“kamu datang sendirian?” pertanyaan ini keluar dari bibir Nyonya keluarga Dicther. Sang presiden direktur bernama Laila. Duduk di sebuah kursi putih yang melingkari sebuah meja sama putihnya, meja tersebut menawarkan bunga lavender yang ia tanam dari kebunnya sendiri. Jemari Perempuan tersebut tengah menelusuri kaca kristal bening, vas bunga lavender kesayangannya. “Maaf,” Bramantyo menundukkan wajahnya, sebelum mengangkatnya dan memberikan senyuman terbaik. lelaki yang memberi sorotan dari mata abu-abunya tersebut menatap neneknya dengan rasa hormat. dia bahkan tidak berani duduk sebelum diberi kesempatan oleh sang nenek, “saya tidak sepandai kakak,” nada suaranya rendah. Mendengar suara Bramantyo perempuan ini tak kuasa untuk tidak menoleh pada cucunya. Bramantyo selalu berhasil meny