Kenyataan

1260 Words
Abimanyu menyelesaikan rapatnya sore itu dan dia bermaksud kembali kedalam ruangannya ketika seseorang sudah berada di dalam sana menantinya. Senyuman ceria merekah di wajah Vivi setelah menemukan suaminya yang telah dia nanti kedatangannya. "Kejutan!!" katanya, dan dia menghambur ke pelukan Abim. "Terkejut?" dia menatap wajah suaminya, kemudian mengecup sudut bibir pria itu dengan lembut. "Kamu pulang." Abim tergagap, dia tak menyangka Vivi akan pulang secepat itu. "Ya, bagus kan?" "Ya, tentu saja bagus. Dan... Lebih cepat dari yag kamu katakan." ucap pria itu yang pasrah saja ketika Vivi kembali memeluknya dengan erat. "Mamang. Pekerjaanku selesai lebih cepat dari rencana, dan itu membuatku ingin cepat-cepat pulang kepadamu." dia menenggelamkan wajahnya di d**a suaminya. Abim membeku. "Kamu tidak senang aku pulang?" Vivi mendongak untuk melihat wajah suaminya. "Apa? Senang. Tentu saja aku merasa senang. Bagaimana bisa aku merasa tak senang? Istriku baru saja kembali." pria itu meracau. "Hmm... Baiklah." Vivi kembali menenggelamkan wajahnya di d**a pria itu. "Kita pulang?" gumamnya kemudian. . "Pulang? Baik kita pulang sekarang. Ayo?" Abimpun menariknya keluar dari gedung itu. * * Pria itu mencoba untuk tetap tenang, walaupun pikirannya terus tertuju pada seseorang yang tak berada di sisinya. Entah mengapa wajah Reva selalu ada dalam bayangannya. Suara istrinya yang sedang berbicara hanya terdengar samar baginya. Seperti angin yang berhembus kemudian menghilang. "Mas?" Vivi menyentuh tangannya. "Hah? Ya, apa?" pria itu tergagap. "Kamu melamun? Ada apa?" "Melamun? Tidak. Aku haya sedang memikirkan sesuatu." "Memikirkan apa?" Abim terdiam menatap wajahnya. "Ini bahkan sudah dirumah, Mas. Jangan selalu memikirkan pekerjaan." Vivi menyuapkan makannya. "Hmm... "Makanlah, dari tadi kamu hanya mengaduk-aduk makananmu saja." lanjutnya, yang melirik piring milik suaminya yang masih penuh. Abim menunduk untuk melihat, dan lagi-lagi pikirannya tertuju pada Reva. Sedang apa dia disana, dan... Apakah gadis itu sudah makan? Dia ingat tak meninggalkan apapun di aprtemennya saat pergi. Selain makanan sisa dan beberapa camilan yang dibelinya. "Sepertinya aku sedang tak selera hari ini. Aku selesai." pria itu bangkit, dan menghambur ke kamar mereka sementara Vivi menatap heran. *** Abim segera mengambil ponselnya dari dalam laci nakas disamping tempat tidur, bermaksud untuk melakukan panggilan. Tapi dia baru ingat, kalau tak memiliki nomor ponsel gadis itu. Tiba-tiba saja dirinya kembali merasa khawatir. Tapi untuk pergi kesana sekarang ini tidak mingkin. Keberadaam Vivi yang tidak dia duga menghalanginya untuk pergi. Jika nekadpun pasti akan menimbulkan masalah serius nantinya, dan itu harus dia hindari. Akhirnya Abim hanya bisa melakukan pemesanan makanan secara online yang pengirimannya dia tujukan ke apartemen pribadinya. "Kamu tidak apa-apa Mas?" perempuan itu muncul setelah beberapa saat. Tepat ketika Abim meletakan kembali ponselnya diatas nakas. "Hanya tidak enak badan." jawabnya, dan dia menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. "Kamu sakit?" Vivi mendekat kemudian naik ketempat tidur. Dia merangsek ke dekat suaminya lalu mengulurkan tangannya untuk menyentuh kening pria itu. "Tidak panas?" "Sudah aku katakan aku hanya lelah." "Mau tidur sekarang?" "Mungkin." "Baiklah, tapi ada yang harus aku selesaikan sedikit dibawah. Nanti aku kembali." Vivi kembali turun dari tempat tidur. "Baik." "Tidak apa-apa aku tinggal sebentar?" "Pergilah." "Baik Mas." dan perempuan itupun keluar dari ruangan tersebut. * * Reva menatap makanan yang baru saja diantar seorang kurir kepadanya. Namun dirinya sedang tak berselera makan hari ini. Rasa mual tentu saja langsumg menyerang indra perasanya setiap kali dia mencium bau makanan tersebut. Dan hal itu cukup menyiksa, karena membuatnya berkali-kali lari ke kamar mandi dan muntah-muntah lagi. "Jangan menyiksa ibu seperti ini nak, kita sendirian." dia menyentuh perutnya sendiri. Reva menatap wajahnya di cermin, dan tiba-tiba saja air mata mengalir dari netranya. Tiba-tiba saja hatinya merasa sedih, namum dia tak mengerti. "Aku menerimamu apapun yang terjadi. Aku tidak akan membiarkan hal buruk terjadi kepadamu. Jadi aku mohon kuatlah demi aku. Kita bersama-sama dalam hal ini." kedua tangannya kembali menyentuh perutnya secara bersamaan. Sejak mengetahui dirinya mengandung, gadis itu langsung saja merasa memiliki mahluk kecil di dalam sana. Meski rasa takut dan kebingunan sempat menguasai, tentang bagaimana dirinya akan menjalani hidup setelah ini. Seorang diri, dengan bayi dalam kandungan. Tanpa perlindungan, tanpa apapun yang dia miliki, bahkan tanpa ayah dari bari bayinya yang menolak secara terang-terangan kehadirannya karena suatu keadaan medis yang dialaminya. Tapi dia merasa harus menerima keadaan ini dengan lapang d**a bukan? kesendiriannya tidak bisa dijadikan alasan untuk menolek bayi tak berdosa ini. Dan bukankah sejak dulu dia memang sendirian? tapi dirinya mampu hidup hingga sekarang bukan? Dirinya yakin kali ini lun bisa. Apapun akan dia lakukan untuk menyelamatkan anak dalam kandungannya. Kalaupun setelah hasil tes DNA itu keluar dan Abim tetap tak mau menerimanya, dia akan berjuang sendirian, seperti yang dikatakannya tempo hari. "Bersabarlah Reva, hanya satu atau dua minggu. Setelah ini kita akan bebas. Yang kau perlukan haya bersabar sedikit." dia berbicara pada dirinya sendiri. * * Dua minggu kemudian ... Abim menatap pesawat yang baru saja lepas landas, yang ditumpangi istrinya dan beberapa kru dari pusat fashion tempat perempuan itu bekerja. Mereka menuju New York untuk menghadiri pagelaran busana internasional disana selama satu minggu penuh. Setelah yakin pesawatnya terbang, pria itu bergegas memacu kendaraannya menuju apartemen pribadi miliknya dimana Reva berada. Setelah subuh tadi dia mendapat kabar dari dokter Haidar bahwa hasil tes DNA yang dilakukannya dua minggu sebelumnya telah dia terima. Pria itu masuk kedalam ruangan sepi bak tak berpenghuni. Apartemen miliknya tampak hening, tak ada tanda-tanda kehidupan. Gadis itu tak terlihat berada disana. "Reva?" dia berteriak, dan matanya menatap sekeliling, namun sosok itu tak ada di tempat. "Reva!!" dia berteriak lagi, tetap tak ada sahutan. Abim berjalan cepat menuju kamar untuk mencari keberadaannya, namun diapun tertegun begitu berhasil menerobos kedalam sana. Reva pun tak disana. "Sial, Reva!!" dia berteriak kencang dengan wajah memerah. Rasa marah menyeruak begitu saja mengetahui kemungkinan gadis itu kabur darinya. Abim segera keluar untuk mengejarnya, namun pemandangan tak biasa membuatnya terhenyak untuk beberapa saat. Gadis itu berdiri diambamg pintu balkon dalam keadaan basah. Dia hanya mengenakan pakaian renang dengan handuk yang menutupi bagian pinggang ke bawah. Titik-titik air bahkan masih berjatuhan diantara kaki telanjangnya. "Ya pak?" Pria itu membeku, otaknya tiba-tiba saja tak bisa berpikir, namun menatap Reva dalam keadaan seperti itu membuat hatinya berdesir-desir tak karuan. "Maaf, saya harus... " Reva berjalan kearahnya yang mematung di depan kamar. "Saya harus berpakaian." katanya, dan secara perlahan Abim bergeser untuk memberi jalan. *** Mereka tiba di rumah sakit dan langsung menuju ruangan dokter Haidar yang sudah menunggu sejak pagi. Abim bahkan dengan tidak sabarannya meminta dokter itu untuk segera menyerahkan hasil tes DNA kepadanya. "Kau yakin dengan hasilnya?" Abim sebelum membuka benda tersebut. Sebuah amplop besar yang masih tertutup rapat. "Yakin seyakin yakinnya." jawab Haidar dengan pasti. "Kau bisa menjamin hasilnya benar dan asli?" "Seribu persen aku jamin." "Baik, kau yang bertanggung jawab jika tak sesuai dengan pemeriksaanmu." ancamnya kepada taman semasa SMAnya tersebut. "Kau bisa pegang kata-kataku Bi." Kemudian pria itu membuka amplop dan dengan tidak sabarnya pula dia segera menarik isinya. Sebuah surat keterangan hasil pemeriksaan DNA dua minggu sebelumnya. Dia membacanya perlahan agar tidak terlewati setiap katanya. Meneliti paragraf demi paragraf yang tetera diatas kertas dan mencernanya dalam otak. Dan matanya terbelalak saat membaca paragraf terakhir, dimana keterangannya menyatakan bahwa janin yang ada dalam kandungan Reva adalah benar darah dagingnya. Abim terhuyung kebelakang, kemudian menjatuhkan bokongnya di kursi. Tubuhnya tiba-tiba terasa lemas, dan dia merasa tak berdaya. "Kau yakin dengan hal ini?" dia mendongak ke arah Haidar. "Kau bisa mengulanginya di tempat lain. Dua kali, tiga kali atau bahkan sepuluh kalipun. Tapi hasil akhirnya akan tetap sama." jawab sang dokter dengan sangat meyakinkan. Pria itu menarik dan menghembuskan napas secara perlahan kemudian mengalihkan pandangan kepada gadis yang duduk tertunduk disampingnya. "Dia... Anakku." katanya dengan suara bergetar. * * * Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD