Skalla-5

2092 Words
Hari berjalan begitu cepat, tau-tau sudah hari minggu. Sepertinya, bukan hanya kedua saudara itu yang merasakan kalau semakin kesini hari itu semakin cepat berlalu. Rasa-rasanya, baru kemarin  Letta diantar pulang oleh Alfa dan berlanjut dengan chattingan sampai lupa waktu, alhasil Letta kena tegur Andini. Tidak ada yang spesial dari hari demi hari yang dilalui oleh kakak beradik itu. Mereka sekolah setiap pagi sampai siang, Letta biasanya langsung pulang sementara Gevit seminggu dua kali harus latihan basket untuk pertandingan.  Lupakan soal mengejar cinta Alena yang entah sampai kapan bisa Gevit dapatkan, dia sudah berusaha mendekat dengan cara sehalus mungkin. Mulai dengan sengaja mencocokan waktu ke kantin agar bisa menyapa, atau Gevit sengaja pulang terlambat saat tau Alena masih sibuk di ruang osis. Dia bahkan tak keberatan jika diminta bantuan oleh anggota osis untuk membantu sebab ada Alena disana. Alena. Alena. Alena.  Hanya nama itu yang akhir-akhir ini mengusik tidur tenang Gevit. Diam-diam dia bahkan mendoakan putusnya hubungan Alena dan Gala. Tak jauh beda dengan Gevit, nasib Aletta pun sama. Chattingan yang sempat dia dan Alfa lakukan kemarin itu perdana. Tidak ada lanjutan nya lagi bahkan sampai hari ini. Kalau Letta bilang, Alfa menghosting.  "s****n, mana gue udah baper lagi" monolog Letta sore itu saat nama Alfa melintas di otaknya. Lupakan soal kisah cinta dua saudara yang miris itu. Gasibu minggu pagi selalu ramai, banyak orang-orang yang datang untuk tujuan masing-masing. Letta dan Gevit adalah salah satu, atau salah dua diantara banyaknya orang yang datang pagi ini.  "Haaah, bang!" teriak Letta seraya memegangi perutnya, keringat sudah membasahi wajah, leher hingga punggung nya. Gadis itu menyeka wajahnya dengan handuk kecil yang melingkar pundaknya. Dia dan Gevit sudah berlari memutari gasibu sebanyak 3x, dan itu sudah bikin ngos-ngosan. Melihat Letta yang sudah kepayan membuat suara tawa Gevit mengudara, cowok itu berlari mundur hingga mensejajari langkah Letta. "Yaelah, segitu doang kemampuan lo?" cibir cowok yang masih lari-lari di tempat seraya mengusap keringatnya. "Tadi nantangin mau lima putaran, putus tuh kaki" Plak! "Aduh." Ringis Gevit, pukulan Letta pada bahunya benar-benar sakit. Gevit berhenti, tangannya mengusap-usap bahu nya yang panas.  "Kesel sih kesel, tapi jangan main pukul orang sembarangan dong!" "Sukurin! Makanya jangan rese" netra cantik milik Aletta menyebar, mencari pedagang minuman yang ada di luar area gasibu. "Gue haus banget, Bang. Tenggorokan gue kering banget nih" keluh Letta seraya mengelus tenggorokannya. "Udahan nih larinya?" tanya Gevit memastikan. Setelah mendapatkan anggukan dari Letta, cowok itu merendahkan tubuhnya. "Naik, daripada lo pingsan pas jalan keluar nanti" Duh, dimana cari kakak sebaik dan sepeka Gevit? "Nggak usah, gue bisa jalan sendiri. Lagian lo mesti capek juga" alah, basa-basi itu. Aslinya mah Letta kegirangan karena dia tak perlu jalan kaki lagi. "Udah cepetan naik" Untung saja Gevit tak membatalkan tawaran itu. Dengan semangat 45, Letta meloncat naik ke atas punggung basah Gevit. "Tadi sok-sokan gamau" lagi-lagi Gevit mencibir, sepertinya dia suka sekali mencibir apapun yang dilakukan oleh Letta. "Sudah, jangan banyak cakap kau, abang. Mari kita beli air minum, ciaaa!!!" Letta menepuk kedua pundak Gevit, dan seperti kerbau dicocok hidungnya, Gevit langsung melangkahkan kaki. Untung saja yang ada di gendongannya ini adalah Letta, jadi dia tidak tega membuang adik satu-satunya ini meskipun dia laknatnya minta ampun. Gevit berhenti di stand bubur ayam, Letta segera turun. Dia membuka lemari pendingin kecil dan mengeluarkan sebotol air mineral. "Eeeehhh, lo ngapain minum air dingin b**o" Gevit segera merampasnya, dia menggantinya dengan air mineral biasa. "Aaaa, abaaaang. Mau yang dingiiinnn" dah, keluarlah jurus Letta, yakni merengek seperti bayi. "Letta, habis olahraga tuh nggak boleh minum air dingin. Sebab, air dingin tidak bisa cepat diserap oleh tubuh lo yang lagi dehidrasi itu. Dan lo akan semakin haus nantinya.. nih!"  Meski kesal, Letta menerima air mineral biasa itu, dia langsung meneguknya hingga sisa setengah. "Bu, bubur dua sama air lemon dua" pesan cowok tampan berdimple di kedua pipinya itu. Dia sengaja tidak memesan teh manis dan lebih memilih air lemon karena memang air lemon lebih sehat apalagi kalau diminum pagi hari. Gevit melepaskan headband yang sedari tadi ia kenakan, tangannya sibuk menguncir rambutnya yang tidak seberapa panjang itu, setelah selesai Gevit kembali memakai headband nya. Dua bersaudara itu duduk di kursi plastik seraya menunggu bubur pesanan mereka siap. Kalau makan bubur, selera mereka berbeda. Gevit itu tim bubur diaduk plus kacang, sementara Letta tim bubur tidak diaduk tanpa kacang. Bagi Letta, bubur diaduk itu tampilannya begitu menjijikan. Meski kata Gevit, rasa dari bubur diaduk lebih nikmat dibanding tidak diaduk. Jadi, kalian tim mana? Diaduk, atau tidak diaduk? "Bang"  "Hm?" Gevit yang tengah mengecek ponselnya mendongak, demi menatap wajah Letta.  "Emang bener ya lo lagi deket sama kak Alena?"  Sumpah ya, meskipun Gevit menyukai Alena bahkan sekarang mengejar cinta gadis itu, dia tidak pernah melakukan approach secara terang-terangan. Karena ya, Alena punya pacar, dan jangan sampai Gevit kena rumor perebut pacar orang. Yang tau kelakuan Gevit ya cuma Leo sama Vero. Dia melakukan dengan senatural mungkin. "Gosip dari mana lagi tuh?" "Yah, gue cuma denger seletingan aja sih katanya lo lagi deket sama kak Alena" Gevit tak langsung menjawab, dia terlalu enggan untuk bercerita tentang kisah percintaannya kepada gadis yang bahkan belum genap berusia 17 tahun itu. Yep, usia Letta baru 16 tahun, sementara usia dia 18 tahun. Karena jarak di antara keduanya tidak terlalu jauh biasanya Letta dan Gevit sering dikira pasangan kekasih, bukan sebagai kakak beradik. "Nggak usah dengerin gosip yang gak bener, Ta. Lagian lo juga tau sendiri Alena punya cowok, 'kan?" "Iya juga sih--" "Bu, bubur bungkus 2 ya" Suara itu membuat obrolan kakak beradik tadi terjeda, mereka kompak menoleh ke samping dan mendapati Alfa disana. "Alfa" panggil Gevit  membuat atensi Alfa teralihkan, cowok itu tersenyum.  "Hei, disini juga?" Alfa menarik kursi plastik untuk ia duduki, wajahnya miring sejenak untuk melihat wajah seseorang yang ada di samping temannya. "Hai, Ta." sapa Alfa seperti biasa. "Oh, hai, Kak" Sialan, habis nge-ghosting gak ada rasa bersalahnya sama sekali nih cowok. Batin Letta kesal. "Kalian habis cfd ya?" pertanyaan retoris sebenarnya, mengingat dimana tempat mereka dan pakaian yang dikenakan oleh Letta juga Gevit. Bubur mereka akhirnya sampai. "Iya nih, si Letta yang ajakin. Tumben-tumbenan dia mau cfd" jawab Gevit seraya mengaduk buburnya. "Kapan-kapan ajakin gue juga dong, rumah gue nggak jauh kok dari sini. Palingan lima belas menit juga sampai" timpal Alfa, Letta tidak bersuara sedari tadi. Dia memilih untuk diam dan tak menanggapi. Lebih baik seperti itu daripada dia nanti baper. "Diem aja, Ta?" "Hm?" Sialan! Kenapa Alfa harus menyenggolnya sih. "Haha, lucu banget muka lo. Kayak bayi." Gevit hanya melihat interaksi keduanya. Pipi Letta dengan tidak tau adatnya, bersemu merah. "Bentar lagi 17 tahun, kak. Mana ada kayak bayi" "Haha, iya, iya." kalau dipikir-pikir, Alfa ini banyak ketawa nya ya. Makin hari makin cakep juga.  Akhirnya, bubur yang ia pesan siap. "Gue duluan ya" "Hati-hati, Kak" Alfa tersenyum tipis, lantas mengangguk. Netra Letta masih belum bisa lepas dari punggung ganteng cowok yang baru saja beranjak itu, Gevit yang menyadari keanehan sikap Letta berdehem. "Lo tertarik sama dia?" "Hm?" loading.... "Apaan sih, nggak kok" Kilah Letta yang enggan untuk jujur, karena dia sendiri belum yakin apakah dirinya tertarik atau hanya sekedar mengagumi sosok Alfa. Tapi Gevit kan tidak bodoh, dia tau jawaban antara yakin dan ragu, dan yang barusan dilontarkan oleh adiknya itu adalah jawaban keraguan. "Ta, bukannya apa-apa. Kalo lo sampe suka sama si Alfa posisi gue yang bakal nggak enak disini" "Maksudnya?" "Selama ini gue terkesan menghalangi Vero buat deketin lo, padahal tanpa gue halangi pun lo juga nggak tertarik sama dia. Dan sekarang, lo nunjukin tanda-tanda tertarik sama Alfa yang notabene jadi temen gue. Lo bisa bayangin gimana reaksi Vero pas gue ngebiarin lo deket sama Alfa nggak?" Letta meletakan sendoknya, menatap ke arah Gevit. "It's not my problem, abang." jawabnya singkat. "Laknat lo!" Letta tertawa, "Gue aduin Mama tau rasa lo, pake segala ngumpat ke gue lagi." "Bodo amat!" -Tahubulat- Andini baru saja selesai masak dan beberes rumah di hari minggu, bibi pulang kampung, jadi wanita itu sendiri yang sekarang turun tangan. Baru saja hendak bersantai di depan tv, suara gaduh dari luar rumah membuat ketenangan Andini terganggu. "Abang lepasin, ih!" Letta mendorong Gevit agar menjauh darinya. Tapi semakin Letta kesal, maka semakin senang pula Gevit menggoda gadis itu.  Keringat di pelipis tentu tak enak dirasakan oleh lidah manusia, tapi Gevit dengan laknatnya mengusap keringat di pelipisnya ke arah wajah Letta membuat sang empu spontan berteriak. "ABAAAANGG!!" "Letta!" tegur Andini sembari menutupi telinganya, suara Letta mengancam fungsi indera pendengarannya sekarang. "Jangan teriak-teriak, kamu tuh cewek, harusnya kalem!" sekarang lihat, malah Letta yang kena omel, padahal biangnya adalah Gevit. "Kamu juga, Bang. Udah tau keringat itu kotor, kenapa malah diusap ke wajah Letta?! Jangan jorok!" Kata-kata Andini hanya dibalas dengan senyuman oleh Gevit, sudah 1001 kali dia mendengar kata-kata 'Jangan jorok' yang keluar dari bibir mamanya. Gevit tau tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, termasuk dirinya sekalipun. Meski dilimpahi otak cerdas, wajah tampan serta keadaan finansial yang bagus, bukan berarti Gevit tak punya kekurangan.   "Nah, lo. Dengerin tuh omelan Mama" timpal Letta sembari menjulurkan lidah ke arah kakak nya. "Lo juga kena omel kali, dasar." "Stop! Mandi sekarang!" Kedua nya langsung ngacir naik ke lantai atas, setelah sama-sama masuk ke dalam kamar masing-masing barulah keadaan rumah kembali tenang. Andini menggeleng-gelengkan kepala sembari mengelus dadanya. Mengurus dua anak di tengah statusnya sebagai single parent tidaklah mudah, tapi untung saja dia sanggup.  Padahal, kalau Andini mau, dia bisa menikah dengan duda-duda kaya. Banyak kok yang mengajaknya menikah, namun Andini selalu menolak. Dia sudah cukup bahagia dengan kehidupannya sekarang. Bersama Letta dan juga Gevit, mereka berdua adalah segalanya untuk Andini. Netra Andini menyebar, menatap setiap sudut rumah yang ia bangun dari keringat dan jerih payahnya sendiri lantaran terlalu bekerja keras. Tapi setelah semua kesusahan itu akhirnya Andini bisa tersenyum lega, dia bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Rencana demi rencana yang dulu ia susun, kini satu persatu sudah berhasil ia capai. Alon-alon asal kelakon, sepenggal kalimat yang selalu Andini ingat. "Aku berhasil, Pa, Ma. Aku berhasil jadi orang, aku berhasil membesarkan kedua anakku sendiri, aku berhasil membuat mereka tumbuh dengan baik,.." ucapan Andini terhenti, tiba-tiba sesak di hatinya kembali terasa. "Aku selalu berdoa sama Tuhan agar Gevit dan Letta tidak pernah tau masa kelam Mamanya. Karena aku pengen jadi role model yang baik untuk kedua anak-anakku" "MAMA, SHAMPO KU HABIIIISS!!" Air mata yang hendak lolos dari pelupuk Andini mengering kala menatap Gevit yang keluar kamar dengan handuk yang membelit tubuh bagian bawahnya, sementara bagian atasnya ia biarkan terbuka begitu saja. Cowok itu nyengir tanpa dosa, "Masuk kamar cepat, nanti Mama yang anterin ke sana." "Oke." Andini berjalan naik ke atas, dan masuk ke dalam kamarnya guna mencari persediaan shampo. Setelah menemukannya, wanita itu kembali berjalan menuju kamar Gevit, Andini mengetuknya, tak lama kepala Gevit nyembul dari balik pintu. "Nih." "Makasih, Ma." "Sama-sama." Setelah mendapatkan shampo yang dia inginkan, Gevit segera masuk ke dalam kamar mandi dan melanjutkan keramasnya. Kalau cowok lain, mandi mah cepet, beda banget sama Gevit yang mandinya lama sekali. Kalau Gevit memang sedang ingin, dia akan mandi sangat lama bahkan lebih lama dari durasi mandi Letta. Seperti sekarang ini, cowok itu menyelesaikan keramas nya dulu, disusul cuci muka dan memakai handuk. Beralih menuju cermin, tangannya sibuk memasang mask sheet ke area wajahnya. Setelah beres, Gevit kembali melepaskan handuk yang membelit tubuh bagian bawahnya, melangkahkan kaki masuk ke dalam bathup yang sudah dipenuhi oleh lautan busa. Yah, itu lah ritual singkat seorang Gevit Skallata saat tengah mandi. Sementara di ruangan lain, Letta sudah asik dengan beberapa novel yang ia tumpuk untuk menemani sisa hari minggunya. Kebiasaan seperti ini sudah dia lakoni sejak SMP, ada sedikit keinginan untuk menjadi seorang penulis, tapi,.. Letta terlalu mager. -Tahubulat- "Hmm, aromanya.. wangi benerrr" sindir Andini yang saat ini masih duduk di sofa depan tv saat Gevit berjalan di sampingnya dan hendak mengabaikannya begitu saja. Cowok itu nyengir lebar, lantas bergabung sebentar dengan sang Mama. "Mau kemana?" "Cari calon menantu buat, Mama, nih." "Gevit!" Andini sudah hendak menyembur kembali, tapi Gevit buru-buru menyela. "Bercanda doang, Ma. Ya ampun, sensi amat sih sama Gevit." "Lagian, masih SMA kok sok-sokan cari menantu buat Mama. Emang nya kamu mau Mama nikahin sekarang?" "Ish, ya nggak lah, Ma." "Makanya.." "Gevit mau ke rumah Leo" Andini menyipitkan mata sembari menatap Gevit dengan penuh curiga. "Serius??" "Iya, Mamaaa" "Yasudah, sana pergi." Gevit mencium tangan Andini sekilas, lantas berdiri. "Ke rumah Leo sakalian apel ke rumah calon menantu, Mama!!" Untung saja Gevit langsung kabur, karena Andini sudah ancang-ancang akan melemparkan bantal yang sedari tadi ada di pangkuannya. "Oala Gevit, Gevit,.. baru juga sunat kemarin udah main mantu-mantuan aja. Bocah sableng" Senyum Andini mengembang, geli.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD