Sambil menangis Mala akhirnya menceritakan apa yang sudah dia perbuat di hadapan Bu Fika. Dia akui kesalahannya.
"Jadi ini anaknya Damian pengusaha terkenal itu?" tanya Bu Fika hati-hati.
Mala mengangguk.
"Kamu nggak mau berhadapan dengannya. Meminta pertanggungjawaban?"
Mala menggeleng sambil memegang perutnya.
"Aku nggak mau, Bu. Aku sudah nggak mau mengemis lagi. Sudah cukup masaku dulu. Aku nggak mau mengulanginya lagi,"
"Mala. Kasihan anakmu nanti..."
"Nggak papa, Bu. Aku siap menanggung semua resiko. Aku sudah baca-baca tentang menjadi orang tua tunggal. Lagipula dia pasti nggak akan mengakui anak yang aku kandung ini. Dia nggak mengenal aku,"
"Bagaimana bisa?"
Mala menggeleng. Dia lalu menceritakan mengenai Damian yang sepertinya menganggap tidak ada yang terjadi antaranya dan Damian. Dia memiliki kuasa dan bisa saja malah Mala yang akan dipermalukan. Bagi Mala lebih baik dirahasiakan saja.
Bu Fika mendekati Mala. Dia peluk Mala erat-erat. Dia yang tahu segala penderitaan Mala.
"Aku nggak pantas dikasihani, Bu. Aku nggak pantas didekati, Bu..."
Bu Fika usap-usap punggung Mala.
"Aku benar-benar minta maaf. Aku janji tidak akan membiarkan diriku lagi berbuat yang sama. Aku nggak akan biarkan anakku seperti aku..." Mala ungkapkan penyesalannya.
"Mala...,"
"Jangan biarkan Sherly mendekati aku lagi."
"Mala..."
Bu Fika renggangkan pelukannya. Dia tatap wajah penuh sesal Mala sambil memegang dua bahu Mala.
"Apa aku harus pergi?" tanya Mala. Dia tak sanggup membayangkan tinggal di tempat yang jauh dari Bu Fika, tetangganya yang sangat baik hati.
Bu Fika menggeleng.
"Kita sebaiknya lapor ke Pak RT. Biar penduduk sekitar nggak main hakim sendiri. Ibu akan jamin keselamatan kamu..."
Mala terperangah mendengar saran Bu Fika. Dia langsung bersujud di hadapan Bu Fika dan meraung menangisi perbuatannya.
"Sudah, Mala. Sudah. Kita pikirkan bersama-sama langkah berikutnya. Ibu tetap akan membantu kamu."
"Tapi, Bu. Aku nggak mau Pak Roni tau siapa Bapak ini. Aku mohon, Bu..." Mala benar-benar tidak ingin orang tau siapa Bapak dari anak yang dikandungnya.
Bu Fika mengangguk dengan senyum penuh simpatinya.
***
Dengan ditemani Bu Fika, Mala mengakui perbuatannya di depan Pak Roni, ketua RT di lingkungan tempat tinggalnya. Awalnya Pak Roni sinis melihat Mala. Dia hela napas berat. Tapi wajahnya berubah hangat beberapa saat kemudian setelahnya.
"Hm. Baguslah kamu sudah mengakui. Repot kalo kamu nggak ngaku. Ini kasus ke sepuluh semenjak saya menjadi RT lima tahun lalu. Baru kamu yang mau ngaku. Dulu itu ada yang sampai diarak-arak ke jalanan. Ada yang dijambak-jambak rambutnya karena rupanya selingkuhan suami orang. Ada yang sampe diusir-usir. Istilahnya ya..., kasus begini masih bisa saya maklumilah. Tapi kamu tanggung resiko kalo tetap berada di sini, siap-siap dicemooh, dicaci maki."
"Iya, Pak..." Mala mengangguk mengerti.
"Nanti kalo ada apa-apa lapor ke saya. Kalo sebatas ejekan ya dimaklumi saja. Tapi kalo sudah main fisik, wajib lapor. Nanti kalo anakmu lahir, saya akan bantu urus surat menyurat data anakmu..."
Meski kedengaran sinis, Mala lega. Pak Roni bersedia membantu administrasi surat menyurat kelahiran anaknya nanti.
Saran Bu Fika ternyata memang sangat menenangkan. Lebih-lebih, Bu Fika tetap membiarkan Sherly membantu usaha kue-kuenya.
Bukan apa-apa. Bu Fika sangat mengenal Mala yang selama ini berperangai baik. Mala memang kehilangan arah hidup sejak harus berpisah dari anak-anaknya. Bagi Bu Fika, dengan Mala mengakui perbuatannya dan berjanji akan lebih berhati-hati ke depan, cukup meyakinkan bahwa Mala sangat menyesali perbuatannya.
Kini semakin perutnya mulai kelihatan, pandangan sinis dari penduduk sekitar juga semakin jelas terlihat. Sampai-sampai dia harus kehilangan beberapa pelanggan yang biasanya membeli kue-kue buatannya di setiap harinya.
Tidak berhenti di situ saja. Bu Fika pun juga menjadi sasaran caci maki tetangga. Dia dianggap seolah-olah membenarkan perbuatan Mala. Suami dan anaknya juga menjadi sasaran para tetangga yang sinis. Akan tetapi Bu Fika dan keluarga tidak menyerah begitu saja. Mereka tidak membela ataupun membenarkan perbuatan Mala. Yang dia bela adalah hak-hak hidup Mala dan anak yang dikandung Mala. Bu Fika tetap teguh pendirian dengan apa yang dikatakan Pak RT. Selama hanya berupa caci maki, ya dinikmati saja. Tapi jika bermain fisik, baru bisa ditindaklanjuti.
______
Meski langganannya setiap hari semakin berkurang. Mala tetap semangat menjalani usahanya. Dia menyadari kesalahannya, tapi dia tidak ingin berlarut-larut memikirkan kesalahannya. Dia tidak ingin pikiran buruknya berdampak terhadap perkembangan janin yang sedang dia kandung. Jiwa Mala pun semakin hari semakin kuat.
"Kamu jaga diri baik-baik, Sherly," gumam Mala suatu pagi sambil mengatur letak kue-kue di dalam etalase warung kecil-kecilannya di depan rumahnya. Tampak Sherly membantunya memasukkan kue-kue lainnya yang akan dia jajakan di kampus dan toko-toko terdekat kampusnya.
"Jangan sampai seperti Mbak."
Sherly tersenyum hangat.
"Aku mau seperti Mbak Mala yang kuat. Tapi aku akan jaga diri aku sebaik-baiknya," tekad Sherly.
Mala senyum mendengar ucapan Sherly.
Mala salut dengan Bu Fika yang mendidik anak bungsunya hingga memiliki pribadi yang sangat baik. Bu Fika juga sering bercerita tentang dua anaknya yang sudah berkeluarga yang tetap menjaga komunikasi yang rutin di setiap harinya. Meski hidup sederhana dan tetap menyewa rumah, keluarga Bu Fika sangat rukun. Tidak pernah Mala mendengar pertengkaran atau adu argumen dalam keluarga Bu Fika.
"Mbak doakan hidup kamu selalu lurus, Sherly. Kamu akan menyesal jika satu saja kesalahan fatal kamu lakukan. Meskipun kamu memiliki segalanya sekalipun," ucap Mala meyakinkan. Sampai sekarang saja dia masih menyesali perbuatannya. Mungkin selama hidupnya.
Sherly mengangguk setuju. Mahasiswa semester enam jurusan Informasi Teknologi itu tetap menunjukkan sikap biasa terhadap Mala. Sherly tidak berubah, dia tetap menghormati Mala sebagai orang yang lebih tua darinya.
"Sudah tau jenis kelaminnya apa, Mbak?" tanya Sherly dengan senyum senangnya. Dia sudah membayangkan bayi mungil yang akan dia gendong. Sherly sangat menyukai anak-anak kecil.
Mala menggeleng.
"Nggak diperiksa lagi, Mbak?"
Mala menggeleng lagi.
"Sabar ya, Mbak..." ucap Sherly.
Sherly sedih. Pernah satu kali dia menemani Mala memeriksakan kandungannya di bidan terdekat. Bidan yang rumahnya masih satu RT dengan lokasi rumah sewa Mala itu dengan nada sinis mengatakan bahwa dia sedang memeriksa anak luar nikah.
"Oh. Anak luar nikah ya, Bu? Bapaknya nggak jelas dong siapa..., kasihan ya kalo lahir. Yang kuat dan sabar ya, Bu..."
Mala tersinggung mendengar ucapannya. Ucapan sang bidan sama sekali tidak sesuai dengan pakaiannya yang serba tertutup. Sejak saat itu, Mala enggan memeriksakan kandungannya ke siapapun.
***