---
Kabar perselingkuhan Fahmi sudah bukan rahasia lagi. Bahkan saat Sasha singgah di kios kecil dekat warung makan Fatimah—untuk membeli bahan makanan—pemilik kios tersebut mengelus bahunya.
Kata-kata yang keluar berupa penyemangat, bahkan sampai memberikan bonus satu kaleng ikan sarden. Lumayan, itulah yang ada dalam pikiran Sasha, meskipun sebenarnya ia malu dikasihani seperti itu.
Tadi Rara menghampiri Fahmi untuk memberikan pelajaran. Setelahnya kembali ke dapur dan tertawa kencang. Katanya berhasil membuat kaki Fahmi merasa panas karena tak sengaja menumpahkan air panas ke tanah. Maka pria itu mendapatkan percikan.
Ya, beruntung Rara menggunakan sepatu kets dan celana panjang, maka terhindar dari rasa panas membakar kulit. Lalu tentang perempuan yang bersama Fahmi, Rara hampir muntah saat menceritakan perhatian Fani terhadap pria itu.
Sasha mendengarkan dengan seksama. Hanya untuk menyimpan dalam hati dan menjadikan sebagai senjata.
Seperti biasa, selepas berbelanja kebutuhan makanan, ia menjemput Alvaro di rumah Indri. Wanita itu masih sama baiknya, tak ada yang berubah, Sasha sendiri bingung akan membalas kebaikan itu dengan apa.
"Al, kalau udah gede dan sukses, balas kebaikan umi, ya," ucapnya lembut pada sang anak yang berada dalam gendongan. "Al, sayang umi, 'kan?"
"Sayang dong," ujar balita itu, "sayang Mama juga."
"Aah ... gemesin banget, sih, kamu." Mengecup pipi itu.
Sasha menghela napas sebelum masuk ke rumah tempat huniannya. Dipererat gendongan pada sang anak, lalu mengangkat dagu demi menghilangkan sikap intimidasi.
"Assalamualaikum," salamnya, sembari masuk ke dalam rumah.
Ada Fahmi dan sang ibu mertua tengah duduk mengobrol di ruang tamu. Kelihatannya pembicaraan yang cukup serius dan tidak jauh-jauh dari Sasha. Sebab, bisa dilihatnya Rahmi langsung menghentikan ucapan ketika melihatnya masuk ke rumah.
Ah, wanita iblis, begitulah Sasha juluki ibu mertuanya. Tak diindahkan, Sasha berjalan ke kamar, menurunkan Alvaro di sana. Anak itu langsung tahu situasi, melangkah menuju sudut kamar sembari membawa mainannya.
Sasha bangkit dan menuju dapur, tatapan Fahmi tak lepas dari dirinya. Tak diacuhkan, sampai pria itu menyusulnya menuju dapur.
"Kamu apain ibu?" tanya Fahmi.
Sasha hanya menoleh sekilas lalu kembali menyiapkan talenan untuk memotong bawang. "Emangnya aku apain ibu? Seharian ini aku belum ngomong sama ibu."
"Katanya kamu bikin dia tersinggung." Fahmi terdengar mengintrogasi.
"Di bagian mananya?" tantang Sasha, sembari menatap mata itu.
Dulu, ada ketenangan di sana, seakan Sasha merasa terlindungi dari bahaya apapun. Sekarang, sudah tak ada lagi, yang ada hanya rasa benci, bengis, dan emosi yang meluap-luap. Sasha bingung, salahnya ada di mana?
Berharap semua akan kembali seperti dulu, rasanya tidak akan mungkin terjadi. Saat itu ayah dari Fahmi masih hidup, punya pekerjaan yang bisa menghidupi anggota keluarga. Sekarang beliau sudah berpulang, perubahan Fahmi ada karena tak sanggup menanggung beban.
Seharusnya pria itu membagi dengannya, Sasha bisa bekerja, seperti saat ini. Namun, yang ada malah semakin parah, Fahmi tak layak dikatakan manusia, sudah diberi makan, malah menantangnya terus. Begitu juga Rahmi.
"Kamu bilang, dua hari ini ibu cuma numpang makan di kamu!" geram Fahmi.
"Memangnya ada yang salah dengan kata-kata itu?" Sasha menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan perlakuan anak dan ibu itu. Semoga saja anaknya tak menuruni sifat keduanya. "Aku juga sadar cuma numpang di sini, makanya ngasih makan ibu, cuciin bajunya, bersihin rumah. Tapi nggak ngeluh."
"Oh, udah berani, ya?" Fahmi maju beberapa langkah.
Sasha menantang tatapan itu, detik kemudian dapat dirasakannya perih di pipi kiri, kemudian berganti ke kepala. Tak membalas, meski sedang menggenggam pisau dapur. Sasha cukup sadar untuk tidak melakukan hal jahat, karena anaknya sendirian di dunia ini.
"Masih mau ngebantah kamu! Hah?" Suara berat itu menggelegar, terdengar menusuk telinga Sasha.
Ia diam, tak membalas, membiarkan Fahmi terus menjadikannya samsak. Tak ada tangisan, Sasha tak ingin terlihat lemah lagi, karena tidak ada seorang pun yang mampu menolong.
Ketika pukulan itu terasa di matanya, Sasha sontak melepaskan pisau di tangannya dan memegang mata kanan yang kini berkunang-kunang.
"Makanya, jangan ngebantah, jadinya kena pukul, deh." Terdengar suara Rahmi dari arah ruang tamu.
"Minta maaf ke ibu!" sentak Fahmi. "Minta maaf ke ibu!"
"Halaaah ... orang kayak gitu, nggak bakal dia minta maaf."
Apapun yang masuk dalam telinga Sasha, terdengar begitu memuakkan. Kaki berjalan menuju wanita itu, mengucapkan maaf adalah hal yang diminta Fahmi, akan dilakukannya jika itu membuat mereka diam.
Sasha juga salah, harusnya ia tak membantah Rahmi, dan membiarkan wanita itu berbicara sendiri tanpa ada yang menyahuti. Ditatapnya mata ibu mertuanya, sebuah keinginan besar dalam hati, ingin sekali mencakar wajah itu.
Sasha memendam niat tersebut. Semua ini akan ada waktunya untuk terlepas dari mereka.
---
Sebuah pembelaan dari Fatimah membuat Sasha harus repot-repot menahan wanita itu, dikala menyerang Fahmi yang sedang makan di warung tersebut bersama seorang perempuan.
"Istri lagi kerja, kamu malah selingkuh!" Fatimah mengucapkan itu berkali-kali.
Semua pasang mata pelanggan menatap ke arah mereka. Sasha kesusahan menyembunyikan lebam di wajahnya dengan rambut yang hari ini sengaja tak diikat.
"Bu, udah, Bu," ucap Sasha, menarik Fatimah untuk menjauh.
"Kamu juga mukul dia! Di mana hati kamu, Fahmi! Ini istri kamu, lagi kerja buat nyari makan. Seharusnya sebagai laki-laki kamu malu!" Fatimah masih saja melayangkan ucapan-ucapan tersebut.
Fahmi diam, mendengarkan setiap perkataan wanita itu dengan bibir tertarik ke atas, seakan tak peduli. Sedangkan perempuan di sebelah Fahmi, terlihat ketakutan.
"Kamu dididik dari kecil, bukan jadi kriminal kayak gini pas udah gede. Ingat anakmu!" Meskipun tak dipedulikan oleh yang bersangkutan, Fatimah masih saja berseru keras.
Sebuah langkah kaki terdengar mendekat, dalam hitungan detik, Sasha mendapati dirinya bertatapan dengan seorang wanita cantik, dengan pakaian rapi membaluti tubuh. Ya, ia mengenal wanita itu, seorang dokter yang rumahnya berada di seberang jalan raya.
Dokter Maya menggelengkan kepala, kemudian berdecak. "Mau ikut saya ke polisi? Yang begini bisa dipidanakan, polisi bakal langsung ambil tindakan," ucap beliau.
Sasha tak mengerti, mengapa di dunia ini terdapat banyak orang baik, membelanya tanpa berpikir telah ikut campur dengan masalahnya.
"Anda siapa, ikut campur sama urusan rumah tangga saya?" Akhirnya suara Fahmi terdengar, menantang Maya dengan gelagat tak tenang. Takut?
Sasha merekam semua itu, mungkin bisa dijadikan senjata jika nanti akan terjadi lagi hal serupa. Ya, pria itu pun sama, takut menghabiskan waktu di buih.
"Saya hanya sedang menawarkan, terima atau tidak terima, itu keputusan istri Anda." Maya membalas ucapan tersebut, lalu beralih pada Sasha. "Nama kamu siapa?"
"Sasha," jawab Rara, yang berdiri tak jauh dari sang ibu. Nampaknya Fatimah sudah bisa lebih tenang.
"Jadi, Sasha, mau ke kantor polisi? Nanti saya antarkan." Maya masih saja menawarkan.
Fahmi langsung mendekat, menatap Maya dengan tatapan mengintimidasi. Namun, wanita itu sama sekali tak gentar, tetap menatap Sasha untuk menunggu jawaban.
"Anda nggak ada hak ngurusin Sasha." Gangguan ketenangan Fahmi sangat terlihat jelas.
"Ada, sesama manusia kami harus membantu. Karena Anda bukan golongan kami, makanya berpikir bahwa saya tidak berhak menolong sesama," balas Maya, masih dengan suara penuh ketenangan. "Terlihat jelas kamu ketakutan sekarang."
Fahmi terkesiap, wajah itu menjadi kaku. Tawa kecil terdengar dari pengunjung yang lain. Ya, Sasha tahu bahwa pria itu sekarang menjadi bahan olok-olok pelanggan warung Fatimah. Jujur, ia senang mendapati suasana ini.
"By the way, Sasha. Kalau berubah pikiran, bisa temui saya," ucap Maya, kemudian berlalu menuju kasir.
Ancaman wanita itu sungguh berpengaruh. Sebelumnya Sasha tak pernah berpikir untuk membawa kasus ini ke polisi, tetapi sekarang sudah dipikirkannya untuk melakukan hal itu jika saja Fahmi akan mengulang kesalahan.
-