Membuka lebar kedua tangan, terpejam dan menghirup dalam udara pagi. Bibir merah mudanya pun ikut melengkung ke atas. Perlahan membuka kelopak mata dengan sambutan langit biru terang bercampur awan putih.
“Hai! Dunia...” serunya dengan senyum bahagia.
“Kau berhayal memiliki sayap lalu terbang bersama burung, begitu?” sahut Ryo yang telah berada di belakang Vilien.
Terdiam. Pun mengerutkan dahi, lalu memutar kepala ke belakang hingga harus sedikit melengkungkan tubuh ke belakang. Berkedip karena mendadak Ryo terbalik.
“Tidak bisakah kau menjadi wanita pada umumnya?” keluh Ryo sambil mengangkat kepala Vilien naik, lalu memutar tubuh wanita itu. Kini saling berhadapan dan dua pasang netra itu beradu.
Vilien menghempas kedua tangan Ryo yang mencengkram masing-masing lengannya. Memasukkan tangan ke dalam saku hoodie dan mengangkat wajah tinggi.
“Ini masih sangat pagi, dan kau sudah berada di sini. Ku pikir kau sudah melupakanku,” sosor Vilien sedikit kesal.
“Aku merasa ada yang sedang memanggilku karena sangat merindukan pria tampan ini,” ucap Ryo percaya diri. Kemudian meletakkan satu lengan di bahu Vilien, merangkul leher wanita itu dan menggiringnya untuk berjalan.
Mendengar sambil melirik tangan keras Ryo yang terasa berat di bahu. Ia ikuti kemana pria ini menggiringnya. Menikmati juga wangi parfum khas Ryo yang tiada duanya. Segar nan lembut menyapa.
“Licin sekali ucapanmu,” ejek Vilien.
Terkekeh rendah, “Temani aku sarapan,” Ryo membelokkan tubuh Vilien masuk ke dalam cafe.
“Kau ada kelas?” tanya Ryo setelah menyeruput kopi dalam cup.
“Tidak,”
“Lalu, sepagi ini kau mau pergi kemana?”
“Taman,” jawab Vilien singkat. Kemudian menggigit roti yang dikeluarkan separuh dari bungkus kertas.
“sendiri?”
“Setidaknya di sana akan aku temui banyak orang,”
Ryo menghela nafas. “Kau nyaman?” tanyanya serius.
“Ya. Di sini jauh lebih baik. Jangan khawatir, aku terbiasa sendiri,” jawab Vilien dengan senyum hangat. Benar, Vilien tidak berbohong.
Ryo melipat kedua tangan di atas meja. Ditatap netra teduh Vilien dan diamati setiap inchi garis wajah cantiknya. Tersenyum sangat tipis dan lembut. Rasa lega dan senang melihat perubahan Vilien yang berbeda. Wajah jatuh dan murung yang selalu ia dapati dulu kini tak lagi ada.
“Cepat habiskan makananmu!” titah Ryo.
“Kau ingin mengajakku ke suatu tempat?” tebak Vilien dan diangguki Ryo.
Meski mentari mulai naik tapi udara dingin dan kabut masih menyelimuti sepanjang jalan aspal. Samar-samar cahaya matahari mencoba menembus kabut tebal. Sepanjang jalur yang dilalui berbatas tebing batu dan danau luas. Air jernih tampak tak tersentuh.
Sembari fokus mengemudi sesekali Ryo menoleh ke samping. Senyum bahagia yang tak kunjung hilang terus menghiasi wajah tampannya. Gadis kecilnya mulai menemukan bahagia di tempat ini. Meski sedari tadi hanya diam melihat alam sekitar melalui kaca yang terbuka, tapi raut wajah tenang dan nyaman tercetak jelas.
“Kau tidak salah membawaku ke tempat ini?” tanya Vilien setelah turun dari mobil.
“Kurang tepat saja,” jawab Ryo yang berjalan mendekati Vilien.
“Harusnya kau membawaku saat musim dingin tiba,” ucap Vilien.
Ryo menggandeng tangan Vilien. Menarik untuk mengikuti langkahnya menuju sisi samping villa. Jalan setapak yang membelah taman, sejenak menghipnotis Vilien. Aneka bunga hidup terjaga, ada beberapa jenis bunga yang belum pernah ia jumpai secara langsung. Sampai di tengah taman sempat dibuat takjub oleh kolam air panas. Bahkan ada penampungan sumber mata air yang juga dialirkan ke seluruh taman.
“Selain keluargamu kaya raya, ternyata cerdas dalam segala hal. Buktinya taman ini,” Vilien. Ryo hanya tersenyum mendengar penuturan Vilien.
Sampailah di taman belakang. Hamparan rumput hijau yang dikelilingi pohon apel, peach dan ceri.
“Astaga!” teriak Vilien takjub. Kedua matanya melebar lalu berlari ke tepi menghampiri satu persatu pohon buah yang saat itu sedang berbuah banyak.
“Boleh aku memetik sedikit saja?” seru Vilien kepada Ryo yang masih berdiri di tempat.
“Ambil sebanyak yang kau mau!” sahut Ryo pun berteriak.
Sementara Vilien sibuk dengan pohon buah, Ryo masuk ke dapur untuk mengambil air minum dan juga keranjang kecil. Benar, dari balik jendela kaca bisa dilihat Vilien kesusahan karena buah yang dipetik cukup banyak.
“Letakkan di sini,” titah Ryo sambil mengangkat keranjang sejajar dengan wajah.
“Banyak yang jatuh Ryo, kasian sekali. Apa tidak ada yang memanen?” ucapnya sambil meletakkan apel dan peach di keranjang.
“Ada. Siapa pun boleh memetik. Mungkin karena terlalu banyak,” jawab Ryo.
“Aku akan membawanya pulang. Lumayan untuk persediaan satu minggu ke depan,” ucap Vilien. Kemudian berlari kecil menuju pohon ceri.
Ryo tertawa geli melihat tingkah lucu Vilien. Wanita itu tidak hanya cukup mengambil di ranting bawah, tapi memanjat seperti monyet. Bisa dilihat dari bawah, wanita itu pun sambil menikmati ceri di atas. Memetik sambil mengunyah dan sesekali berseru heboh.
Kini keduanya duduk di atas rumput hijau. Berpayung pohon ceri mereka menikmati sejuk segar alam yang menghembuskan angin. Panas matahari seolah kalah dengan udara di tempat ini.
“Aku sangat ingin membawamu ke tempat ini saat musim salju. Tidak hanya tempat ini, akan ku tunjukkan banyak tempat indah yang ada di dataran Amerika. Tapi tuntutan perusahaan yang tidak bisa aku tinggalkan.” Ungkap Ryo.
Vilien menyenggol lengan Ryo dengan bahunya. “Aku tidak pergi kemana-mana, perusahaanmu jauh lebih penting. Kau harus tetap menjadi anak sulung kebanggan orang tuamu,”
Menyandarkan kepala di bahu Vilien dengan nyaman. Tatapan Ryo tidak beralih dari hamparan pinus yang berjajar rapi.
“Bahu ini selalu nyaman. Vi, berjanjilah kau akan selalu membagi suka dukamu denganku. Jangan pernah berpikir kau sendiri,” pesan Ryo sambil memejamkan mata, menikmati sandaran nyamannya.
“Kau selalu bermurah hati kepadaku. Sampai aku bingung harus membalas semua kebaikanmu dengan apa,” sahut Vilien sambil memainkan rambut coklat Ryo.
“Teruslah ciptakan kebahagian untuk dirimu sendiri, Vi. Aku sakit melihatmu murung. Andai kau memiliki perasaan sedikit saja kepadaku, aku akan rela menghabiskan sisa umurku bersamamu.” Ungkap Ryo.
“Kau menyayangiku dengan arti lain. Andai rasa itu tumbuh antara kita, aku pun tidak akan menolakmu. Antara aku dan kau sama-sama tahu hubungan dan ikatan seperti apa yang ada. Rasa yang seperti itu sangat jauh untuk kita gapai,”
“Vi, jangan lagi kau jatuhkan air mata. Berjanjilah kepadaku?” pinta Ryo. Kedua mata mulai berair dan semakin buram.
Vilien menyandarkan kepala pada kepala Ryo yang masih berada di bahunya. Ia usap lembut rahang kokoh pria itu dengan satu telapak tangannya.
“Semua yang membebani diriku telah terlepas. Tidak ada lagi alasan untukku sedih. Walau... terkadang satu malam mengingatkanku pada ayah.” Vilien mengusap bulir yang tiba-tiba jatuh dan kembali memaksa senyum meski sulit bibirnya untuk melengkung ke atas.
“Dia telah sampai hati membiarkan putrinya sendiri keluar dari rumah, lalu kau masih memikirkan dia.” Dengus Ryo.
“Ryo. Sungguh, aku tidak keberatan. Bagaimana pun dia tetap ayahku hingga sampai kapan pun,”
“Terserah kau saja.” Putus Ryo. Ia tidak ingin berdebat hanya karena obrolan kecil yang menyenggol ayah vilien.
Di tempat lain, dua jam Zayden menunggu Vilien di depan restoran. Namun, gadis itu tidak ada dalam penangkapan netranya. Mendatangi apartemen juga sudah kosong.