4. Such a bitter reality

1210 Words
Sekitar jam dua pagi. Lisha berjalan keluar dari Bar sendirian, Lisha benar-benar mabuk. Dia melepas sepatu hak tingginya dan berjalan terhuyung-huyung di tengah jalan. Lampu mobil yang terang benderang menarik perhatiannya. Lisha membeku di jalan, bingung harus melakukan apa selain melihat lampu mobil itu. Berdiri di sana, tanpa daya menyaksikan mobil sport hitam melaju lurus ke arahnya. "Aduh..." mobil itu berhenti tepat di depannya. Tetapi Lisha malah tidak sadarkan diri. Sementara itu, didalam mobil dampak dari rem mendadak menyebabkan orang dibelakang yang sedang beristirahat dengan mata tertutup terperangah kaget dari tempat duduknya. Dia membuka matanya dengan kerutan tidak puas di wajahnya. Dia melirik Revano, orang yang mengendarai mobilnya. "Apa yang terjadi, Revano?" "Tuan, seseorang muncul didepan mobil entah dari mana, tapi saya menginjak rem sekeras yang saya bisa. Saya tidak menabrak orang itu, saya yakin itu pasti pemeras." "Pergi dan lihatlah!" perintah Lian tegas. "Baik, Tuan." Revano segera keluar dari mobil untuk memeriksa orang itu. Hal pertama yang terlihat dibawah lampu jalan adalah seorang wanita cantik yang berbaring di depan mobil mereka tidak sadarkan diri. Ketika Revano pergi untuk melihat lebih dekat, dia mencium aroma alkohol yang kuat pada dirinya. "Dia sepertinya bukan pemeras, melainkan mabuk" pikir Revano dalam hati. "Hei Nona, bangun!" Revano terkejut, ketika dia menyingkap rambut dan mengenali siapa orang di depannya. "Bukankah dia nona Talisha, pacar Tuan Reza? Bagaimana dia bisa sampai disini? Di tempat seperti ini? '' Revano bertanya-tanya kebingungan. Untungnya, Revano yang menemukan Talisha. Jika itu orang lain, dia mungkin akan ditabrak atau di manfaatkan sebagai pemuas nafsu lelaki hidung belang. Revano tidak berani mengambil keputusan sendiri tanpa persetujuan dari majikannya. Jadi dia bergegas kembali untuk memberitahukan perihal ini pada bosnya. "Tuan, orang yang terbaring tak sadarkan diri di depan mobil adalah pacar tuan Reza, Nona Talisha Aprilya dia kelihatannya sangat mabuk ..." Mata Liandra terbuka lebar. Dia ingat, gadis itu adalah gadis yang pernah Reza kenalkan padanya. Sosok wanita cantik dengan senyum yang manis. Dengan kerutan kening serta keraguan di mimik wajahnya, Lian menyuruh. "Bawa dia kedalam mobil." Begitu Revano menerima keputusan, dia segera mengangkat tubuh Lisha ke mobil sekaligus mendudukkannya di kursi penumpang, tepat disamping Liandra. Lisha merasakan berat pada sekujur badannya, dia berbaring didalam mobil. Sesekali bergumam, membuka matanya dan kemudian menatap kosong pada pria yang duduk di sampingnya lalu menekan dahinya di antara alis matanya, "Siapa kau?!" Pria itu berbalik untuk menatap, dengan ekspresi yang tetap datar di wajahnya. Lisha membelalakkan mata karena mengenali siapa pria yang berada di sebelahnya. Dia tergagap, "Li-liandra? It ... Ini anda!" Liandra mengabaikannya dan menyuruh Revano untuk langsung pergi ke rumah Reza. Ucapan nama Reza dari mulut Liandra membuat Lisha menggeram tak suka, "Aku tidak ingin pergi ke rumahnya. Aku sudah putus dengannya!" "Putus?" Liandra mengulangi kata-katanya dengan santai dan mengangkat satu alisnya. "Ya, kami sudah putus ..." Lisha mendengus. Air mata memancar keluar dari matanya begitu dia mengingat apa yang terjadi sebelumnya hari itu. Lisha menangis dan melanjutkan perkataannya, "Dia tidur dengan wanita lain... Dan ditahan di kantor polisi dengan tuduhan prostitusi." Lisha dengan sengaja menggambarkan masalah ini dengan nada serius. Tanpa menyadari bahwa dia seperti gadis kecil yang manja yang merengek minta di belikan mainan, seperti siswa sekolah dasar, yang mengeluh kepada gurunya. Lian memicingkan matanya pada kata-kata Lisha yang cukup menarik, "Prostitusi?" Sebenarnya, Lian tidak pernah meminta terlalu banyak pada Reza, karena ia tidak benar-benar memiliki hubungan darah dengannya. Dia tidak peduli dengan pergaulan Reza selama Reza tidak menyeret nama keluarga William ke lumpur dengan tuduhan seperti, "pelacuran?" lirihnya pelan. Bertepatan dengan hari kematian kakeknya, Lian mengeraskan rahangnya. Bisa-bisanya Reza melakukan hal keji itu disaat keluarganya tengah berduka. "Mr. Liandra anda perlu memberinya pelajaran serius!" Lian sengaja mengabaikan ucapan Lisha karena kali ini ia rasa cukup menjadi pendengar bukan penasehat. Lisha pun berasumsi bahwa Lian tidak mendengar apa yang dia katakan. Jadi, Lisha bergerak lebih dekat ke arahnya. Dia mengangkat kerah kemeja warna putih yang dipakai oleh Lian menariknya lebih dekat ke arahnya dan berkata, "Apakah anda mendengar apa yang saya katakan, Mr Liandra?" Lian mengerutkan kening dan menarik tangannya, menyebabkan Lisha kehilangan keseimbangan dan kepalanya jatuh terlebih dahulu ke pangkuannya, dekat ke daerah pribadinya. Jelas, ketika Lisha membuka mulut untuk bernafas, aroma alkohol dikombinasikan dengan napas hangatnya menyebar di sekitar area pribadinya, yang hanya ditutupi oleh dua lapis kain tipis. Lian berusaha untuk mengatur napasnya sejenak. "Anda harus memberinya pelajaran!" suara Lisha lembut dan terkesan memikat. "Aku harus memberimu pelajaran dulu. Baru memberi pelajaran pada Reza." Lian mendorong kepala Lisha dan berbisik dengan suara serak, "Bangun!" Berani sekali dia merayunya di mobil ku sendiri? Apakah Lisha sengaja melakukan ini? "Reza benar-benar b******n! Dan anda, pasti b******n juga. Semua pria di dunia ini memang brengsek..." celoteh Lisha, tetapi dia malah bersandar pada tangan kokoh Lian dan menolak untuk duduk tegak. Dia bertingkah seperti anak manja yang berubah menjadi nakal. Dalam keadaannya yang berbeda, mungkin dia tidak akan berani kepada Lian, karena dia takut akan kekejaman dan semua issue tentang Lian yang orang lain bicarakan. Namun pada saat ini, dibawah pengaruh alkohol. Lisha benar-benar gegabah, dan dia memuntahkan omong kosong apa pun yang muncul di kepalanya, tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. "Reza bilang aku harus membiasakan diri dengan hubungan gelapnya dengan wanita lain selain diriku sendiri. Persetan dengannya, b******k tak tahu malu itu! " Lisha mengumpat dengan marah, lalu dia mengalihkan amarahnya kepada Lian. "Kau mungkin sama seperti dia...dan kau sendiri adalah seorang CEO, jadi kau juga dikelilingi oleh kawanan wanita. Cukup untuk mengisi stadion sepak bola, yang selalu menjilati tubuh anda sepanjang waktu, kan? " bahkan, kata-kata Lisha sudah berani, dia tak lagi memakai bahasa formal dalam memanggil Lian. Lian mulai kehilangan kesabaran, lambat laun ekspresi tidak senang muncul di matanya. Dia menyadari betapa sulitnya menghadapi seorang wanita mabuk. Lian berusaha mendorong kepala Lisha, tetapi dia terus jatuh dan kemudian berpegang lagi padanya dan bersandar di d**a bidangnya seperti permen karet yang melekat di baju. Lisha benar-benar telah kehilangan semua rasa malunya. Kecerobohan Lisha tidak berhenti disitu. Dia mengulurkan tangannya dan meletakkannya di paha Lian. Dengan senyum konyol di wajahnya, Lisha berkata kepadanya. "Liandra, sepertinya kau kuat untuk bermain, ah apa yang ku katakan kau tak akan kuat jika bermain denganku." Itu adalah tarikan yang mematahkan sisi liar dari tubuh Liandra. Sekarang Lisha mempermainkan kebanggaan dan kejantanannya Lian. Dalam keadaan marah yang tidak dapat diatasi, Lian Langsung mencekal kasar lengan Lisha. Lisha tidak menunjukkan tanda-tanda takut. Dia membalasnya dengan senyuman manis dan menatap mata Lian berani. Mata Lisha yang indah menghipnotis, tetapi terlihat bengkak akibat menangis. Karena perselingkuhan yang dilakukan oleh Rosa dan Reza masih terlalu tajam untuk menjadi kenyataan. Ketika bibirnya yang subur dan berwarna merah ceri terbuka untuk berbicara, Lisha sepertinya telah memikat seorang pria untuk berciuman dengan penuh gairah. Lian kembali memikirkan, bahwa itu adalah bibir yang menghembuskan aroma alkohol yang membakar di sekitar area pribadinya beberapa saat yang lalu. Wanita ini adalah succubus penuh nafsu! "Sialan, kau wanita yang ceroboh. Kau menggodaku lebih dulu, kau telah membawa ini pada dirimu sendiri!" gertak Lian. Lian mendadak kehilangan akal sehat ketika dia menggenggam bagian belakang kepala Lisha atau lebih tepatnya menjambak rambut Lisha dengan tangannya yang besar. Menarik wajahnya lebih dekat dan dengan bersemangat menekankan bibirnya ke bibir Lisha, menelan kata-katanya yang mabuk. "Uh ... " semua celoteh mabuk Lisha yang tak terucapkan ditelan oleh ciuman keduanya yang tak pernah puas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD