Beginilah kehidupan baru Jesika. Setelah menikah dengan Jason gadis cantik itu memilih untuk berhenti dari kuliah dan menjalani peran sebagai seorang istri dengan baik.
Tidak ada kegiatan yang Jesika lakukan setelah Jason berangkat kerja. Berguling dengan selimut sembari bermain hp sudah jadi kebiasaannya setiap pagi delapan bulan terakhir.
Jesika menyibakkan selimut. Berdiri dengan malas berjalan ke arah pintu yang belnya sudah berbunyi sejak tadi.
"Kau masih tidur?" Mira menatap heran muka bantal Jesika.
Jesika membuka pintu lebar, memberi akses untuk Mira dan Aira untuk masuk.
" Dih, menganggu saja kalaian ini."
Mira hanya bisa menggeleng heran. Masuk kedalam rumah Jesika begitu juga dengan Aira.
"Kau sudah makan, Jes? Ini aku bawa makanan," Aira meletakkan paper bag di atas meja. Sembari menyapukan pandangan mengamati seisi ruangan.
"kau tidak berniat beli rumah, Jes?"
Jesika melirik Aira sekilas. Meletakkan kembali sendok, membatalkan niat melahap makanan yang di bawa kedua sahabatnya itu. " Memang kenapa dengan rumah ini?" Jawab Jesika malas.
"Kau sudah menikah delapan bulan, Jes. Gak ada niat punya rumah sendiri gitu?" Aira menyandarkan punggungnya. Duduk mendekat ke arah Jesika. " Aku bahkan baru menikah satu bulan, Jes. Dan yach, kau tau sendiri bagaimana kehidupan ku sekarang."
Jesika membuang nafas kasar. Inilah alasan sebenarnya gadis itu malas untuk membuka pintu tadi. Ya, itu karena Aira. Sahabatnya itu sekarang sering pamer kehidupan nya yang jauh lebih baik dan selalu membandingkan dengan kehidupan Jesika.
"Standar kebahagiaan orang-orang beda, Ra," Sahut Mira. " Jesika bahagia dengan standar pilihan hidupnya. Iya kan, Jes?" Mira melirik sekilas Jesika yang masih aja terdiam. " Lagipula tidak ada yang salah dengan rumah sewa."
"Terlalu konyol saja, Mir," Sanggah Aira lagi. "Coba kamu bayangkan gadis secantik Jesika bisa saja menikahi pengusaha kaya layaknya suamiku. Tapi coba kau lihat, seleranya hanya seorang pegawai pemerintahan." Aira menggeleng heran.
"Tidak ada yang salah dengan pegawai pemerintahan," Jawab Jesika santai.
"Suamiku akan tetap mendapatkan gaji setiap bualan selama negara ini baik-baik saja. Lagi pula bukankah dulu mantan kekasih mu gagal empat kali saat ujian pemerintahan?" Ucap Jesika sarkas . "Itu kan alasan hingga kau menikah dengan yang lain." Sebelah sudut Jesika terangkat. Tersenyum sinis.
"Sialan! Kau, Jes. Kenapa bahas laki-laki itu lagi? " Kesal Aira tak terima.
"Kau yang memulai, Ra. Kau selalu saja merendahkan pekerjaan suamiku yang hanya pegawai pemerintahan," Jesika mendengus kasar. Mencoba menahan emosi yang mulai terpancing. " Harusnya kau yang harus waspada disini, perusahaan suami mu bisa bangkrut kapan saja kan? Nikmatilah semua itu, Ra. Sebelum itu benar-benar menjadi kenyataan."
"Kau___!" Aira berdiri seketika. Memandang Jesika penuh amarah.
"Jes, Ra, Please. Kalian ini kenapa sih?" Mira menegahi.
Jesika mengangkat kedua bahunya. Tak peduli. " Aku hanya bicara fakta, Mir."
Aira menghentakkan kakinya kesal.
"Sudahlah! Susah memang kalau bicara sama orang yang seleranya rendahan."
Aira beranjak pergi dengan membanting keras pintu.
Mira menggeleng heran. Aira berubah menjadi gadis menyebalkan yang suka pamer setelah menikah.
****
"Sayang....." Jason mendorong pintu pelan. Tersenyum cerah melihat sang istri yang tertidur pulas di sofa dengan televisi yang masih menyala.
Jason mendekat. Membelai lembut pipi sang istri. "Sayang." Tak ada reaksi dari Jesika. Wanita itu masih terlelap dalam mimpinya.
Jason semakin mendekatkan wajahnya. Memberi kecupan singkat pada bibir ranum sang istri. Namun, kecupan singkat itu tidak membuat Jason puas. Laki-laki itu kembali memberikan kecupan pada bibir sang istri. Menyesap bibir ranum itu semakin menuntut.
Perlahan mata lentik Jesika terbuka. Merasakan sapuan hangat bibirnya yang begitu memabukkan hingga tanpa wanita itu sadari kedua bibir itu kini semakin menyesap satu sama lain.
"Sayang." Jason berucap dengan suara yang berat saat pertemuan bibir keduanya berakhir.
Kedua kening mereka beradu. Menatap satu sama lain penuh damba. Perlahan pandangan Jason beralih pada leher jenjang milik sang istri. Dengan cepat laki-laki itu mulai menyesap, menjelajah setiap inci leher indah mempesona Jesika.
Setelah menjelejah leher hingga perut sang istri. Jason mendongak. Menatap wajah sayu sang istri penuh damba. Jesika mengangguk cepat, memberi izin sang suami untuk melakukan semua yang dia inginkan.
****
Jesika memeluk erat tubuh Jason, menjadikan tangan kekar sang suami sebagai penyangga kepala. Setelah pergumulan panas keduanya tubuh Jesika serasa remuk dan sangat lelah. Hingga sekedar membuka matapun enggan wanita itu untuk melakukan nya.
Jason membelai lembut rambut sang istri. Mencium kening wanitanya yang mulai terdengar dengkuran halus.
"Sayang, kamu tidur?"
Jesika menggeleng. " Hanya, lelah."
Jason semakin mendekap tubuh mungil Jesika. Memper sempit jarak dianta keduanya.
"Sayang. Ada satu hal yang harus aku katakan."
"Hemm... Tentang apa?"
"Sayang, Apapun yang terjadi kamu akan percaya padaku, kan? Akan selalu bersamaku?"
Jesika mengangkat kepala. Menatap sang suami dengan dahi berkerut.
"Pertanyaan macam apa itu?" Jesika menggeleng heran. "Tentu saja aku percaya. Kalau tidak, mana mungkin aku menikah mau dengan mu."
"Sebenarnya hari ini aku keluar dari pekerjaan ku."
Hening beberapa saat. Hingga beberapa detik kemudian Jesika melepaskan pelukannya pada tubuh Jason. Duduk bersandar pada dinding kasur dengan selimut menutup sampai leher wanita itu.
"Apa yang kamu bicarakan barusan?" Jesika meyakinkan diri bahwa yang barusan yang ia dengar adalah salah.
"Aku keluar dari pekerjaan ku, Yang."
"Apa???" Jesika sedikit berreriak. Kaget.
"Kau becanda kan, Sayang? Ini sungguh tidak lucu!"
"Aku tidak bercanda, Jes. Aku serius. Sudah ku pikirkan matang-matang."
Jesika mendengus kesal.
"Bagaimana mungkin kau mengambil keputusan besar tanpa berdiskusi denganku, Jason?" Jesika menatap lekat kedua manik mata sang suami. "Bagaimana degan kita kalau kamu berhenti bekerja, Hem?"
"Maafkan aku tentang itu, Sayang. Tapi aku hanya ingin cepat mewujudkan impian kamu. Tidak mungkin aku memintamu untuk tinggal di sini selamanya, Bukan? Aku hanya ingin kamu bahagia, Jes. Itu saja." Jason mencoba meyakinkan Jesika.
"Mewujudkan impian? Dengan uang apa? Jika kamu malah berhenti bekerja."
"Aku yakin, akan mudah mendapatkan investor yang mau menanamkan modalnya pada perusahaan yang akan aku bangun, Sayang. Percayalah."
Jesika menghembuskan nafas kasar.
"Jika gagal?"
Jason menarik tubuh Jesika kedalam dekapannya. "Tidak, Sayang. Aku pastikan tidak akan gagal." Janji Jason penuh dengan keyakinan.
Jesika hanya diam dalam dekapan sang suami. Menikah dengan Jason yang merupakan pegawai pemerintahan adalah impian sederhana Jesika.
Tapi, lihatlah sekarang. Jason sang suami memilih mewujudkan mimpi yang lebih besar dari sekedar menjadi ibu rumah tangga dari seorang pegawai pemerintahan..