Bagian 1: Awal
Matahari mulai menggeliat dari balik persembunyiannya. Fajar sudah tiba, sudah saatnya bangkit dari peraduan manusia. Menyapa pagi dengan menebarkan senyuman sebagai penyemangat dipagi hari. Sungguh, amat menyenangkan pagi hari yang cerah.
Seorang pria paruh baya keluar dari sebuah gedung dengan sesekali melirik arah arloji, jam menunjukkan pukul 07.00. Dia berjalan cepat menuju pemberhentian bus, dekat gedung tersebut. Tibalah bus yang dinantinya, bergegas ia menaiki. Ia turun dengan cepat pada pemberhentian kedua, sedikit berlari menyusuri trotoar. Kemudian ia berbelok ke kiri, menuju perumahan di kota kecil tersebut. Sampailah ia pada sebuah rumah dua lantai bercat abu-abu. Dibukanya gerbang berwarna hitam yang pintunya sudah sedikit macet.
“ Ya ampun, aku sudah terlambat menyiapkan anak-anak.” Gumamnya setelah masuk ke dalam rumah. Ia berlari ke lantai dua, diketuknya dua pintu kamar yang bersebelahan, sambil sesekali memanggil nama mereka. Betapa terkejutnya ia ketika membuka pintu kedua kamar secara bergantian dan tidak menemukan penghuninya.
“Papa! Kami ada di bawah!” seru salah seorang anak laki-laki.
Pria tersebut kembali turun dengan tergopoh-gopoh menuju arah suara.
“ Ya ampun, kalian mengejutkan Papa. Sudah siap?”
“ Uhum, maafkan kami, Papa. Kami hanya tidak ingin membuat Papa repot.” Sahut anak laki-laki lain dengan mulut penuh roti.
“ Yak, beres sekarang aku siap!” ujar anak laki-laki lainnya sembari menggendong tas mungil miliknya.
“Baik, Papa akan menemani kalian menunggu bus sekolah. Ayo, kesatria!” Pria tersebut berjalan memimpin diikuti keenam anak laki-lakinya. Mereka menunggu bus di teras rumah, sambil sesekali bersenda gurau.
“ Hati-hati dijalan ya, para kesatriaku. Papa akan menunggu kalian di rumah.” Ujar pria tersebut, mencium kening anak lelakinya satu persatu. Dilambainya tangan-tangan mungil mereka, tidak terasa bus mulai menjauh dan tak terlihat.
Papa, sebutan yang tersemat dari anak-anaknya, selalu ingin menitikkan air mata ketika mengingat mendiang istrinya. Disibaknya kain yang menutupi, terdapat lukisan seorang perempuan anggun bermata teduh. Betapa eloknya perempuan tersebut dengan balutan gaun merah muda selutut. Papa mengusap wajah perempuan dalam lukisan.
“ Kau tahu, aku sudah melengkapimu dengan para kesatria kecil kita. Namun, mengapa engkau pergi saat kita hampir sampai? Kau tahu, mereka sudah beranjak remaja dan tak akan terasa pertumbuhan mereka, mereka akan dewasa. Apakah mereka akan meninggalkanku juga? sama seperti saat kau tiba-tiba meninggalkanku tanpa peringatan?” Papa berbicara kepada lukisan bak ia bercakap dengan manusia di depannya. Dikecup kening perempuan dalam lukisan. Lalu, ia kembali menutup dengan kain tersebut.
Papa melanjutkan aktivitasnya seperti biasa. Membersihkan rumah, mencuci piring dan kegiatan lain yang semestinya dilakukan seorang ibu. Semenjak istrinya meninggalkannya, Papa menjadi sedikit trauma akan ditinggal oleh orang yang dicintainya. Meskipun demikian, ia tetap menyayangi istrinya hingga detik ini. Setiap ia tidak bekerja, ia selalu meluangkan waktu untuk melukis istrinya. Bahkan, lukisan tersebut memenuhi loteng dan gudang bawah tanahnya.
***
Makan malam tiba, Papa, dibantu dengan anak sulungnya menyiapkan makanan. Sementara yang lain, menyiapkan tempat makan, membersihkan serta menata meja makan. Tibalah waktu makan, semua duduk rapi sesuai tempat mereka masing-masing.
“Oh ya, Pa. Sebentar lagi aku akan lulus. Aku tidak ingin melanjutkan ke perguruan tinggi. Aku hanya ingin bekerja.” Putra sulungnya memulai percakapan.
“Kau yakin, Gany? Papa masih sanggup untuk membiayai kalian hingga ke perguruan tinggi.”
“ Tidak, Pa. Kau masih harus membiayai adik-adik. Aku hanya tidak ingin memberatkanmu.” Kekeuhnya sambil menggelengkan kepala.
“Begini saja, Papa akan membantumu mencari beasiswa. Papa punya banyak kenalan di universitas, kau tenang saja.” Papa berpikir sejenak dan melanjutkan makan.
“Bagaimana sekolah kalian? Nat, mulai dari kau.” Lanjut Papa sambil menyendok sesuap sup jagung sebagai penutup.
“Tidak buruk, mungkin aku akan lebih sibuk nanti. Saat aku sudah naik kelas akhir, Pa.” Ujar Nat, putra keduanya. “Owen? Bagaimana denganmu?” Sudah setengah sup jagung dilahapnya. “Sama dengan Nat, Pa. Aku juga akan lebih sibuk nanti.” Owen mulai membereskan piring mereka. “Bagus, lalu Rai. Bagaimana denganmu? Apa kau bermasalah lagi dengan guru fisika?” Rai terbatuk ketika minum. “Hahaha tentu saja tidak, Pa. Maksudku, ayolah tak mungkin putra Tuan Edelweis mengulangi kesalahan kedua kalinya. Sejauh ini bagus, namun aku sedikit kesal dengan guru biologi.” Semua mata melotot pada Rai.
“Rai, Papa tau kau hanya ingin membela Papa dan saudar-saudaramu. Namun, kau harus tau batasanmu, bukan berarti kita mampu kita harus melakukan apa yang kita mau. Terkadang, kita juga harus menahan sesuatu yang mungkin ingin sekali kita luapkan. Baik, yang terakhir Tora. Tunggu dimana Tora?” Mereka celingukan mencari Tora. Mereka mencari ke seluruh penjuru rumah, namun tak ditemukan batang hidungnya.
“Gany, kita berpencar saja mencari Tora. Kau dan Nat, mencari kearah jalan sekolah. Rai, kau mencari kearah komplek sebelah. Owen kau bersamaku. Ayo cepat, sebelum larut malam, kita tak tau apa yang terjadi padanya jika kita terlambat. Segera hubungi Papa jika salah satu dari kalian menemukannya pertama.” Mereka semua berpencar. Papa yang begitu khawatir dengan anak bungsunya berlari kesana kemari. Owen memutuskan berpencar dengan Papa agar mereka lebih cepat menemukan Tora.
Sekitar 30 menit, tak satupun dari mereka menemukan Tora. Papa selalu memantau keadaan Tora dan anak-anaknya yang lain melalui smartphone. Ketika Papa berjalan kearah g**g kecil, seekor anjing menggonggong begitu kerasnya. Dengan sigap, Papa berlari kearah gonggongan anjing, terasa ganjil ketika anjing tersebut hanya diam ketika ia datang. Papa mendekat kearah anjing dan betapa terkejutnya ia ketika menemukan sebuah kotak kayu berisi bayi mungil yang tertidur. “Apakah ia mati?” gumam Papa pada anjing di depannya. Disentuhnya dengan hati-hati bayi mungil itu, mencoba merasakan detak jantungnya. “Oh yaampun, dia masih hidup!” seru Papa. Ia meletakkan bayi mungil kembali ke kotak. Di belainya anjing yang sudah menjaga bayi tersebut. Anjing itu menyodorkan sebuah kalung dengan moncongnya, liontin yang berkilau seperti bintang bertuliskan Selesa. Papa sedikit kebingungan dengan maksud anjing penjaga itu. Namun dengan cepat iya meletakkan di kotak kayu bersama bayi mungil. Ia membawa kotak kayu, anehnya anjing penjaga itu tidak mengikutinya berjalan. Sesaat setelah jauh ia berjalan, terdengar suara tembakan dari arah anjing tersebut. Ditengoknya sudut itu, anjing penjaga mati tergeletak. Ingin sekali ia menolong anjing itu, namun ia urungkan karena derap langkah yang mulai mendekat ke arahnya. Sedikit khawatir dengan hal yang mungkin terjadi. Papa bergegas kembali kerumahnya, berlari ia sekuat tenaga, sekuat yang ia mampu untuk menyelamatkan bayi mungil. Ia berdoa semoga Tora selamat seperti ia menyelamatkan bayi mungil itu.
Sampailah ia diteras rumah, dibukanya smartphone dan betapa leganya ia ketika Rai menemukan Tora. Instruksi pulang kerumah disampaikan pada para kesatria mudanya. Papa masuk dengan cepat sesekali menengok untuk memastikan tak ada yang mengikutinya.
“Apa kau gila? Kau harus melawan, mereka kasar padamu!” Teriak Rai. Sebelumnya ketiga saudaranya sudah sampai di rumah. Mereka menunggu di meja makan dengan gusar. Terkejutnya mereka ketika Rai membawa Tora dengan keadaan lebam, baju terkoyak, dan penuh luka. Rai membopong Tora hingga mendudukkannya diatas kursi makan.
“Lihatlah Pa, kau harus mengajari kami bela diri secepatnya. Lihatlah!” Rai mengusap mukanya dengan frustrasi. Papa terdiam, ia kemudian mendekati Tora. Tora menangis dalam diam, dipeluklah anak bungsunya yang penuh luka itu. Saat seperti ini, Papa lah yang hanya mengerti perasaan para putranya. Gany, si sulung mengambil kotak obat. Sedangkan Nat membuat secangkir coklat panas untuk meredam emosi Rai yang tak henti-hentinya. Owen menyiapkan makan untuk Tora serta segelas s**u hangat untuk menenangkan saudaranya.
“Kalau kau tak ingin bercerita pada kami sekarang, tak apa nak. Papa tau, kau hanya bingung memulai dari mana.” Papa mengambil kotak obat yang dibawa Gany padanya. Pria paruh baya itu merawat luka Tora dengan lembut seperti seorang ibu. Tora yang masih sesekali sesenggukan mencoba menenangkan dirinya.
“Ini minumlah, sedikit pun tak apa.” Owen menyodorkan segelas air mineral kepada Tora, disamping makan malam serta s**u hangatnya.
“Terimakasih, Owen.” Mengambang kata-kata Tora, ia menarik napas dengan dalam. “Maafkan aku, Pa. Seharusnya aku berlari ketika aku sudah tak sanggup melawan mereka. Awalnya mereka sedikit, entah mengapa tiba-tiba datang pasukan dan seperti ingin membunuhku.
Rai yang sudah tenang dengan segelas coklat panas mendekat. Lamat-lamat mereka menunggu cerita Tora yang masih berusaha untuk mencerna apa yang sudah dialaminya.
“Mereka melemparkan kotak kayu kemudian anjing, aku yang melihatnya hendak menolong anjing itu. Aku tak tahu dengan kotak kayu itu, namun terasa ganjil. Tiba-tiba seseorang menarikku dari belakang. Aku reflek menangkisnya, sekitar tiga orang menghadangku kemudian kami adu tinju. Melihat mereka terkapar membuatku sedikit bangga, aku ingin pamer pada Rai. Namun, tanpa kusangka sekelompok orang datang padaku. Aku lari kearah taman, namun mereka menarikku hingga ke komplek sebrang. Mereka memukuliku bersamaan. Aku tak tau apa yang terjadi, namun ini sungguh menyakitkan. Anjing itu tak bersalah, mengapa mereka membuangnya?” Tora menyeka air matanya, ia mulai menyendok makan malamnya setelah Papa membalut semua luka ditubuh Tora.
Papa terdiam dalam bisu, ia mengaitkan hal yang dialami Tora dengan dirinya. Anjing dan kotak kayu, anjing dan kotak kayu, ah ya benar. Kotak kayu itu pasti yang dimaksud oleh Tora. Papa bangkit dari duduknya, ia menuju kamarnya. Ketika ia hendak mengambil kota kayunya, Papa menimang sesaat sebelum menyimpan kalung dan sepucuk kertas yang ia temukan di kotak sebelumnya pada brangkas pribadi miliknya. Ia membawa kotak kayu menuju meja makan.
“Tora, apa yang kau maksud kotak kayu ini?” Papa meletakkannya di atas meja makan.
Mereka semua terkejut jika di dalamnya ada bayi mungil yang tertidur dengan damainya. Tora merenung, “Ya, ini dia. Aku melihatnya, persis seperti ini.” Kemudian Rai mencoba menggendong bayi itu, Gany yang miris segera mendekat, berjaga jika Rai menjatuhkannya.
“Pa, kita rawat dia kan? Aku tau kau belum pernah merawat bayi. Tapi, kita bisa mencobanya.” Pinta Rai membelai wajah mungil bayi itu.
“Mungkin kita bisa menyewa seorang pengasuh untuk mengurus popok dan segala keperluannya. Sepertinya kita bisa menanyakan ini pada Nyonya Maru.” Owen mengambil smartphone hendak menghubungi Nyonya Maru.
“Kenapa harus Nyonya Maru?” Tanya Tora heran. “Tuan dan Nyonya Maru punya sejuta pengasuh” Nat yang berdiri mendekat untuk melihat bayi mungil itu. “Dia perempuan bukan?” Nat mencoba mengambil dari gendongan Rai.
“Benarkah? Akhirnya aku punya adik perempuan!” Seru Gany dengan girang sambil membereskan kotak kayu. Gany menyibak selimut bayi dan mengeluarkan semua isinya, klontang. Sebuah gelang manis dengan lionting berbentuk bulir air mata jatuh ke meja makan. Diambilnya gelang itu, dilihatnya dengan teliti. Lionting yang berbentuk seperti bulir air mata begitu indah, memancarkan kemilau seperti bintang, dan didalamnya seperti ada lukisan laut. Ya laut. Seperti dilukis dengan tangan namun dimasukkan kedalam liontin.
“ Dia masih terlalu mungil memakai ini.” Ujar Gany yang menempelkan gelang pada tangan bayi itu.
“Simpan saja nak, nanti kalau ia sudah besar, berikan padanya.” Papa menopang dagu, akankah ia memberi nama seperti pada liontin itu? Namun bagaimana justru ia akan celaka dengan nama tersebut.
“Papa akan memberi nama Sada.” Papa manggut-manggut.
“Itu sedikit aneh Pa, tapi tak apa lah. Lebih mudah memanggilnya.” Rai berjalan kearah kotak kayu kemudian membantu Gany membereskannya.
Malam semakin larut dan sepi. Setelah kejadian yang beruntun, Pria paruh baya itu termenung di kamarnya. Memandangi sepucuk kertas dan liontin yang ia temukan bersama bayi itu, Sada. Ia sedikit merasa bersalah karena memberikan nama yang tak sesuai dengan liontin. Namun ia juga takut, jika bayi itu akan tersiksa dengan namanya sendiri. Papa menyimpan kembali sepucuk kertas dan liontin ke dalam berangkas.
Ia kembali merenung, diubahnya posisi tidur berulang kali. Menatap langit-langit, “Mungkin benar kata Owen, semoga saja besok sudah ada jawaban dari kawan lamaku.” Pikirnya seraya memejamkan mata. Rumah bercat abu-abu itu sudah sepi, para penghuni terlelap dalam alam bawah sadar mereka. Bayi mungil mereka masih bernapas dan tetap memejamkan matanya. Papa meletakkan bayi itu di dekat ranjangnya, didalam sebuah kotak semacam ayunan dengan dilapisi beberapa bantal untuk membuat si bayi lebih nyaman. Malam yang panjang bagi keluarga Edelweis.
***
Sudah hampir lima tahun semenjak kejadian malam itu, Sada mulai tumbuh. Gadis mungil yang cantik dengan mata indahnya lincah bermain kesana kemari. Gany sudah beranjak dewasa, setelah ia berhasil menamatkan kuliahnya ia mulai bekerja di bank. Nat dan Owen baru saja menyelesaikan study mereka, sedangkan Rai dan Tora sekarang sudah masuk ke sekolah menengah atas.
Bibi Ann, pengasuh mereka yang diberikan oleh Tuan dan Nyonya Maru selayaknya ibu di rumah Edelweis. Mereka memperlakukannya dengan baik seperti anggota keluarga mereka. Semenjak ada pengasuh kegiatan rumah dipegang penuh oleh Nyonya Ann. Tuan Edelwei lebih memfokuskan pada pekerjaannya, ia senang bisa membiayai anak-anaknya sekolah tapa hambatan. Tuan Edelweis berhasil menjalankan bisnis property-nya dalam kurun waktu lima tahun. Rumah bercat abu-abu sudah lebih lenggang dan besar, anak-anaknya pun memiliki kamar masing-masing. Tuan Edelweis berpikir jika mereka tumbuh dewasa, mereka juga memerlukan privasi. Pun dengan bibi Ann, ia juga memiliki kamar pribadinya. Rumah yang dulunya berlantai dua yang sedikit sempit, sudah berubah lebih besar dan luas.
“Aku pikir kita harus pindah setahun lagi.” Papa memulai bercakapan di ruang tengah.
“Bukankan rumah kita sudah lebih nyaman sekarang, Pa?” Nat protes.
“Ya, aku tau. Tapi apa kau tidak lelah Gany jika harus menempuh perjalanan sejauh itu? Kau tau betul kan, jika Gany harus menaiki tiga bus untuk sampai ke tempat kerjanya. Lagi pula, Papa juga sudah mencari sekolah yang cocok untuk Rai dan Tora. Owen kau setuju?” jelas Papa sembari menekan remote TV.
“Namun, aku dan Nat belum mendapat pekerjaan, Pa.” Owen berhenti memainkan anak rambut Sada yang dipangku sedari tadi.
“Bukan masalah, kalian akan membantu Papa mengurus bisnis. Nanti setelah Gany bosan bekerja di bank, ia juga akan ikut mengurus bisnis. Siapa lagi yang akan meneruskannya jika bukan kalian.”
“Gany bukannya tidak mau, Pa. Tapi Gany masih ingin bekerja disana. Mungkin nanti tiga tahun lagi, Gany akan keluar. Bisnis tidak akan lancar jika kita tak memahami masalah keuangan, bukan?” Gany yang duduk disamping Papa menjelaskan.
“Kau betul juga, baiklahh Papa akan mengurus kepindahan kita. Rai kau jangan membuat masalah nanti di sekolah barumu. Kasian Owen harus berhadapan dengan guru wali mu berulang kali.” Papa memperingatkan Rai yang sedari tadi bermain kartu dengan Nat dan Tora.
“Putri kecilku juga akan bersekolah sebentar lagi.” Papa memandang anak-anaknya dengan bangga.
Setelah Tuan Edelweis sibuk dengan pekerjaannya beberapa tahun terakhir. Ia tak melukis kenangan wajah istrinya lagi, beberapa dari lukisan itu bahkan disimpan didalam kotak, beberapa lagi dipajang di kamarnya. Dan satu lukisan, istirnya dengan gaun merah muda, diletakkan di ruang tengah.
Akhir taun ini, bulan desember, mereka akan pindah. Tuan Edelweis sudah mengurus kepindahan mereka ke tempat yang baru, rumah, sekolah, pajak dan sebagainya. Termasuk juga dengan rumah lama, ia menjual rumahnya kepada teman lama yang memerlukan tempat tinggal di daerahnya. Malam ini mereka mulai mencicil mengemas barang mereka, Sada yang sudah kanak-kanak membantu dengan mengemas barang miliknya sendiri. Nyonya Ann, pengasuh mereka juga akan ikut, baginya, keluarga Edelweis sudah membantu hidupnya menjadi lebih baik, termasuk melunasi hutangnya kepada Tuan dan Nyonya Maru.
Sebelumnya, Nyonya Maru memang memberikan pengasuh untuk keluarga Edelweis secara cuma-cuma. Namun, si pengasuh, bibi Ann merasa keberatan karena ia masih memiliki hutang kepada Nyonya dan Tuan Maru. Meskipun Nyonya Maru tak keberatan dengan hal tersebut dan menganggap hutangnya lunas, si pengasuh tetap memohon kepada Tuan Edelweis untuk melunasi hutangnya. Akhirnya Tuan Edelweis melunasi hutang bibi Ann. Dengan demikian, bibi Ann bisa bekerja dengan lega setelah hutangnya terlunasi.
Gubrak! Sada berlari kearah suara, ia terkejut ketika menemukan seorang wanita membawa senapan menodong ke arahnya. Gany yang sampai terlebih dahulu melempar pisau pada si wanita, lalu dengan cepat meraih dan menggendong Sada menjauh dari wanita asing itu. Tuan Edelweis dengan sigap melawan wanita itu dengan tangan kosong. Nat yang berlari ke bawah segera mengambil Sada dari gendongan Gany, ia membawanya ke kamar bibi Ann dan bersembunyi di sana. Owen segera menutup setiap kamar berjaga-jaga jika ada yang masuk lewat atap. Rai menyusul Gany dan Papa-nya ke ruang tamu, asal suara. Sementara Tora, berjaga di pintu belakang.
Wanita itu terus melawan Tuan Edelweis tanpa mengeluarkan sepatah kata. Ia menukik, meninju, membanting Tuan Edelweis. Gany membantu ayahnya melawan si wanita asing itu dengan membanting si wanita. Kemudian ia mengarahkan pertarungan mereka keluar rumah. Gany menangkis setiap pukulan dari si wanita, “Benar-benar, kau seperti tak punya ampun”, gumam Gany terhadap wanita asing itu yang tak menyerah atas pertarungan mereka. Ketika Gany terpojok karena si wanita menodongkan senapan api padanya. Tuan Edelweis mengambil tongkat yang ia pajang di ruang tamu dan memukul punggung si wanita dengan kerasnya. Si wanita asing terkapar dan kemudian lari tunggang langgang dari rumahnya secepat yang ia bisa. Sesaat Gany memanggil saudara-saudaranya untuk menyisir setiap sudut rumah. Sada dan Nat keluar dari kamar bibi Ann dan menyusul mereka ke ruang tamu, bibi Ann mulai membersihkan pecahan kaca yang tersebar diruang tamu. Tuan Edelweis menarik Sada dan melihat bagian tubuh Sada, mengecek apakah ada yang terluka atau tidak.
“Pa, lihat di leher belakang Sada!” Nat terkejut melihat belakang leher Sada. Seperti ada alat yang menempel.
“Owen bisakah kau membantu Papa? Semuanya tenang, kalian siapkan es batu dan yang lain siapkan beberapa kain serta obat luka. Owen kemari, bawa kotak darurat milih Papa yang ada di ruang tengah.” Owen mengangguk, semua bergegas menyiapkan sesuai tugas mereka.
“Owen, kau bisa memangku adikmu?”
“Bukankah akan sakit seperti itu, Pa? Mengapa Sada tidak posisi tengkurap saja?” tanya Owen.
“Jika Sada kesakitan, ia bisa memelukmu dengan erat. Dan kau bisa menepuk-nepuk untuk menenangkannya.” Papa dengan tenang berusaha melepas alat yang ada dibelakang leher Sada. Menyobek sedikit kulit Sada agar alat tersebut sedikit longgar dan dapat ditarik. Tuan Edelweis memberi es batu yang dilapisi kain handuk agar perih yang dirasakan Sada sedikit tidak terasa. Owen menggenggam tangan Sada yang sedari tadi merintih kesakitan. Banyak darah yang keluar dari belakang lehernya, Tuan Edelweis dengan hati-hati mengusap darah dengan kain yang sudah disiapkan.
“Uhh, sakit.” Rintih Sada yang memeluk tangan kakaknya.
“Sabar ya nak, sebentar lagi lepas.” Alat yang berbentuk persegi sekitar 2 cm berhasil lepas dari lehernya, terdapat kabel sepanjang 1 inch dibawahnya. Tuan Edelweis menarik dengan perlahan, darah Sada semakin banyak mengalir. Bibi Ann membantu Tuan Edelweis mengusap darah yang semakin banyak keluar. Nat dengan sigap mengambil alat yang sudah berhasil ditarik kedalam wadah. Ia membersihkan alat itu dari darah dengan kapas. Sementara Tora membantu membersihkan kain yang penuh darah di lantai, Rai melihat sekelebat bayangan dari luar pagar mereka. Rai hendak keluar mencari tahu, karena mungkin ada hubungannya dengan kejadian ini. Tuan Edelweis yang sedang mengusap tangannya dari darah menoleh ke Rai yang sedari tadi tak berkutik, memahami raut Rai, ia segera menggelengkan kepala pada Rai, agar putranya tidak mengejar bayangan itu.
“Benar-benar keterlaluan.” Nat yang membersihkan alat tersebut bergumam.
“Ada apa?” Tora mendekat.
“Wanita s****n itu memasang alat pelacak pada tubuh Sada. Lihat, dan ini berfungsi.” Tuan Edelweis mendekat setelah Sada mulai tertidur di pelukan Owen.
“Rai, kau bisa mematikan alat ini?” pinta ayahnya.
“Aku tidak tau, tapi akan kucoba. Lebih baik kita membetulkan pintu terlebih dahulu dan menutup lubang kaca itu dengan kayu. Aku tidak mau saat kita tidur ada yang meneror lagi.” Rai menuju kea rah Nat yang duduk di pintu tengah. Rai membawa alat itu ke meja makan dan mengambil beberapa alat lain yang sudah ia kemas untuk pindah. Mereka yang lain mulai membetulkan kekacauan yang telah terjadi. Bibi Ann mengambil alih Sada dari pelukan Owen kemudian membawanya ke kamar Sada.
Rai berkutat dengan alat itu lebih dari dua jam. Ia bisa saja menghancurkan alat itu dan merusaknya agar mati. Namun, ia masih ingin bagiannya utuh tanpa rusak agar ia bisa melacak siapa yang tega melakukan ini pada adiknya.
“Sedikit lagi, kumohon.” Gumam Rai. Tora yang sudah duduk disampingnya ikut bergumam tak jelas.
“Yah, akhirnya!” seru Rai. Mereka semua berkumpul di ruang makan-kecuali bibi Ann. Satu per satu dari mereka mengamati alat pelacak itu. Mereka masih bingung mengapa alat sebesar ini bisa menempel dengan cepat di kulit Sada, padahal membutuhkan waktu lama untuk membuat alat ini mati. Terlebih lagi ada kabel yang menyerupai tali halus, bukan, lebih seperti benang yang panjangnya sekitar 3cm.
“Mungkin aku harus menanyakannya pada Maru.” Gumam Tuan Edelweis.
“Apa Tuan Maru mengerti alat itu?” tanya Tora keheranan.
“Aku tak tahu. Tapi ia bisa membantu mencari tahu.” Tuan Edelweis menghelas napas panjang. “Begini, malam ini kita menyelesaikan mengemas barang. Kemudian kita istirahat, nanti saat fajar Papa akan membangunkan kalian dan kita berangkat.”
“Pa, apa kami akan baik-baik saja. Aku hanya khawatir jika itu terjadi lagi.” Tora memainkan tangannya sambil menunduk.
“Tak apa nak, kita akan baik-baik saja. Aku yakin itu.” Mereka kemudian kembali melanjutkan aktivitas mereka sebelumnya. Tuan Edelweis yang sudah menyelesaikan tugasnya mulai melanjutkan mengemas barang-barang Sada. “Mungkinkan ini pertanda akan dimulai? Kalau begitu sudah saatnya aku melatih Sada dan memberi tahu anak-anak nanti.” Tuan Edelweis bergumam dalam keheningan. Malam yang mengejutkan bagi keluarga Edelweis. Akankah kekhawatiran Tuan Edelweis akan terjadi, ataukah ini hanya permulaan dari kekhawatiran itu. Yang ia tahu, ia harus melakukan apa yang harus ia lakukan.