Harta tahta dan wanita adalah tiga hal yang selalu diperebutkan oleh beberapa pria dan sangat berperan penting bagi kehidupan hampir sebagian orang. Harta berperan penting dalam menjalani kehidupan dunia yang fana ini. Sedangkan, tahta penting juga untuk orang-orang dari kalangan atas seperti keluarga William. Namun, untuk mempunyai seorang wanita, itu tidaklah terlalu penting bagi seorang Liandra William. Dia berpikir wanita hanya akan mempersulit semuanya, dia tidak ingin terbebani dengan adanya seorang wanita di kehidupannya. Pandangannya terhadap wanita sangatlah buruk, terutama saat dia harus menjalin hubungan dengan Ester satu bulan yang lalu.
Ester selalu membuntuti kemanapun dirinya pergi, membuat Lian jengah dan memutuskan hubungannya secara sepihak. Jika bukan karena hubungan bisnis Lian tidak akan pernah mau menjalin hubungan spesial dengan wanita itu. Akan tetapi Ester selalu mencari cara agar bisa memiliki Lian sepenuhnya, tak peduli apapun dan bagaimanapun caranya. Untungnya sudah seminggu ini Ester tidak terlihat membuat Lian mampu menghela nafas leganya.
Siang menjelang sore ini, Liandra akan menghadiri rapat di sebuah rumah berlantai dua. Rumah yang selalu menjadi tempat berunding antara dirinya dan juga orang-orang yang berada dibelakang nama William. Rumah itu tidak begitu jauh dari rumahnya. Rapat sengaja diadakan siang ini karena mereka semua tidak ingin didahului oleh pihak Erlin. Erlin dianggap musuh pertama bagi Liandra sekarang. Kematian kakeknya meninggalkan harta dan warisan yang begitu banyak, tentu saja yang sedang diincar Erlin adalah harta untuk dirinya dan tahta untuk anaknya.
Dengan masih mengenakan jas formal dan kacamata hitamnya, Liandra mulai memasuki kawasan rumah tersebut. Dia berjalan beriringan dengan Revano yang selalu setia berada di belakangnya.
Alan adalah pemilik rumah, meskipun rumah ini nampak sederhana dari luar tetapi di dalamnya banyak sekali hal-hal mengejutkan yang tidak bisa dicerna cepat oleh pikiran dan logika. Kini Alan sudah tiada, berarti yang memegang kuasa atas rumah ini adalah Liandra atau ____ Erlin.
Suara sepatu mahal menggema di sebuah lorong yang cukup panjang, ruangan X adalah ruangan yang paling rahasia di rumah ini. Ruangan itu didominasi dengan warna hitam dan putih, hanya sepuluh orang yang mempunyai akses masuk ke ruangan itu termasuk dengan Aderald-Orang kepercayaan kakeknya yang sudah dianggap sebagai pamannya sendiri. Tidak sembarang orang dapat masuk dan juga card itu tidak dapat di duplikat lagi. Hanya sepuluh sesuai dengan nama ruangannya X. Mungkin card yang dimiliki oleh mendiang kakek nya akan ia berikan pada Revano.
"Silahkan duduk Mr Liandra." ujar aderald mempersilahkan Liandra untuk duduk di kursinya. Lian segera duduk di kursi yang sering diduduki oleh Alan, mulai saat ini dia yang akan memegang kuasa. Sementara Revano duduk di kursi yang sering Liandra duduki.
"Bagaimana?" tanya Liandra memulai pembicaraan, dia tidak ingin berbasa-basi lagi. Karena ada banyak pekerjaan di luar sana yang perlu dikerjakan segera. Termasuk dengan pengurusan otopsi kakeknya.
"Nyonya Erlin sudah menyewa pengacara terkenal untuk meminta hak-Nya" ujar Reno-Kepercayaan kakeknya, dia bertanggung jawab mencari semua informasi dengan Reni-Adik kembarnya dan juga dengan Bimo.
Liandra mengangguk. "Paman, apakah kakek menitipkan sebuah surat wasiat pada paman?" tanya Liandra melirik ke arah Aderald pun mengangguk, lalu mulai membuka sebuah koper kecil, menekan beberapa digit angka sehingga koper tersebut otomatis terbuka.
Aderald membuka perlahan map berwarna gold, dia mulai membacanya dengan suara yang lantang agar semua orang yang ada disana dapat mendengar suara nya.
SURAT WASIAT
Pada Hari ini, Selasa tanggal 05 April 2018 bertempat di City Caladra, saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Alan Pardew William
Tempat tanggal Lahir : Amerika, 21 Oktober 1945
Bersama ini menerangkan Hal-hal berikut :
1. Bahwa, saya adalah pemilik hak yang SAH atas harta yang tercantum dibawah ini :
- Semua perusahaan di berbagai Negara ( Atas nama Alan Pardew William)
-Beberapa mansion, resort, apartment, rumah sakit, panti asuhan, villa, Dan sejumlah tanah bersertifikat lainnya atas nama (Alan Pardew William)
2. Bahwa, saya akan mewariskan Semua Perusahaan dan harta saya kepada cucu saya yang bernama LIANDRA WILLIAM. termasuk dengan Rumah X dan juga semua cardnya.
3. Bahwa, saya akan mewariskan mansion dan apartemen kepada ERLIN DELIANA
4. Bahwa, bagian warisan saudara Reza tergantung dengan pemilik harta baru. Yaitu, LIANDRA WILLIAM
Agar melaksanakan wasiat di surat ini, maka dengan ini saya mengangkat Aderald Rivaldo-Orang kepercayaan saya dan juga Mr.
Geraldo-Rekan kerja saya sebagai pelaksana surat wasiat ini.
Untuk melaksana kan surat ini saya menitipkannya kepada Aderald Rivaldo. Dan kepadanya saya telah dibuatkan akta atas keaslian surat ini.
Demikian surat wasiat ini saya buat dalam keadaan sadar, dengan di saksikan oleh :
1. Avian sanjaya olivier
2. Aderald Rivaldo
3. Mr. Aditama Geraldo
4. Mr. Zayn Johanes Ryandra
Liandra terkejut karena tidak percaya dengan keputusan kakeknya. Jika semua perusahaannya di berikan kepada dirinya, itu berarti pihak Erlin akan sangat marah dan tidak terima. Lian merebut surat itu dari tangan Aderald, lalu membacanya sendiri tanpa suara, surat ini memang asli.
Terdapat tanda tangan kakeknya sendiri dan juga beberapa orang saksi seperti Aderald, Avian-Ayah nya Victor dan arabella, Mr Geraldo Dan juga Zayn Johanes Ryandra. Lian mengernyitkan keningnya bingung, bertanya-tanya dalam hatinya. Siapa Zayn dan Mr Geraldo?
"Paman, siapa itu Mr. Zayn dan Mr. Geraldo?" tanya, meskipun penasaran tapi nada nya masih terdengar dingin.
"Mr. Zayn adalah anak dari Mr. Ryandra, bukankah anda tahu siapa Mr. Ryandra? Dan kita sangat mengenalnya dengan baik" jawab dan tanya Aderald.
Liandra mengangguk. "Ya aku tahu Mr. Ryandra dia adalah partner kakekku dan juga dia memiliki akses ke ruang X ini, tetapi yang aku tahu dia sudah tiada beberapa bulan yang lalu."
"Ya, dan anaknya yang menggantikannya, dia seumuran dengan anda. Dan sepertinya anda harus segera menemuinya" ujar Aderald kembali
"Kenapa Zayn yang harus mendatangi ini? Jika Mr. Ryandra sudah meninggal kenapa tidak dialihkan pada orang lain saja. Tidak adakah kepercayaan kakek yang lain?" tanya Liandra kembali, dia masih belum mengerti kenapa Zayn ikut menandatangani surat wasiat ini.
"Orang tua Mr. Zayn meninggal saat perjalanan kemari untuk menandatangani surat ini. Mereka terbunuh secara tragis juga, mereka terbunuh dengan keadaan fisik yang sudah tak utuh lagi di dalam mobilnya. Jadi Mr. Zayn lah yang paling berhak, dan itu sudah keputusan bersama antara kita." jelas Aderald membuat Liandra kembali mengerutkan kening.
Mobil..tragis..meninggal?
"Apa ada hubungannya dengan potongan puzzle? Kematian mereka sama persis dengan kematian orang tua ku. Apa jangan-jangan~"
Liandra kembali tersadar, mengusap wajahnya dengan kasar. Berasumsi tanpa bukti tidak akan membuahkan hasil, lebih baik dia cepat bertemu dengan Zayn dan cepat menyelesaikan semuanya.
"Lalu bagaimana dengan Mr. Geraldo?" tanya Liandra kembali.
"Untuk itu saya juga tidak mengetahui siapa Mr. Geraldo menurut kakek anda dia adalah orang terpenting di kehidupannya dan juga di kehidupan anda nantinya. Jadi anda harus segera menemukan keberadaan Mr. Geraldo" penjelasan Aderald membuat Lian menatapnya tajam. Dalam benaknya bertanya-tanya siapa Mr. Geraldo? Selama ini dia tidak pernah mendengarnya sama sekali. Dan dia harus mencari kemana Mr. Geraldo jika clue yang didapatkannya saja tidak lengkap.
"Mr. Liandra apa benar anda menginginkan sebuah otopsi?" ujar Adrian. Semua orang memandang tak percaya ke arah Adrian, karena telah menanyakan hal seperti itu pada Liandra.
Lian mengangguk, "Ya benar, saya ingin menegakkan keadilan untuk kematian kakekku aku yakin ada sesuatu dibalik kematiannya"
"Menurut saya lebih baik tidak melakukan otopsi. Selain kasihan pada Mr. Alan itu juga akan membuat masalah baru, saya yakin permasalahan ini akan tercium oleh publik karena banyaknya para wartawan yang penasaran. Saya tidak ingin para musuh memanfaatkan situasi ini, dan keadaan semakin rumit nantinya." jelas Adrian membuat semua orang terdiam, merenungi apa yang Adrian katakan, termasuk Lian.
Lian nampak berpikir, sesekali memandang mata semua orang yang ada di sana dengan tatapan tajam, beberapa saat kemudian seringaian kecil terbit di bibirnya.
"Ya, saran mu sangat lah bagus, terimakasih Adrian, saya akan mempertimbangkannya" ujar Liandra sembari tersenyum kecil.
"Kalau begitu, kita akhiri rapat ini. Sampai bertemu di pertemuan selanjutnya." sambung Liandra, membuat Adrian tersenyum. Senyum miring yang tak dapat diartikan oleh siapapun.
**
"Aku menginginkan otopsi. Bagaimanapun juga aku mengambil opini pertama mu Lian, aku setuju!" desis Victor menegaskan, setelah mereka berada di ruangan pribadi Liandra, di sebuah perusahaan yang disebut dengan kantor.
"Kenapa?"
"Kenapa apanya. Apa kau tidak curiga jika kakek Alan diracuni oleh wanita ular itu? Kau memang bodoh. Sial sekali kakek Alan mempunyai cucu seperti mu!" kesal Victor.
Liandra tertawa mendengar protesan kesal dari sahabatnya. Dia tersenyum sinis dengan tatapan mata setajam elang menatap ke arah depan, tepat ke jendela. "Aku akan mengotopsi nya tiga hari lagi, kita lakukan secara diam-diam. Apa kau tidak lihat bagaimana cara Adrian berbicara?" Liandra menaik turunkan alisnya. Menatap Victor dengan bibir yang ia Sunggingan ke atas.
"Maksudmu?"
"Hidup itu layaknya potongan puzzle Victor, kita harus menyusunnya secara benar. Banyak puzzle yang nampak sama tetapi kenyataannya berbeda. Kau tahu bisa saja aku menuduh mu sebagai seorang pengkhianat? " Lian menaik turunkan alisnya. Membawa tangannya untuk menyentuh dagunya sendiri.
Untuk sesaat Victor terdiam, mencoba mencerna perkataan sahabatnya,
Susunan...Puzzle...Pengkhianat.
Tiga kata itu dicerna baik oleh Victor sehingga beberapa detik kemudian, dia juga ikut tertawa. Menertawakan pembicaraannya. Rupanya yang bodoh disini adalah dirinya, otak Liandra memang tidak dapat diragukan lagi.
"Haha! Kau memang cerdik Lian." ujar victor, "Aku tidak salah bersahabat denganmu" sambungnya kembali, Liandra tersenyum senang. Orang ketiga yang ia percayai adalah Victor. Dia akan membagi semua keluh kesahnya pada Victor, sahabatnya. Liandra akan terus mengumpulkan kepingan puzzle itu sampai benar-benar sempurna.
"Minggu depan, temani aku bertemu dengan Zayn Di Paris. Apa kau bisa?"
"Kau dan aku diundang untuk menjadi tamu di sebuah kompetisi Fashion di perusahaan pamanku. Sebaiknya Setelah acara selesai kita baru terbang ke Paris" balasnya, membuat Liandra mengangguk.
"Ya, oke." jawab Lian singkat, dia kembali ke mejanya lalu mulai menandatangani dokumen-dokumen penting yang dikirimkan oleh sekretarisnya, Revano.
Sementara Victor pamit undur diri, karena dia akan mengecek sebuah desain terbaru di perusahaannya.