Suara kicauan burung yang bertengger di atas kabel listrik menciptakan alunan yang indah dan merdu menyambut pagi. Mentari bersinar cerah dengan langit berwarna biru.
Aaron melangkah menatap diri pada pantulan cermin. Kemeja berwarna hitam dan celana jeans berwarna senada membalut tubuh proporsional Aaron. Tangannya meraih botol minyak wangi lalu menyemprotkan ke beberapa titik bagian tubuh. Helaan napas panjang keluar melalui mulutnya.
Pagi ini, ia akan pergi menghadiri prosesi pemakaman ayah Shena di tempat pemakaman umum. Langkah kaki Aaron membawanya keluar dari dalam kamar, lantas menghampiri keluarganya yang sedang sarapan bersama. Kedatangan Aaron membuat pandangan keempat orang di sana teralihkan.
"Kamu gak ke kantor, Bang?" Zoya bertanya kala melihat penampilan putra pertamanya itu.
"Gak, Ma. Aaron ada urusan penting hari ini," jawab Aaron yang tidak sepenuhnya berbohong.
Zoya ber'oh' ria sambil mengangguk beberapa kali. "Ya sudah, sekarang kamu duduk dan kita sarapan bersama."
"Maaf, Ma. Aaron harus berangkat sekarang, nanti sarapan di luar aja," ucapnya pamit.
Derry menatap pada Aaron dengan dahi sedikit menyerit. Ia berpikir kalau Aaron akan pergi ke pemakaman ayah Shena.
"Tunggu, Papa mau bicara sama kamu sebentar." Thony menyahut, sebelum Aaron mengambil langkah untuk pergi.
Thony menghela napas berat. "Papa minta, kamu bicarakan baik-baik dengan Angela tentang hubungan kalian. Kalau pun memang sudah tidak bisa lanjutkan lagi, Papa minta kamu jangan sakiti hati dia. Minta maaflah dengan tulus dan beri penjelasan pada Angela agar dia bisa menerima keputusan kamu," ujarnya dengan tegas.
Mendengar nama Angela membuat bayang kejadian yang menyayat hati kemarin terlintas dalam pikiran Aaron. Aaron terpejam sejenak, lalu tersenyum simpul dan menganggukkan kepala.
"Iya, Pa." Hanya itu yang bisa Aaron jawab. Mau bagaimana lagi? Jika Aaron mengatakan yang sebenarnya, bagaimana dengan nasib Derry? Apalagi nanti nama Angela pasti akan kotor di mata keluarganya. Aaron sudah cukup dewasa untuk bisa berpikir jernih tanpa merugikan orang lain, walau dirinya yang harus menanggung luka.
"Bang! Moza ikut nebeng ke sekolah ya," sahut adik bungsu Aaron.
Aaron berpikir tak apa jika mengantarkan Moza ke sekolah lebih dulu, toh satu arah juga. "Ya udah, ayo. Abang antar kamu."
Moza segera pamit pada orang tuanya dan juga Derry. Lantas membuntuti langkah Aaron keluar dari dalam rumah. Setelah keduanya sudah berada dalam mobil, segera Aaron melajukan kendaraan beroda empat itu membelah jalanan. Moza yang awalnya tampak enjoy menikmati pemandangan di luar kaca, tiba-tiba terbesit pertanyaan untuk Aaron.
"Bang, emang Abang mau ke mana?"
Aaron menoleh sekilas menatap sang adik. "Mau tau aja kamu," kekehnya menjawab.
Moza mengembungkan pipi. Di tatapnya penampilan Aaron dari atas kepala hingga ujung kaki. "Kalau Moza lihat-lihat, kok Abang kayak yang mau pergi melayat ya? Siapa yang meninggal, Bang?" tanyanya, setelah menelisik penampilan sang kakak.
Sebelum Aaron menjawab pertanyaan Moza, suara dering ponsel mengalihkan nya. Aaron mengeluarkan benda pipih canggih itu dari dalam saku celananya. Melihat nama Angela yang tertera, membuat Aaron mendengus pelan dan lebih memilih mengabaikan panggilan dari perempuan itu. Aaron masih sangat sakit hati karena kejadian kemarin.
"Telepon dari siapa, Bang? Kenapa gak diangkat?" Moza bertanya, penasaran.
"Gak apa-apa. Gak penting," jawab Aaron.
Moza mengembungkan pipi. Melakukan komunikasi dengan Aaron tidak senyaman dan seasik saat bersama Derry. Tapi Moza memakluminya, memang Aaron memiliki sifat yang sama dengan Thony. Dingin, acuh, dan tidak suka basa-basi. Apalagi saat moodnya dalam keadaan tidak baik, bisa hanya di respon dengan tatapan tajam saja oleh laki-laki itu.
Sepuluh menit telah berlalu, mobil Aaron berhenti di depan gerbang SMA tempat Moza menuntut ilmu. Moza segera melepas sabuk pengaman dan menyalami Aaron.
"Belajar yang benar," pesan Aaron.
Moza mengangguk. "Siap! Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Selanjutnya, Aaron kembali melajukan mobil menuju tempat pemakaman umum. Kemarin ia menguping pembicaraan Shena yang sedang menelepon dan pada saat itu.
♡♡♡
Satu persatu pelayat mulai meninggalkan tempat pemakaman. Menyisakan Shena dan Amanda yang masih enggan untuk pergi meninggalkan tempat peristirahatan terakhir ayahnya. Tangan Shena bergetar saat hendak menyentuh patok kuburan yang tertulis nama Yudha Atmaja. Sementara Amanda berdiri sambil memegangi tongkat hitamnya.
"Kenapa Ayah pergi secepat ini? Shena masih butuh Ayah, Shena gak tau harus apa setelah ini," ucapnya pelan ditengah-tengah isakan.
Ibunda Shena dan Amanda telah meninggal dunia saat berjuang melahirkan Amanda ke dunia. Setelah itu, mereka hidup bertiga melewati suka dan duka bersama. Yudha yang bekerja sebagai seorang petani bayaran, hanya mampu menyekolahkan Shena sampai lulusan SMA dan selama ini Shena bekerja sebagai seorang pelayan di kafe. Namun, kesederhanaan mereka selalu terasa hangat akan kebahagiaan. Hati yang tulus dan sabar menerima kehidupan, membuat mereka selalu merasa bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan.
Shena memeluk patok kuburan itu, derai tangis tak berhenti membasahi pipi. Bahkan kedua matanya sudah sembab karena semalaman menangis. Dan untuk mengikhlaskan kepergian seseorang yang begitu di cintai, bukanlah hal yang mudah.
"Kak, Manda tau ini gak mudah untuk kita. Tapi dengan cara kita yang terus menangisi kepergian Ayah, itu bukan solusi yang baik. Tugas kita sekarang adalah mendoakan Ayah, agar Ayah tenang di sana."
Shena masih sesegukan. Walau Amanda lebih terlihat tegar dari Shena, tapi siapa yang tahu kalau gadis itu juga memendam perih luka dalam hatinya. Apalagi dengannya yang kini tidak memiliki penglihatan, membuat Amanda ingin berontak untuk melihat wajah ayahnya untuk yang terakhir kali.
Dari jarak sepuluh meter, Aaron turut merasakan kepedihan atas kepergian Yudha. Terlebih lagi, ia adalah orang yang telah membuat Shena dan Amanda kehilangan ayah mereka. Aaron menyeka air mata yang hendak menetes. Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya memberanikan diri menghampiri mereka.
Melihat sepasang kaki yang berhenti di samping kuburan, Shena mendongak untuk melihat siapa yang datang. Lantas Shena berdiri menatap tajam pada Aaron.
"Mau apa kamu ke sini? Pembunuh seperti kamu, gak berhak ada di sini." Shena menatap Aaron dengan tatapan penuh kebencian.
Amanda terkejut mendengar ucapan kakaknya. Ia telah mendengar kronologi kejadian tabrakan kemarin. Dan dari ucapan Shena, itu berarti orang yang telah menabrak ayah mereka datang melayat.
"Saya turut berduka cita atas kepergian Om Yudha. Saya benar-benar minta maaf atas---,"
"Apa maaf kamu bisa menghidupkan kembali Ayah saya?!" sentak Shena, membuat tangisnya semakin kencang.
Amanda mencoba untuk meraih tangan Shena dan begitu mendapatkannya, ia menggenggam nya dengan erat. "Istighfar, Kak. Jangan terus menyalahkan orang lain atas kepergian Ayah."
Shena menoleh pada Amanda. "Tapi laki-laki ini yang telah membuat kita kehilangan Ayah! Dia yang telah membunuh Ayah, Manda! Dia adalah pembunuh!" jerit Shena semakin tak terkontrol. Amanda menjatuhkan tongkatnya lantas segera merengkuh tubuh Shena ke dalam pelukan yang erat.
Cukup! Aaron tidak bisa lagi menahan air matanya. Tidak peduli dengan imagenya sebagai seorang laki-laki. Hatinya terasa sakit telah membuat dua orang gadis kehilangan orang yang begitu mereka cintai. Aaron sangat mengerti dengan perasaan Shena dan Amanda saat ini.
Aaron melangkah mendekat, namun dengan secepat kilat Shena melarangnya.
"Stop! Jangan mendekat!"
Aaron menghela napas berat. Mengusap wajah beberapa kali. "Saya benar-benar minta maaf. Kejadian seperti ini, sama sekali bukan keinginan saya. Mungkin saya memang salah karena tidak berhati-hati dalam mengemudi dan saya sangat menyesali itu. Tolong maafkan saya," ujarnya menatap sendu pada Shena.
Amanda mengusap tangan Shena. "Kak, ini semua sudah menjadi suratan takdir dari yang maha kuasa. Kak Shena gak bisa terus menyalahkan Kakak ini," ucapnya mencoba memberi pengertian pada sang kakak. Karena dari apa yang Aaron katakan, Amanda bisa merasakan ketulusan dan penyesalan yang sungguh-sungguh.