We'll be Allright

1074 Words
Sudah hampir enam bulan, Mala, panggilan akrab Nirmala, tinggal di sebuah rumah bedeng yang berlokasi di gang sempit di daerah Jakarta Selatan. Mala memutuskan untuk pindah dari Jakarta Utara karena dia ingin melupakan semua yang berhubungan dengan mantan suaminya yang kini sudah menikah lagi dengan seorang perempuan cantik kaya raya yang bernama Andita Johan, yang tidak lain adalah pemilik perusahaan makanan di mana Agung bekerja. Mala tinggal bersama dua anaknya yang sekarang bersekolah di sekolah negeri yang tidak jauh dari rumah. Jika sebelumnya Jeanny dan Wenny bersekolah di sekolah swasta yang mahal, kini mereka harus menerima kenyataan pindah ke sekolah negeri yang tidak perlu menguras banyak uang. Awal-awal pindah di rumah kontrakan petak nan kecil dengan peralatan rumah tangga seadanya membuat Mala stres bukan main. Apalagi harus memutar otak mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari untuk dirinya dan dua anak perempuannya. Padahal hidup Mala sebelum menikah sangatlah bahagia, karena Mala berasal dari keluarga yang sangat berada. Kemudian menikah dengan seorang pria yang sejak selesai kuliah sudah menjabat di posisi penting di sebuah perusahaan makanan besar, lulusan luar negeri pula. Tapi seiring waktu berjalan, Mala malah terlihat terbiasa dengan kehidupannya sekarang yang sudah berjalan sekitar enam bulan lebih. "Kamu kan masih punya orang tua, Mala. Kok nggak pulang kampung saja ikut mereka di Pekalongan?" tanya Bu Fika, tetangga sebelah Mala. Mala yang sedang membungkus kue-kue untuk langganannya tersenyum tipis mendengar pertanyaan Bu Fika. "Nggak mau jadi beban pikiran mereka, Bu. Apalagi aku punya anak dua. Janda, bercerai hidup..., pasti jadi bahan omongan tetangga di kampung," tanggap Mala. Sebenarnya dia sudah mendengar desas desus orang tuanya yang sudah menjaga jarak darinya akhir-akhir ini. Entah apa yang membuat mereka bersikap demikian. Mala memutuskan untuk mengalah saja. Mala lalu memberikan plastik berisi kue-kue ke pembelinya. "Makasih ya, Dik..." ucap Mala ramah ke pelanggannya yang sudah siap-siap pergi dari warung kecil-kecilan yang ada di depan rumah kotrakannya. "Apalagi mamaku itu orangnya perasa. Cepat tersinggung. Kalo ada apa-apa pasti lama mikirnya. Kasihan..." Bu Fika menghela napasnya mendengar alasan Mala yang tetap tinggal dengan kondisi yang cukup memprihatinkan. Sudah enam bulan ini Bu Fika memperhatikan kehidupan Mala. Sebagai tetangga sebelah, dia sangat mengetahui kondisi Mala. Setiap hari harus membanting tulang bekerja hingga pukul sembilan malam. Di hari-hari biasa, setiap selepas shubuh, Mala sudah bersiap-siap pergi bekerja. Mala kini bekerja sebagai petugas kebersihan di gedung mewah di kawasan elit Sudirman. Pukul sembilan malam dia tiba di rumahnya. Di akhir pekan, Mala menyempatkan diri menjual kue-kue kecil di depan teras rumahnya, seperti sekarang ini. Pelanggannya adalah penduduk sekitar. Kadang jika waktu memungkinkan, dia membuat kue-kue untuk dibawa kedua anaknya yang akan dijual di kantin sekolah. Itupun jika anak-anaknya mau diperintahnya. Maklum, sukar menghilangkan gaya hidup kedua anaknya yang masih bergantung kemewahan. Si sulung misalnya, yang kerap mengeluh dengan kehidupannya sekarang yang jauh berbeda dengan kehidupan dulu. Kini semua serba susah. "Ibu nggak habis pikir dengan mantan suami kamu ya, Mala. Kok bisa setega itu dengan kamu. Semestinya dialah yang bertanggungjawab atas kehidupan anak-anaknya yang lebih layak..." gumam Bu Fika sambil menggelengkan kepalanya. "Aku sih ikut aturan saja, Bu. Mas Agung dulu bilang kalo anak-anak di bawah usia dua belas masih di bawah asuhanku..." Bu Fika mencibir. "Hah. Alesan saja nggak mau tanggung jawab. Mau seneng-seneng sama selingkuhannya. Atau mungkin juga selingkuhannya nggak suka sama anak-anakmu. Kalo memang sayang sama anak-anak, dia pasti memperjuangkan agar bisa mengambil alih hak asuh sehingga hidup anak-anakmu bisa lebih baik." "Tapi aku nggak bisa ngapa-ngapain, Bu. Aku akan terpisah dari anak-anak..., itu yang aku takutkan." Bu Fika mengusap-usap punggung Mala. "Tapi sikap mantan suamimu itu sudah sangat keterlaluan, Mala. Ini sudah lebih dari enam bulan. Dia nggak kasih kamu nafkah yang dia janjikan, anak-anak dia biarkan saja. Nggak juga dia nafkahkan. Padahal dia hidup bergelimang harta. Duh. Miris Ibu..." Mala memang kerap mencurahkan hati dan perasaannya ke Bu Fika. Bu Fika sangat memahami keadaan hidup Mala. Sebelum resmi bercerai, Mala tidak menyadari bahwa Agung telah menjalin hubungan gelap dengan Andita, atasannya, selama dua tahun. Sikap Agung yang baik dan sangat kebapakan itu membuat Mala tidak mencurigainya sama sekali. Agung juga sangat mesra dengannya dan sangat memperhatikan serta menyayangi anak-anaknya. Malam sebelum dia menunjukkan form perceraian saja, Agung masih tidur sambil memeluknya. Keesokan harinya setelah sarapan pagi, Agung dengan baik-baik membicarakan perceraian dan mengatakan dengan sangat tegas bahwa dia tidak mencintai Mala lagi dan sudah tidak memiliki keinginan untuk melanjutkan hubungan pernikahan. Mala awalnya sama sekali tidak mempercayai kata-kata suaminya. Tapi setelah dia amati berkas-berkas lengkap perceraian serta foto-foto perempuan yang Agung pilih sebagai istri masa depannya, Mala pasrah. Dia akhirnya menyetujui perceraiannya. Sidang perceraian yang sangat singkat. Maklum, semua dibiayai dengan mudah oleh Agung dan Dita. Mereka berdua ingin proses perceraian diselesaikan dengan baik dan cepat. Ditalah yang menemani Agung di setiap proses perceraian. Agung pun tidak segan memperkenalkan Dita ke Mala. Yang lebih menyesakkan, hak asuh Jeanny dan Wenny, Agung serahkan semua ke pihak Mala yang tidak memiliki mata pencaharian sama sekali. Mala nelangsa mengingat proses perceraiannya enam bulan lalu. Sepuluh tahun mengarungi rumah tangga adalah waktu yang lumayan lama. Tapi terasa sangat singkat ketika kata-kata talak itu terucap dengan mudahnya. Meski di atas kertas Agung menyetujui akan menafkahkan Mala dan kedua anak mereka sebesar lima juta rupiah per bulan, akan tetapi pelaksanaannya nol rupiah. Agung bahkan tidak pernah lagi menghubungi mereka. Mala juga tidak ingin memulai. Menyakitkan jika dia harus mengemis, walaupun itu memang haknya dan hak anak-anaknya. Mala tidak mau hal ini menjadi beban pikirannya di setiap bulan. Lebih baik berusaha sendiri saja. Jiwa dan pikiran akan lebih terasa lega. _______ Pagi Senin seperti biasa, Nirmala mempersiapkan segala yang dibutuhkan kedua anaknya untuk bersekolah. Dari peralatan sekolah, pakaian, hingga sarapan pagi. "Hari ini dua puluh ribu jajanku, Ma. Kan Mama janji..." tagih Wenny dengan wajah cemberut. Minggu sebelumnya dia hanya mendapatkan uang jajan sebesar sepuluh ribu rupiah. Baginya tidaklah cukup. Apalagi dia jarang membawa bekal dari rumah. "Iya. Sudah Mama siapkan. Buat kamu duapuluh ribu. Jeanny lima belas cukup?" Jeanny merengek. "Aku dua puluh juga, Ma," ucapnya dengan wajah memelas. Mala tersenyum melihat wajah manja anak keduanya. "Iya. Mama cuma becanda. Yuk, sudah siap semua kan?" "Hm..., Ma bulan depan aku mau ganti sepatu baru ya, Ma?" "Lho yang ini kan masih bagus banget. Kok minta sepatu baru?" "Ini model lama, Ma. Nggak bagus ah. Aku nggak pede kalo ke sekolah," gerutu Wenny. Lagi-lagi hati Mala luluh melihat wajah Wenny yang meminta sepatu baru. "Iya. Nanti kita beli lagi..." ucap Mala setelah menghela napas berat. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD