Karena kejadian di tangga, pergelangan tangan Leo sedikit terkilir. Dokter kepercayaan Layla telah memberikan pemuda itu perawatan dan juga suntikan pereda nyeri.
Sedangkan Layla sendiri tak ada luka yang membuat tubuh model kebanggan nya itu lecet.
Saat ini, "Terimakasih dokter Andreas sudah meluangkan waktu anda." Ujar Layla
Dokter tersebut mendelik kesal, "Kau ini, aku sahabatmu bodoh. Sejak kapan kau kaku seperti itu, biasa nya... "
Layla mengangkat tangan sambil berucap, "Oke stop, jangan mengomel yang tidak ada faedah nya. Lebih baik… YAKH MARIA!" Layla berteriak jengah mendengar cekikikan Maria. Cekikikan yang terdengar sangat menyebalkan di telinga seorang Layla Margaretha Lincoln.
Selalu saja orang-orang salah paham dengan wajah imut nya ini. Ia memang bersyukur wajah nya tak lekan oleh waktu. Hanya saja, itu sangat-sangat menyebalkan jika terus seperti ini.
Apa ia harus memenuhi wajah baby face nan imut nya ini dengan make up super tebal, dan menor layaknya tante girang diluar sana?
Tapi kalau dipikir-pikir kenapa tidak, ya? Siapa tau orang lain…
Pfft HAHAHAHAHA… !
Sialan!
Andreas Wilton memalingkan wajah nya tak ingin Layla tahu, jika ia pun ikut tertawa mengingat apa yang Maria ceritakan padanya.
Lagi-lagi sahabat nya ternistakan, ketika orang lain melihat wajah baby face nya itu.
Seharusnya bagus sih, banyak orang yang menginginkan wajah ber baby face sepertinya. Tapi untuk sang sahabat, dia harus menahan kesal ketika anak muda tak sopan pada perempuan berusia 35 tahun itu.
Layla mendengus kesal, alih-alih menghampiri gadis yang sedang menertawakan nya itu, ia malah berlari ke kamar. Pikirannya tertuju pada wajah nya. Entahlah Layla merasa harus melakukan sesuatu sekarang.
Melihat kepergian Layla, Andreas beralih menatap Maria yang masih menetralkan nafas nya karena tertawa.
Cantik, pikir Andreas. Dia memang menyukai sekretaris Layla, sejak mereka bertemu di tempat pemakaman waktu itu.
Merasa ditatap, Maria menoleh menatap Andreas dengan alis mengkerut bingung. "Ada apa?" Tanya nya.
Andreas tersadar. "Oh itu, aku pergi dulu." Pamit nya yang mendapat anggukan dari gadis itu.
"Terimakasih dokter."
"Sama-sama." Balas Abdreas dan segera meninggalkan Mansion Lincoln. But wait? Seperti nya ia melupakan sesuatu disana. Tapi apa ya? Tak ingin ambil pusing, dia hanya mengangkat bahu memasuki mobilnya yang sudah disiapkan oleh penjaga sana.
* * *
Leo meringis mengusap pergelangan tangan nya. Setidak nya anak gadis pemilik rumah ini tidak terluka, biarpun dia yang harus terluka tapi tak apa.
Ngomong-ngomong tentang anak gadis itu, Leo jadi memikirkan sesuatu. Jika seumpama gadis itu tahu dirinya siapa, bagaimana ya? Ingin mengatakan sesuatu juga dia tak tahu. Atau mungkin ini jalan yang Tuhan berikan pada nya, agar melakukan hal gila untuk keluar dari sini.
Jika di ingat lagi, wajah gadis itu terlihat lebih muda darinya. Dan se tahu nya, gadis manja sepertinya tidak akan menerima kehadiran orang lain dalam keluarga nya. Apalagi status barang dibeli.
Memikirkan ide gila nya, Leo meringsuk dari kasur dan berjalan keluar.
"Tuan menginginkan sesuatu?" Tanya salah satu pengasuh, melihat Leo keluar dari kamar.
Leo menggeleng pelan. "Tidak, aku hanya ingin jalan-jalan saja." jawabnya. "Tapi apa aku boleh menjelajahi mansion ini?" Tanya Leo takut dia malah di tuduh yang tidak-tidak dan berakhir di penjara.
Oke ini pikiran Leo semakin tidak menentu arah nya kemana.
"Kata Presdir, Tuan bisa berjalan kemana saja. Tapi kami harus mengikutimu."
"Baiklah ayo, aku juga akan bosan jika berjalan sendiri." Para pengasuh mengangguk dan mulai mengikuti Leo.
"Tapi apa pelayan dan pengasuh disini memang sebanyak ini?" tanya Leo melihat lantai dasar, beberapa pelayan yang tampak mondar-mandir melakukan tugas nya.
"Benar Tuan."
Leo mengangguk menghentikan langkah nya, mendongak ke lantai atas. Karena kamar Leo berada di lantai dua, dan yang berada di…
"MARIAAAA, KEMARI KAU SIALAN!"
Leo tersentak mendengar suara teriakan dari lantai atas. Mata nya terbelalak melihat para pelayan berbondong-bondong, berlari ke lantai dasar kemudian berbaris dengan tertib begitu juga pengasuh di belakang nya.
"Maaf Tuan, kami permisi."
"Eh, iya."
Suara langkah menggema menuruni tangga terdengar di pendengaran Leo. Ia menoleh, entah karena dia terlalu ingin tahu, kedua kaki nya, membawanya ke arah tangga.
Langkah Leo semakin lebar berjalan, kemudian berhenti sedikit terkesima melihat pemandangan yang… apa-apaan ini, ada apa dengan wajah gadis yang ia tolong pagi tadi?
Sibuk meneliti wajah gadis yang penuh make up tebal itu, sampai rasa nya sesuatu menggelitik perut meminta nya untuk tertawa namun segera menutup mulut. Menahan diri agar tak melakukan sesuatu, sebelum ia menjalankan rencana nya.
"Nona ada… astaga, ada apa dengan wajahmu itu!" Helena terkejut melihat wajah Layla yang penuh dengan make up tebal membuat nya terlihat seperti badut.
"Berbalik!" Sentak Maxi saat para pelayan ingin mendongak menatap Layla.
"Nak, apa yang kau lakukan? Kenapa wajahmu seperti ini,"
Pertanyaan Helena dibalas hentakan kaki, tatapannya yang tajam mengarah pada Maria yang segera menunduk merasa terancam.
"Nona, ada apa?" Tanya Maxi berjalan mendekati Layla yang tampak melipat kedua tangannya didada. Perempuan itu masih dengan tatapan tajam nya,
Helena berbalik menatap Maria, merasa ada yang tak beres. "Maria, apa yang kau… "
"Helena, Maxi lebih baik kalian tinggalkan kami, urusan ku hanya padanya. Dan kau, apa yang kau lakukan disini?"
Leo berdehem berjalan ke arah Layla dengan tatapan menantang, lebih tepatnya memberanikan diri.
Layla bingung sedikit mendongak. Dia tinggi layak nya model, tapi berbeda jika di hadapan nya seorang pria tinggi seperti Leo, ia tetap harus sedikit menaikkan pandangan nya. Kepala Layla sedikit mundur ke belakang mengedip-ngedipkan mata, melihat wajah Leo mendekat pada nya.
"Apa yang kau lakukan anak muda, mundur sekarang juga!" Tegur Maxi mendorong Leo.
"Biarkan Maxi, seperti nya dia ingin mengatakan sesuatu." Ucap Layla tanpa mengalihkan tatapan nya. "Jadi katakan, apa yang ingin… "
"Kau sangat tidak sopan adik kecil."
Layla terbelalak begitu juga yang lain.
"Apa maksud… "
"Mereka lebih tua bahkan mungkin lebih tua daripada orang tuamu. Mengapa kau sangat tidak sopan? Apa karena mereka hanya pelayan jadi tak pantas mendapatkan kehormatan dari kalian yang punya kekuasaan."
Layla tertawa menunduk menutup mulut, melempar kode ke yang agar segera meninggalkan mereka.
Helena segera pergi menarik Maxi dan Maria, begitu juga para pelayan yang segera membubarkan diri.
"Kau tertawa," Tanya Leo mendengar suara tawa Layla.
"Lalu," Layla menaikkan pandangan ya menatap Leo, "Lalu kenapa? KENAPA, HAH! APA URUSAN MU? kau ini siapa, jangan ikut campur urusan… "
"Kau bertanya aku siapa? Harus nya kau tanya ibumu."
"What!!" Mata Layla membola, bersedekap d**a tersenyum bingung. "Apa yang kau… "
"Apa maksud nya membeliku, ingin menjadikan aku kekasih gelapnya atau selingkuhan nya, seperti itu kah?"
Layla tercengang memikirkan sesuatu, kemudian bertepuk tangan tertawa dengan keras.
"Kenapa, kau terkejut? Ternyata benar ya, orang kaya yang kesepian akan belaian bisa melakukan apapun termasuk membeli orang."
Sialan! Itu sama saja mengatainya, pikir Layla menghentikan tawa nya menahan kesal.
"Lalu kenapa kau ingin dibeli? Bukankah terlalu rendahan untuk menjadi pria panggilan,"
Leo terkekeh. "Rendahan belum tentu murahan yang tak punya sopan santun sepertimu Nona."
Sialan. Tahan Lay, tahan. "Benarkah? Kukira menjadi sepertimu saja sudah…"
"10 milyar. Itu harga yang ibumu tawarkan, dan uang itu sudah berada tangan ku sekarang. Jadi bagaimana? Apa menurutmu kualitas sepertiku bisa ditawar seharga itu?"
Leo sadar ucapan nya bagai bumerang bagi dirinya sendiri, karena itu sama saja menjatuhkan harga dirinya menganggap dia barang. Tapi ia harus melakukan nya agar gadis di hadapan ini segera memberitahu ayahnya tentang perbuatan ibunya.
Bodoh, dasar polos pantas saja ibu nya lebih memilih menjualnya dibanding memelihara nya. Pikir Layla.
Kau pikir hewan apa.
"Jadi kau bangga begitu," Baiklah, lebih baik di lanjutkan saja permainan nya. Layla ingin tahu sampai kapan anak muda di hadapan nya ini, menjatuhkan dirinya sendiri. Dan apa yang dia inginkan sampai harus melakukan ini, apa semua keinginan nya tak bisa pengasuh kerjakan? Tapi mereka semua orang-orang profesional. Jadi tak ada…
"Tentu saja. Itu artinya aku bebas melakukan apapun disini termasuk," Leo mendekati Layla lalu berbisik, "Termasuk memuaskan hasrat ibumu yang tak bisa ayahmu berikan." Kemudian berbalik meninggalkan Layla yang terdiam kaku, mengedip-ngedipkan matanya linglung.
"Otak gila!" Gumam Layla.
***
Incheon Airport penerbangan ke hawaii. Wanita bernama Grace sedang menarik koper besar nya, tak lupa kacamata hitam dengan berbagai perhiasan melekat di tubuh nya, bagai sosialita yang akan menikmati perjalanan nya ke hawaii.
"Daripada hidup di tempat kumuh, lebih baik aku menikmati uang dari putra kesayanganku itu.Hhh… " ia merentangkan tangan, menghirup udara seoul yang sebentar lagi dia tinggalkan. "Tau begini, aku akan menjual anak itu sejak lama. Akhirnya aku terbebas dari rentenir sialan itu dan bisa menikmati dunia yang sebenarnya." ucap nya tertawa senang sebelum ia berlari ke pintu keberangkatan. "Hawaii, aku datang… dan terima kasih putraku sayang." bisik nya di akhir kalimat.
Jahat, hanya itu gambaran dari seorang Grace sekarang ini. Bahkan rumah peninggalan suami nya pun di jual, dan lebih memilih menempati apart di daerah gangnam, tempat para orang sosialita yang sebenarnya tinggal.
Hutang nya hanya 75 juta won sudah lunas dari hasil penjualan Leo sekitar 10 milyar, oh god! Siapa yang tak menemukan surga jika seperti itu. Masa bodoh hati sang anak, baginya itu sudah seharusnya dilakukan sebagai seorang anak, apalagi Leo laki-laki jadi itu adalah tugasnya.
"Mungkin ini balasan dari Tuhan, karena telah membesarkan seorang anak." Gumamnya mendudukkan b****g nya di kursi VIP. "Aku harus mengetahui siapa Nyonya kaya raya itu, dan kuharap kau bahagia Leo." Lanjut nya mulai menikmati semua fasilitas pesawat dengan senyum tak pernah pudar.