Skalla-2

2017 Words
Kendaraan roda empat itu berhenti tepat di depan gerbang SMA Bintang Mulia, kaca mobil diturunkan dan tampaklah wajah cantik wanita berusia 47 tahun. Gadis berambut panjang itu langsung masuk ke dalam mobil yang menjemputnya, dia lelah dan badmood. Tadi, dia sudah menelpon abangnya berkali-kali, tapi ponsel cowok itu malah tidak aktif. Untung saja Mamanya mau menjemputnya. Brio putih melenggang ke jalanan, masih tak ada pembicaraan apapun di antara Ibu dan anak tersebut. "Kamu kenapa sih cemberut terus, hm?" tanya Andini, mama Letta dan Gevit dengan penuh perhatian. "Letta sebel banget, Ma, sama bang Ge! Sebel, sebel, sebel!" wajah kesal Letta terlihat sangat menggemaskan membuat Andini tak bisa menahan tawanya. "Tadi udah Letta telepon, tapi malah nggak aktif. Setidaknya kalo mau pulang duluan kan bisa kabarin Letta" lanjut dia masih dengan raut wajah tertekuk. "Mungkin Abang lupa, Ta. Namanya juga manusia, nggak ada yang sempurna" "Ish! Tapi bang Ge emang ngeselin banget" "Tetep sayang, kan?" Andini tampak menggoda Letta, "Abang nya kan cuma satu, masa nggak sayang sih?" "Ya.. ya sayang. Sama mama juga sayang, tapi mama nggak pernah ngeselin kayak bang Ge" "Ututu, bayi mama lagi badmood banget ya.." Andini yang tak kuasa menahan gemas, menarik pipi Letta. "Mau mampir beli minuman dulu nggak? Di depan ada supermart?" Letta menggeleng. "Nggak mau, mau langsung pulang aja, Ma" "Yaudah, langsung pulang." tidak mau membuat anaknya semakin kesal, Andini pun menurut. Tak ada pembicaraan lagi, hanya alunan musik dan sesekali senandungan Andini yang terdengar. Letta sibuk dengan pikirannya, musik yang mengalun sedari tadi mengusik dasar hati gadis berusia 16 tahun itu.  Letta dan Gevit berjarak dua tahun, karena sebuah kejadian yang membuat mereka lahir dengan jarak yang berdekatan. Mereka berdua tumbuh bersama, saat Gevit masuk sekolah, Letta terus merengek, dia ingin sekolah juga. Alhasil, Letta kecepetan masuk sekolahnya. Mungkin karena usianya yang masih remaja, sifat Letta jadi labil. Sering merasa moodswing dan gampang baper. Seperti sekarang ini, hatinya terusik oleh lagu Ayah milik Rinto Harahap yang tengah di putar oleh Andini. Dimana akan ku cari Aku menangis seorang diri Hatiku s'lalu ingin bertemu Untukmu aku bernyanyi "Ma," panggil Letta pelan, takut menyinggung perasaan Andini kalau harus membahas tentang papa sekarang. "Hm?" "Sebenernya Letta punya Papa nggak sih, Ma?" Ayah dengarkanlah Aku ingin berjumpa Walau hanya dalam mimpi Ckiittt!! "Awh!" Ringis gadis itu saat tiba-tiba saja andini menginjak rem, jemari wanita itu gesit mematikan musik yang tengah mengalun. Letta menatap Andini dengan perasaan waswas. "Ta, bukan waktunya untuk membahas hal ini sekarang." jawab wanita berambut panjang yang disanggul rapi. Sungguh, dia tidak ingin bertengkar lagi dengan Letta karena masalah ini. Helaan nafas terdengar prau. "Bener ya, Letta sama bang Ge nggak punya papa?" "Letta--" "Mama kenapa sih selalu nutupin apapun tentang papa? Kenapa mama seolah nggak mau aku sama bang Ge tau siapa papa dan dimana papa berada." "Udah mama bilang papa meninggal, Letta--" "Nggak!" Letta terus saja memotong ucapan Andini. "Mama bohong! Kalau papa meninggal, setidaknya bawa aku dan bang Ge ke pemakaman papa." Mobil kembali melaju, Andini menulikan pendengarannya. Dia enggan membahas topik ini dengan kedua anaknya atau siapapun. Andini benar-benar ingin melupakan sosok itu, sosok yang membuat hidupnya hancur, dia harus tertatih sendirian di gubuk reyot milik pengemis yang dengan suka rela menawarkan tumpangan tempat tinggal untuknya-- Argh!!  SIALAN! Andini jadi teringat tentang kejadian itu lagi, Letta benar-benar memporak-porandakan emosi Andini sekarang. Kedua tangannya mencengkram kemudi dengan erat, nafasnya naik turun tak beraturan.  Letta tak berani menatap Andini, dia tau kalau wanita yang ada di sampingnya kini tengah marah. Sebenarnya, Letta pun tidak salah dengan menanyakan soal papa kepada Andini. 16 tahun dia hidup, dan belum pernah dia merasakan sentuhan seorang papa. Bahkan, Letta tidak tau siapa nama papa nya sendiri. Kalau seandainya kalian jadi Letta, apakah kalian masih sanggup menjalani hidup dengan penuh rahasia seperti ini? Kapan Andini mau menceritakan sosok papa kepada mereka berdua, pertanyaan itu lah yang senantiasa mampir di kala Overthinking Letta. "Aku nggak tau apa yang udah terjadi dengan mama di masa lalu, karena mama nggak pernah mau terus terang sama aku ataupun bang Ge. Tapi apapun alasan mama, nggak seharusnya mama kayak gini. Ini nggak adil buat aku sama bang Ge, Ma." Letta kembali membuka mulutnya, dia memberanikan diri. "Maaf, Ma." kata maaf  menutup pembicaraan mereka. Andini tak ingin mendengar apapun sekarang, dia hanya ingin sampai dirumah dengan selamat, lalu istirahat. Mungkin bagi sebagian orang, tindakan Andini ini egois, tapi Andini melakukan semua ini bukan hanya untuk dirinya, melainkan untuk dua anaknya juga. Kalau sampai Letta dan Gevit tau masa lalunya, tidak menutup kemungkinan mereka akan membenci Andini. Khususnya Gevit. Dan Andini tidak ingin itu terjadi. Kendaraan roda empat yang Andini kemudikan akhirnya sampai didepan rumah, wanita itu menekan klakson dua kali. Tak lama seorang cowok keluar, cowok itu hanya memakai kaos abu-abu dipadukan dengan celana hitam pendek. Swallow tetap menjadi alas ternyaman di manapun dan kapanpun. Letta mendengus kesal, mengingat Gevit sudah berada di rumah sementara tadi dia menunggu di depan sekolah sampai jamuran, k***s, kurap. Setelah mobil masuk, Gevit kembali menutup gerbang. Saat mesin mati, Letta langsung turun dan masuk ke rumah begitu saja tanpa menyapa sang kakak yang berdiri dengan raut wajah kebingungan. "Kenapa lagi sih tuh bocah." komplain Gevit seraya mengunci gerbang. "Letta kenapa lagi tuh, Ma?"  Langkah kaki Andiri terhenti, wanita itu menggeleng sebagai jawaban. "Biasa lah, Bang. Mama masuk duluan ya, jangan lupa gerbangnya dikunci." baru dua langkah, Andini kembali berhenti. "Oh iya, tadi Letta bilang dia hubungi kamu tapi nggak bisa, kenapa?" Gevit nyengir. "Hapeku batrenya habis, Ma. Jadi nggak tau deh." "Oh, lain kali kalo mau pulang duluan di kabari dulu adek nya. Marah tuh dia" "Iya, Mama" -Tahubulat- Gevit turun, saat kakinya menjejaki anak tangga, netra nya menatap ruang makan yang masih sepi. Kemana Mama nya dan Letta? Bibi menonton tv di belakang, pekerjaannya sudah selesai. Saat panggilan dari Gevit terdengar wanita paruh baya itu segera mendekat. "Mama sama Letta mana, Bi?" "Belum turun, Mas." Gevit menganggukkan kepala, tangannya masih sibuk memakai jaket. "Yaudah deh, nanti kalo Mama cari bilang aja Gevit main ke rumah Leo" Si bibi hanya mengangguk, lantas kembali ke belakang. Sinetron mas Al dan mbak Andin sangat seru membuatnya begitu menyayangkan jika dilewatkan meski hanya satu menit. Karena Elsa yang tengah menuduh Andin sebagai pembunuh Roy.  Back to topik, perjalanan dari rumah Gevit menuju rumah Leo membutuhkan waktu sekitar 25 menit menggunakan motor, angin malam menerpa wajahnya yang tidak tertutup kaca helm. Sepanjang perjalanan pikiran Gevit tersita oleh gadis bernama Alena yang tadi pagi gagal untuk dia dekati. Bukan hanya tadi pagi, kemarin-kemarin juga gagal karena Gevit insecure. Dengan kecepatan normal, akhirnya motor Gevit berhenti di depan gerbang rumah sahabatnya. Memencet bel, tak lama seorang pembantu muncul. "Mas Gevit" sapa pembantu itu. Gevit tersenyum. "Leo ada, 'kan, bi?" "Ada, Mas--eh, itu  motornya nggak sekalian dimasukin aja, Mas?" tanya si bibi saat Gevit hendak masuk ke dalam rumah, cowok itu menggeleng. "Biarin aja lah, bi. Aman kok." "Yasudah kalo begitu, Mas Leo ada di kamarnya." "Sip, bi." Leo tinggal sendiri dirumah besar itu, kedua orang tuanya lebih banyak menghabiskan waktu di luar negeri. Hanya sesekali mereka pulang untuk melihat keadaan anaknya ditambah dengan mengecek nilai-nilai sekolah Leo juga perilaku cowok itu ketika di sekolah.  Tenang aja, Leo bukan cowok badboy karena kurang kasih sayang dari keluarga kok. Cowok itu cukup bersyukur dengan apa yang dia punyai sekarang. Teman, sahabat, dan pembantu yang mau merawatnya.  Cowok yang saat ini tengah bermain game di komputer itu menoleh, mendapati Gevit sudah nyelonong masuk ke dalam kamarnya. Spot pertama kali yang Gevit tuju adalah balkon, as always. Leo yang sudah hafal akan kebiasaan sahabatnya tak memberikan komentar apapun, melanjutkan bermain game.  "Kira-kira dia ngapain ya sekarang" ucap Gevit, netra nya menatap lurus ke arah jendela kaca yang ada di seberang.  "Baca novel kali" jawab Leo singkat, game over. Kini dia beranjak menghampiri Gevit seraya membawa dua minuman kaleng, mengulurkan satu untuk Gevit. "Lo kalo mau deketin cewek tuh yang serius kenapa sih? Jangan undat-undut kek p****t ayam gini." Leo kembali mencela Gevit, jujur, dia gemas dengan sahabatnya itu. "Makanya lo bantuin gue"  "Ogah! Gue udah bantuin, eh lo nya malah nggak serius." "Kali ini gue bener-bener serius, aelah." Leo menatap Gevit, seperti menganalisis ucapan cowok itu. Berbalik badan, mengambil sebuah kerikil kecil yang ada di pot bunga, tak lama Leo melemparkan kerikil itu ke arah jendela kamar Alena yang langsung menimbulkan bunyi ctak!  "Nah, udah gue bantu kan. Awas kalo lo nggak serius lagi" setelah berkata seperti itu, Leo berjalan masuk ke dalam kamar meninggalkan Gevit dengan muka cengonya. Terdengar pintu kaca terbuka dari seberang, dan sebuah suara langsung masuk ke indra pendengaran Gevit. "Mana Leo?"  Suara gadis berambut panjang dan berwarna hitam itu mengagetkan Gevit. Cowok itu jadi gelagapan sendiri sekarang. Dia menoleh ke arah belakang, tak nampak batang hidung Leo.  "LEO! KELUAR LO!" Teriak Alena membahana, padahal ini malam-malam loh, bisa-bisa membuat penghuni komplek berdatangan. Leo tidak ada di kamarnya, dia sudah turun ke bawah mencari makanan. "Kayaknya dia turun deh, Al." Gevit membuka suara. Mencoba mengatur kegugupannya, Gevit mengembangkan senyum kaku. Alena mendengus kasar, "s****n emang tuh orang, awas aja." saat Alena hendak masuk, suara Gevit  menginterupsi.  "Alena!" Alena menoleh, menaikan kedua alisnya. "Gue pengen kenalan sama lo." Diam, Alena masih belum menjawab.  "Al? Gimana?" "Apanya?" Alena balas bertanya, dia bingung. "Bukannya lo udah kenal gue, ngapain kenalan lagi?"  Ya, nggak salah juga sih, Gevit kan memang sudah mengenal gadis itu bahkan sebulan yang lalu. Lantas, untuk apa mereka berkenalan lagi, lagipula, secara logika, Alena pasti juga sudah mengenal Gevit. Di BM siapa sih yang tidak mengenal sosok Gevit? Duh, pintar pelajaran belum tentu pintar masalah perbucinan ya. Buktinya, sekarang Gevit malah jadi salah tingkah sendiri, seperti orang t***l. "Maksud gue--" "Nama lo Gevit, 'kan?" tebak Alena, cowok tampan itu dengan semangat mengangguk, membenarkan. "Semua anak Bintang Mulia pasti kenal sama lo. Lo udah kenal sama gue, gue juga udah kenal nama lo, jadi?" "Temenan?" "Not bad, kita temenan." "Gue minta nomor w******p lo." Alena diam sesaat, menatap Gevit dengan bingung. Alena tidak bodoh, dia tau kalau gerak-gerik Gevit itu bisa jadi tanda seseorang tertarik pada kita, bukan masalah dia kepedean atau apa. Bisa dilihat dari gelagat Gevit yang salah tingkah saat berada di depan nya juga ucapan cowok itu yang sekilas terdengar aneh. Dan dugaan Alena semakin kuat saat Gevit tidak berani menatap matanya saat berbicara dengannya. Alena bertanya dalam hati, adakah yang menarik dari dirinya sampai seorang Gevit Skallata tertarik padanya. "Minta aja ke Leo, kalo di kasih ya elo beruntung, kalo nggak ya elo buntung" selesai berkata seperti itu Alena masuk ke dalam tanpa mengucapkan apapun lagi. Tak menunggu waktu lama setelah punggung Alena menghilang, cowok itu langsung melesat, turun kebawah mencari keberadaan Leo.  Senyum Gevit mengembang kala mendapati Leo tengah makan di ruang makan. "Le, gue minta tolong satu hal lagi sama lo please. Janji setelah ini gue bakal pulang!" "b*****t!" umpat Leo yang kaget karena kedatangan Gevit serta teriakan cowok itu. "Pelan-pelan bisa kan? Kalo gue mati lo mau gantiin gue jadi anaknya Mr. Tom sama Mrs. Bella?" Fyi, Papa Leo bernama Thomas Brawijaya, sedangkan Mamanya bernama Salshabella. "Sori-sori"  "Jadi kenapa lo teriak-teriak kayak lagi dihutan?" "Gue minta nomor ponsel Alena sekarang juga!" Leo menatap Gevit dengan kerutan di kening. "Tadi belum minta?" "Di suruh minta ke elo anjir" "Nggak gratis ya tapi" Gevit terdiam sejenak, cowok itu duduk di samping Leo seraya menganalisis, kira-kira permintaan apa yang akan cowok itu ajukan untuknya. "Deal." "Tuh, ambil aja" Leo menunjuk ponselnya yang ada di samping tangannya. Dengan semangat Gevit membuka ponsel Leo, mencari nomor kontak Alena lantas mengcopy nya. Yes! Akhirnya dia mendapatkan apa yang selama ini dia inginkan, nomor ponsel. Dengan ini, Gevit menyatakan akan memperjuangkan Alena Putri sampai titik darah penghabisan.   "Udah kan? Ngapain senyam senyum?" "Hehehee" "Ha he ha he, pulang lo" Leo mengusir Gevit secara terang-terangan. Gevit? Dia tidak tersinggung sama sekali, dia tau Leo tidak serius mengusirnya, hanya menyuruhnya untuk pulang saja. Karena Leo sudah baik hati, Gevit pun menurut, dia berjalan pulang. Setelah kepergian Gevit, Leo menatap nanar ponselnya, cowok itu meletakan sendok dan garpunya. Nafsu makan Leo hilang entah kemana. Cowok itu menghela nafas panjang sebelum akhirnya menghembuskannya perlahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD