kantor juga sudah cukup banyak. Aris sedang menghadapi anaknya yang terus sakit-sakitan. Butuh perawatan mahal untuk anak yang mengidap kanker darah. Sampai sekarang masih belum ada obatnya hanya dengan terapi. Terapinya pun tak sedikit bayarannya. Sudah pasti besar. Sedangkan Hazery terjepit hutang yang ia buat sendiri. Besar pasak dari pada tiang adalah hal yang lumrah terjadi pada orang yang tak pernah belajar mengenai pengalaman masalah keuangannya sendiri. Tak heran jika akhirnya hanya menumpuk hutang dan bingung bagaimana lagi caranya untuk menebusnya kecuali mengkhianati. Sekali lagi, cara mereka yang sama sekali tak Ferril sukai. Ia sudah memikirkan ini semalaman. Hal yang tak mudah karena ada yang dikorbankan. "Out!" Keputusannya tetap sama. Kedua orang itu dibawa. Tenang saja, pesangon tetap dibayarkan. Meski Ferril juga tak yakin apakah pesangon itu masih tersisa setelah dipotong hutang mereka yang ada di kantor? Sekalipun minus, perusahaan ini emang tak pernah menagihnya. Mengikhlaskan, begitu kata Opa. Lelaki itu lebih banyak mengajar moral di dalam berbisnis ketimbang hanya sibuk mencari keuntungan. Karena apa gunanya uang tanpa nurani? "Ini profil Swastika Eka Graha dan pemiliknya, Pak." Ferril sudah kembali ke ruangannya. Ia mengangguk dan mulai mengalihkan perhatiannya pada dokumen baru yang ada di depan mata. Ia hanya ingin tahu bagaimana perusahaan konsultan yang satu ini bisa berkembang sampai sekarang. "Pemiliknya diketahui lulusan Inggris. Usia 62 tahun. Pernah tinggal lama di Inggris selama hampir tujuh tahun dari S2 hingga S3-nya. Ia tercatat sebagai salah satu penerima beasiswa dosen dari pemerintah untuk meneruskan pendidikan di sana. Setelah lulus dan kembali ke Indonesia, ia meneruskan pekerjaan sebagai dosen di kampus swasta dan juga bekerja di sebuah laboratorium besar milik pemodal asing yang ada di Jawa Barat." Ferril mendengar narasi itu berhubung ia sedang malas membacanya langsung. Ia justru menyandarkan punggungnya sambil memejamkan mata. Otaknya sama sekali tak bisa berhenti bekerja dari sejak lagi. "Setelah hampir sepuluh tahun berkiprah di dunia lab, ia memutuskan untuk membangun konsultan kecil. Mungkin karena belajar banyak dari strategi pembangunan dan perkembangan lab tersebut, diam-diam saat masih bekerja di sana, ia mengunci beberapa kenalan yang hingga sekarang menjadi kliennya." Ferril mengangguk-angguk. Mulai paham. Bisnis dibangun dengan mencuri klien dari perusahaan di mana ia bekerja. Hak umum terjadi. Sebetulnya sah-sah saja. Tapi tidak baik secara etika. "Perusahaan dibangun lima belas tahun lalu hanya bermodal satu pegawai. Harga murah dan masih belum membangun laboratorium sendiri. Dua tahun kemudian dia berhasil membangun laboratorium hingga akhirnya mendapat akreditasi dari lembagan pemerintah beberapa tahun kemudian. Perusahaan semakin besar karena ia menawarkan harga jasa lingkungan yang jauh lebih murah dibandingkan dengan laboratorium lainnya. Padahal fasilitas laboratorium tidak memadai. Sumber daya manusia juga tidak memadai dari segi kualifikasinya. Tidak hanya itu, untuk memperoleh beberapa sertifikat perusahaan dan laboratorium, menggunakan jasa orang dalam dan dana yang tidak begitu besar. Namun karena pegawai pemerintah tergiru, urusan menjadi selesai." Ferril mengangguk-angguk lagi. Ia sudah bisa menebak seperti apa perusahaan yang satu ini. "Sejauh ini, para karyawan yang keluar selalu dipantau gerak-geriknya karena khawatir membocorkan data yang ada di dalam perusahaan. Seluruh dokumenn hasil analisis laboratorium hanya lah tipu-tipu belaka. Karena SDM memang tidak memadai dan peralatan tidak disediakan secara penuh." Haaah. Ferril menghela nafas dalam. Ia segera menghubungi salah satu karyawan Om-nya. Ia tiba-tiba teringat kejadian di mana ia pernah bertemu Echa di kantor Om-nya itu. Om Regan. "Ya, Pak Ferril." Salah satu asisten Om-nya langsung mengangkat teleponnya. "Ada dugaan pemalsuan data atas nama perusahaan Swastika Eka Graha terhadap hasil uji lingkungan yang pernah mereka lakukan. Saya lupa itu bulan kapan. Coba cek nama perusahaan itu di data perusahaan Om Regan, Pak Deri." Pak Deri mengiyakan. "Ah ya, analisa juga keterlibatan staf-staf Bapak atas masuknya penawaran uji lingkungan itu ke perusahaan. Mungkin pekerjaannya tampak sepele. Tapi berpengaruh besar terhadap masyarakat luas. Saya harap kasus semacam ini lebih baik ditangani." Pak Deri mengiyakan sekali lagi. "Saya butuh kelanjutannya dengan cepat. Pak Deri langsung bergerak cepat. Ferril menutup telepon. Ia mengangkat kedua kakinya ke atas meja sembari menunggu kabar dari Pak Deri. Lelaki itu muncul lagi setelah setengah jam. "Kebetulan mereka akan melakukan pengukuran lagi, Pak. Dengan kuantitas yang lebih besar. Bukan hanya perusahaan Pak Regan tetapi juga naungan Adhiyaksa Corp. Bahkan untuk seluruh Indonesia, Pak." Ia tanpa sadar menggetuk-getuk mejanya. "Cek segera siapa yang mulai melakukan penawaran. Segera keluarkan yang terlibat." Pak Deri mengiyakan. "Lalu untuk pengujian yang sudah terlanjur ini bagaimana, Pak?" "Untuk perusahaan Opa, lakukan saja. Tidak masalah. Tapi tanpa sepengetahuan manajer lingkungan, tolong cari perusahaan lain untuk mengukur dan bisa dipastikan kevalidan datanya. Untuk perusahaan Om Regan, saya kembalikan keputusan itu pada Om Regan." Pak Deri mengangguk-angguk paham. Ferril meremas pulpennya tanpa sadar. Ia bisa membayangkan berapa banyak yang berhasil lelaki tua itu dapatkan. Namun perlu diingat, ini adalah yang terakhir untuk perusahaannya. Ia tak tahu apakah pemerintah akan memeriksa kasus ini. Namun setidaknya ia sudah berjuang sampai di sini untuk Echa tanpa gadis itu tahu. Ia mengingat-ingat manajer lingkungan di perusahaannya dan Om-nya. Pelakunya jelas ada keterlibatan. Mungkin memang tak tahu kalau datanya sudah dimanipulasi. Kemungkinan besar itu. Tapi kalau tergiur dan ikut menikmati uang itu, jelas perilaku itu yang tak bisa diterima. Sekecil apapun nominal korupsi yang namanya korupsi ya tetap korupsi. Iya kan? @@@ Echa membereskan barang-barangnya. Ini sungguh perjalanan yang sangat mendadak. Ia menyiapkan barang seadanya. Rencananya akan bertemu dengan Nabila di terminal. Baik hatinya gadis itu bersedia berangkat dari Terminal Depok saja. Jadi mereka bertemu satu jam kemudian. Echa hanya mengenakan tas ransel. Mereka tentu saja akan tinggal di rumah Omanya Nabila. Echa sudah beberapa kali menginap di sana semenjak mengenal Nabila. Karena gadis itu tipe yang ramah jadi enak saja kalau mau datang menginap. Meski Echa adalah tipe gadis yang amat sungkan. "Ke mana, Cha?" Echa mendongak. Ia sedang mengikat tali sepatunya. Ibu kosnya muncul. "Mau ke tempat temen. Nginap beberapa hari," ujarnya yang dibalas anggukan. Ia juga berpamitan. Ia sengaja hanya mengatakan itu agar Ferril tak tahu keberadaannya. Hahaha. Meski mustahil juga sih. Maksudnya, Nabila kan kerja sama dengan playboy yang satu itu. Jadi pasti sudah tahu di mana keberadaan mereka. Keberangkatan ini memang sangat mendadak. Bahkan tidak ada di dalam rencana sebelumnya. Echa sudah menghubungi peneliti asing itu melalui email. Namun belum ada balasan. Tapi untuk persiapan, mereka memilih untuk berangkat ke Bandung saja. Ada kemungkinan para peneliti asing itu juga masih ada di Indonesia. Terutama di Bandung. Echa menyetop angkot di seberang kosnya yang mengarah ke jalanan menuju Terminal Depok. Letaknya tak begitu jauh. Dengan angkot ini, ia akan langsung dibawa lurus menuju Terminal Depok yang tampilannya sudah sangat modern dibandingkan dulu. Ia berjalan agak santai begitu keluar dari angkot. Menyeberangi jalan dengan menaiki jembatan penyebrangan. Kemudian menunggu kedatangan Nabila. Katanya gadis itu masih di jalan. Sementara itu, mobil Ferril baru saja melewati jalan di depan terminal itu. Takdir bukan? Ya tapi lelaki itu tak punya firasat apapun. Ia sedang sangat serius mendengar laporan dari Pak Deri, salah satu asisten Om-nya itu. "Saat ini masih kami selidiki. Tapi kemungkinan besar pelakunya adalah Pak Danu. Beliau bekerja sama dengan pemilik konsultan itu dan menerima sejumlah uang dari rekeningnya. Kami masih berupaya mendapat informasi dari perbankan namun akan sulit jika menyangkut orang luar." Ferril mengangguk-angguk. Ia sudah menduga. Pasti ada keterlibatan terkait pemenang vendor uji lingkungan tahun ini di perusahaan mereka. Apalagi perusahaan lama yang biasanya melakukan pengukuran sudah didepak. Kemungkinan besarnya memang hanya satu, yaitu Swastika Eka Graha memberikan nominal yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan sebelumnya. Ini memang hal lumrah. Korupsi terselubung. Tapi namanya tetap dosa bukan? Ferril juga sangat mengenal Pak Danu. Ia baru benar-benar tahu tentang sosok itu saat lelaki itu kaget mengetahui ia adalah anak Bundanya. Usut diusut, lelaki ini dulu pernah naksir Bundanya dikala kuliah. Papanya sih tak tahu-menahu. Ferril mendengar cerita ini dari Om Tio. Tio tahu kalau Danu bekerja di sana dan sudah sangat lama. Mereka memang satu perusahaan dan satu kantor sejak dulu. Namun posisi Tio selalu di atasnya hingga sekarang. "Segera eksekusi kalau sudah menemukan bukti yang komplit. Dan ketika mereka melakukan pengukuran nantinya, pastikan untuk dipantah secara diam-diam. Cek semua teknisi yang mengerjakan. Cek kelayakan mereka. Cek peralatannya juga dan segala hal. Bentuk tim darurat lingkungan yang paham terkait pengukuran ini. Bawa mereka untuk mengecek semua tim Swastika Eka Graha sebelum pengukuran dimulai. Langsung protes kalau ada masalah dan nyatakan penolakan jika tak memenuhi syarat. Kita berhak mengajukan hal itu," ujarnya yang di iyakan oleh Pak Deri di seberang sana. Ferril mengubah pikiran. Ia tiba-tiba tak ingin memberikan semua uang itu. Meski tentu saja sudah dibayar lima puluh persen sebelum pengukuran dimulai sesuai dengan perjanjian. Namun ia sedang mencari payung hukumnya terkait hal ini. "Kita hajar sampai laboratoriumnya. Kita telanjangi analisis mereka. Jangan lupa lapor media massa." Lagi-lagi Pak Deri mengiyakan. Ferril menutup telepon lantas menarik nafas panjang. Mungkin ia tak sedalam Echa yang memiliki integritas di bidang ini. Namun ia tetap mengusahakannya. Bukan hanya demi Echa. "Echaaaa!" Akhirnya Nabila muncul. Echa langsung beranjak. Mereka bergerak masuk ke dalam bus. "Lo gak ngasih tahu Ferril kan?" @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD