Prolog
Perempuan ini, kuamati dari bangku di belakangnya, ada yang berubah.
Seingatku, dia periang, berisik, tak kenal malu. Sekarang, dia berbeda jauh, bertolak belakang. Bukan dari penampilannya, dari dulu sudah terbalut gamis dan kerudung rapat, tapi tak pernah mengganggu segudang aktifitas ekstrim kami.
Sejak kedatanganku kembali ke Indonesia, dia berubah menjadi lebih introvert, pendiam, menunduk waktu diajak bicara, menghindariku sepanjang waktu. Apa ada yang salah denganku?
'Assalamu'alaikum'
Tulisku di secarik kertas, lalu beranjak dari kursi, dan berjalan untuk memberikan kertas itu padanya.
Dia terkejut dengan kehadiranku. Diambil dan dibacanya kertas itu, lalu mendongak terbelalak melihatku, menampakkan wajah yang selalu ia sembunyikan dengan menunduk.
Aku tertegun. Sejak kapan dia jadi secantik ini? Bola matanya hitam legam, kontras dengan warna kulit wajahnya. Bibir dan pipinya sewarna, merah muda. Hidung mungilnya itu, sejak kapan jadi menggemaskan?
Dia mengetuk meja dengan jari telunjuk yang lentik, membuatku tersadar dari kekaguman. Lalu menyorongkan kertas itu dan segera kuambil untuk k****a.
'wa'alaikum'
Hanya itu? Bukannya wa'alaikumsalam? Apa dia lupa menulis sisanya? Mana mungkin, dia Muslimah taat, berpakaian gamis dan kerudung rapat. Mana mungkin lupa cara menulis salam?
"Ada apa dengan balasan salam-mu?"
tanyaku meminta penjelasan.
"Aku menjawab salam seperti orang kebanyakan" jawabnya masih dengan kepala menunduk, tanpa melihatku, dan jawabnnya itu semacam dipaksakan.
Aku mendengus kesal, menggeret kursi di sebelahnya, lalu duduk. Dia melihatku sepersekian detik kemudian menjauhkan kursinya dariku. Fix! dia menganggapku kusta!
"Jangan tersinggung, aku hanya tak nyaman duduk berdekatan denganmu. Kita bukan mahram."
Haha, luar biasa..
Dia bisa membaca pikiranku?
"Oya? Bagaimana dengan balasan salam-mu?" tanyaku tak puas, masih penasaran dengan balasannya.
Kulongokkan kepala berusaha melihat buku apa yang dibaca, Muslimah Dunia Akhirat. Hmm, buku keagamaan yang cocok dengan image-nya.
"Apa yang perlu dibahas? Aku sudah menjawab salam-mu, kan?"
Percuma mengejar. Dia sulit ditangkap. Kuputuskan untuk mengambil Hp dari dalam tas, mengetik "balasan salam untuk non Muslim"
Benar dugaanku. Dia menjawab salam sesuai statusku Kafir, istilah bagi mereka yang cacat iman, tidak termasuk dalam golongan Islam, setidaknya itu yang pernah kudengar.
Ingin mengumpat sejadi-jadinya secara lisan, kalau tidak mengingat, perempuan ini adalah..
Aulia Purnamasari
teman masa kecilku.
Kami sudah berteman sejak masih ingusan. Tapi saat berusia 12 tahun, aku harus pindah ke Kanada, dan berpisah dengan Lia selama 6 tahun. Kemudian sebulan yang lalu, keluargaku kembali ke kota ini untuk merintis bisnis properti milik papa. Dan perempuan ini, adalah alasanku memilih kuliah di Universitas ini.
Perempuan ini dulu membuatku tergantung padanya. Meskipun berbeda agama, bukan masalah bagi kami. Dia menerimaku apa adanya, di saat yang lain mengejek karena aku berbeda. Dari segi fisik, karena aku keturunan warga negara asing dan dari segi agama, karena aku beragama Katolik.
Tapi itu dulu. Sekarang? Rupanya kenangan itu harus kutepis jauh-jauh. Kerinduanku padanya sedang dibayar kekecewaan seperti ini.
"Because i'm kafir, isn't it?" tanyaku menebak.
Dia melirik hpku lalu mengembuskan napas dan membanting punggung ke kursi. Tak berhenti disitu, dia juga memijat dahi, seperti sedang mengusir penat. Jelas terlihat bahwa dia tak senang menanggapi pertanyaanku.
"Aku tahu, banyak yang nggak suka istilah kafir. Tapi memang seperti itulah yang tertulis dalam kitab suci Al-Qur'an."
Oh, kali ini dia mau berbicara banyak padaku. Mungkin masih ada harapan untukku menjadi akrab dengannya seperti dulu lagi.
"That's why i don't wanna talk about it."
Tapi ternyata dia memasukkan bukunya ke dalam tas, beranjak dari kursi dan meninggalkanku pergi begitu saja.
Shoot!