Amarah Mala 1

987 Words
Kecurigaan Bu Fika ternyata benar-benar terjadi. Mala stres bukan main. Sudah tiga malam berturut-turut kedua anaknya tidak pulang ke rumahnya. Tiga malam pula Mala tidur sendirian dengan perasaan gelisah tidak karu-karuan. Berkali-kali Mala mencoba menghubungi anaknya, selalu ponselnya ditutup dan tidak ada balasan apapun. Sekarang, panggilannya malah diblokir entah oleh siapa. Mau menghubungi Agung, Mala tidak tahu nomor kontak Agung. Agung tidak mau memberikannya ketika dipinta saat bertemu. Mala bingung. Semalam dia kurang tidur. Kerjaannya pun jadi tidak beres gara-gara memikirkan anak-anaknya. Mala menyesalkan dirinya yang terlalu rapuh jika berhadapan dengan Agung. Sejak menikah, Mala selalu menuruti apa yang diinginkan Agung. Agung adalah raja yang Mala agung-agungkan dan utamakan. Sampai akhirnya ketika Agung meminta cerai Mala kabulkan, dan parahnya Mala tidak mempertanyakan alasan utama Agung menceraikanya, karena hubungan mereka sebelumnya baik-baik saja. Mala bahkan tidak pernah mendengar isu-isu selingkuh Agung dari manapun dan siapapun. Tapi sekarang, Mala sudah tidak kuat menahan diri lagi. Anak-anak adalah segalanya bagi Mala setelah Agung pergi dari kehidupannya. Apalah arti hidup Mala jika anak-anak juga meninggalkan dirinya? Tinggal dan hidup sendirian tentu sangat tidak menyenangkan. Mala nekad. Dia bertekad mengunjungi kediaman Agung yang berada di daerah Jakarta Utara. Sebelumnya, Risa dan Usi membantu Mala mencarikan alamat rumah mantan suaminya itu lewat berbagai sosial media juga informasi lewat internet. Sore itu Mala meminta izin dari Bu Ajeng bahwa dia pulang lebih awal hari ini, dengan alasan ada hal mendesak yang berhubungan dengan anak-anaknya. Bu Ajeng dengan mudah mengizinkannya karena Mala memelas saat meminta. Mala benar-benar ingin kedua anaknya kembali ke pangkuannya. Atau setidaknya dia mendapatkan penjelasan dari Agung kenapa menahan Jeanny dan Wenny lebih lama. Perasaan Mala semakin cemas, hujan malam itu sangat deras. Mala tidak membawa payung pun jaket anti hujan. Selama berada di dalam taksi menuju rumah Agung, Mala terus berharap agar hujan lekas berhenti. Tapi harapan Mala tidak terkabul. Sampai taksi berhenti di depan sebuah rumah mewah pun hujan terus menerus mengguyur. Mau tidak mau Mala harus turun dari taksi dan membiarkan derasnya air hujan mengguyur sekujur tubuhnya. Sambil mengangkat tas di atas kepalanya, Mala berlari menuju mesin penjawab yang ada di depan pagar rumah Agung yang baru. "Ya..." "Saya Mala, Mas. Mau nanya Wenny dan Jeanny...," Hening tak ada jawaban. Namun ada bunyi klik yang didengar Mala setelah beberapa saat menunggu jawaban. "Dorong pintunya, Bu..." Mala dengan cepat mendorong pintu pagar tinggi dengan sekuat tenaganya, karena pagar tersebut cukup berat ketika didorong. Kemudian Mala berlarian menuju teras rumah. Sadar dirinya basah kuyup, Mala tidak segera menduduki kursi yang ada di teras tersebut. Tak lama kemudian, muncul Agung dengan wajah pongah. "Untuk apa kamu ke mari? Mau buat kekacauan?" tanyanya menghardik. "Mas!" "Aku bukan masmu lagi." "Mana anak-anakku!" "Mereka anak-anaku sekarang. Aku sudah meresmikan hak asuh mereka. Kamu nggak usah ikut campur." Gemetar Mala mendengar kata-kata dari Agung. Dia langsung berlari menuju dalam rumah Agung sambil berteriak menyebut nama anak-anaknya. "Jeanny!! Wenny!! Pulaaaaaaang!!" Agung terkesiap, dia bergegar memburu Mala yang kalap. "Mala!" Dia tarik tangan Mala dengan kasar sebelum benar-benar masuk ke dalam rumahnya. Matanya kilat menahan marah karena air hujan membahasahi lantai rumah mewahnya. "Mereka tidak menghendakimu lagi. Mereka hanya membutuhkanku sekarang. Aku tidak ingin mereka hidup miskin dengan kamu!" Mala tatap nanar wajah mantan suaminya itu. Dia tidak menyangka sama sekali dengan apa yang dia dengar. Miskin? Darah Mala mendidih mendengar ucapan itu. Plak..., Mala tampar wajah tampan Agung sekeras mungkin. "Aku tidak miskin! Kamu yang miskin! Kalo bukan karena kedua orangtuaku yang membiayai sekolah kamu hingga ke luar negeri..., kamu cuma sampah!!" pekik Mala sekuat tenaganya. Akhirnya ke luar juga amarahnya yang selama ini dia tahan-tahan. Kesal. Mala berlari kembali menembus hujan menuju luar pagar rumah Agung. Dia tidak mau lagi menoleh ke belakang. Padahal ada Jeanny dan Wenny yang memanggil-manggilnya. Tapi hujan sangat deras malam itu. Mala tidak mendengarnya. *** Mala menutup tubuhnya dengan handuk hangat di bagian belakang rumah. Dia duduk meringkuk sambil memegang gelas berisi air minum hangat. Perasaannya lumayan tenang setelah mengalami peristiwa yang menyakitkan sore tadi. Mala termenung memikirkan nasib hidupnya. Lahir sebagai anak pengusaha batu bara kaya raya yang tinggal di Pekalongan. Disekolahkan di sekolah swasta internasional sejak TK hingga SMA, kuliah di universitas swasta mahal di Jakarta. Hidup Mala sangat sempurna. Meski kuliahnya hanya tingkat ke dua, Mala mau menikah dengan seorang pria tampan lulusan dari kampus terkenal di Canada. Agung Bram Wicaksono, seorang anak buruh tani yang sekolahnya dibiayai kedua orang tua Mala sedari sekolah dasar hingga kuliah. Lalu Agung melanjutkan kuliah masternya dengan program beasiswa pemerintah di McGill University, Montreal, Canada. Selama kuliah di luar negeripun Agung tetap dibiayai orang tua Mala saat mengalami kekurangan, karena beasiswa dari pemerintah yang pas-pasan. Hidup Agung meski kekurangan, namun tetap saja beruntung. Bukan orang tua Mala saja yang membiayai hidupnya. Sekolah dan hidup Agung juga dibiayai masyarakat sekitar rumah karena mereka kagum dengan kepintaran Agung yang hidup pas-pasan. Sia-sia Mala terus membela Agung di hadapan keduaorangtuanya saat mempertanyakan perceraiannya. Mala terus mengatakan bahwa selama ini dialah yang salah karena lalai mengurus suami dan rumah tangga. Saking cintanya yang tidak terbendung terhadap sosok Agung, Mala tidak bersedia pulang ke kampung halamannya. Dia tahu, pasti keluarganya akan keberatan dan akan menjadi bahan gosip karena status dirinya yang kini menjanda. Maklumlah, banyak para orang tua yang mengharapkan Agung sebagai menantu, tapi Mala yang dipilih Agung saat itu. Dan Mala gagal bertahan. Malam itu adalah malam yang paling menyedihkan dalam hidup Mala. Berpisah dari anak-anaknya adalah mimpi buruk yang tidak pernah terpikir olehnya. Mala tidak pernah berpisah seharipun dari mereka. Meski mereka bersikap yang tidak diharapkan, mereka tetap anak-anaknya yang tersayang. Mala biarkan air matanya tumpah ruah di atas bantal kapuknya yang keras. Dia terus bertanya kenapa mantan suaminya bisa berubah total sekarang? Seberapa besarkah pengaruh istrinya yang sekarang sehingga Agung berubah sangat kejam? Rasanya hidup ini tidak adil bagi Mala. Dia seperti terbuang ke negeri antah berantah. Ingin segera dia akhiri saja hidup ini. Tapi terus apa? Tidak akan merubah apapun. Sia-sia saja. ________
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD