Bab 3

1094 Words
"Sekarang bagaimana, Tuan?" tanya Devan. Keduanya sudah berada di apartemen. Sepanjang perjalanan tak ada hal yang dibicarakan, keduanya masih terlalu shock dengan apa yang baru saja dilihatnya. "Kita teruskan penyamaran ini, Dev! Kita buat rencana baru. Tak ada lagi yang aku percaya selain dirimu. Coret semua nama yang sebelumnya kita anggap sebagai kawan!" Bara menatap kosong ke luar jendela. Setelah ayahnya meninggal sepuluh tahun yang lalu, hampir semua urusan perusahan di Indonesia di handle oleh Johan adik kandung ibunya, dan juga Rahardian, putra tunggal paman Anton, satu-satunya saudara kandung mendiang ayah Bara. Paman Anton meninggal dalam kecelakaan yang sama dengan Andreas, ayah Bara. Usia Bara yang waktu itu belum genap 18 tahun membuatnya tak bisa ditunjuk sebagai CEO perusahaan. "Baik, Tuan." Devan mengangguk. "Tapi dua minggu lagi Nyonya meminta Anda untuk pulang ke Indonesia? Bagaimana Anda akan menghadapi semua ini jika penyamaran masih dilanjutkan?" Bara menghembuskan nafas panjang. Ia lantas berbalik menatap pada Devan. "Itu sebabnya tugas kita semakin berat. Kita harus menemukan semua bukti sebelum hari perkenalan diriku di depan para dewan direksi." "Baik, Tuan!" Devan mengangguk mengerti. "Kau sendiri bagaimana? tak ada masalah selama bekerja di bagian marketing?" "Tidak, Tuan. Saya bisa menyesuaikan dengan baik." Bara manggut-manggut. "Oke! untuk sementara ini kita bekerja seperti biasa sambil mencari celah supaya bisa lebih dekat dengan Rahardian." "Baik, Tuan." _________________***____________________ Dua hari berlalu sejak Bara memergoki Johan pergi ke hotel bersama dengan Starla. Mungkinkah pamannya memiliki hubungan gelap dengan wanita yang menjadi tangan kanan Rahardian? Memang bukan hal tabu ketika seorang CEO memiliki wanita lain dalam kehidupannya. Apalagi rumah tangga Johan dengan Khaira yang sudah terjalin hampir lima belas tahun itu belum juga dikaruniai momongan. Tapi apa tak ada wanita lain? Di antara semua wanita cantik yang bisa ia dapatkan dengan mudah, mengapa pilihan harus jatuh pada Starla Monalisa? "BARA!! Kamu bisa gantiin Dimas mendampingi bu Mona presentasi, nggak?" suara Listy membuat Bara tersentak kaget hingga kacamatanya merosot ke samping. Wanita berusia empat puluh tahunan itu tiba-tiba menghampirinya dengan wajah kalut. "P-presentasi? Memangnya Dimas kenapa, Bu? dan kapan saya harus melakukan presentasinya?" tanya Bara bingung. Ia mencoba menyesuaikan dengan keadaan setelah hampir setengah jam menghabiskan waktu istirahat nya hanya dengan melamun. "Ayah Dimas kena serangan jantung, terpaksa dia mengantar ayahnya ke rumah sakit. Keadaannya genting--" "Harusnya Dimas nggak main pergi begitu saja, dong?! Dia harus bekerja profesional--" Plak! "Aduh!!" Bara menyentuh kepalanya yang baru saja di tampol oleh Listy. "Kerja ya kerja! tapi ini berhubungan dengan nyawa, Bar!! ini yang sakit ayahnya lho, bukan orang lain! Emang Kamu diem aja gitu kalau ayah Kamu yang kena serangan jantung?!" cecar Listy dengan mata melotot. "Kalau saya jadi Dimas, saya tetap profesional, Bu! kan bisa minta tolong orang lain buat ngurus ayahnya? Kelar rapat, baru deh nyusul ke rumah sakit," jawab Bara santai. Listy mengepalkan kedua tangannya dengan gregetan. "Kamu memang paling cocok kerja sama mak lampir!" ungkap Listy. "Udah, sekarang pelajari file ini. Waktu Kamu hanya sepuluh menit sebelum rapat dimulai. Paham?!" "Sepuluh menit?? busyeeeet!!! mana bisa bu Listy??!! Bara manusia, bukan mesin! Ck! Ck! Ck!" seloroh Rudi yang melongok di atas partisi pemisah meja kerjanya dengan meja Bara. "Sepuluh menit, ya? Hmm.. Hanya segini kan yang dipelajari?" Bara mengangkat file yang berisi sekitar tiga puluhan lembar kertas di tangannya. Rudy melongo menatap wajah santai Bara. "Bar!! itu file penting, bukan komik! palingan sepuluh menit Lo baru dapet sepuluh lembar!!" kelakarnya. "Bara nggak se bego Kamu, Rud!! buktinya baru sebulan kerja dia udah di promosikan jadi asisten bu Mona. Nah, Kamu? dua tahun kerja masih aja di bagian sales?! malu-maluin tau nggak? Kamu tuh harusnya jadi contoh buat para junior Kamu!!" sembur Listy. Bukannya marah, Rudy justru terbahak. "Lah!! di promosikan jadi asisten general manager emang keren sih, Bu! tapi kalau atasannya mak lampir, Maaf- Maaf, ya!! mending saya kerja di bagian sales marketing aja seumur hidup!" Rudy menautkan kedua tangannya seperti seseorang yang sedang pamit undur diri. "Huu!! Emang dasar Kamu nya aja yang nggak mampu!!" seru Listy kesal. "Udah, Bar! Kamu fokus pelajari powerpoint nya, nanti biar aku yang bilang ke bu Mona kalau Kamu yang bakal gantiin Dimas presentasi." Listy kembali fokus pada Bara. "Baik, Bu!" jawab Bara. Ia mulai membuka file dan mempelajarinya. "Bagus! aku harus menunjukkan kemampuanku di depan mereka. Dengan begini kuharap ada celah untuk membongkar kecurangan yang Kau lakukan, Rahardian!" Bara mengepalkan tangannya dengan yakin. _________________***____________________ Riuh tepuk tangan memenuhi ruang meeting. Semua orang terpana melihat penampilan sempurna dari Bara. Bahkan Starla dibuat melongo melihat pria culun menyebalkan itu menyampaikan presentasi dengan sangat apik dan yang pasti sangat meyakinkan para investor. "Hmm!! Keren juga nih, bocah!" gumam Starla. Meeting akhirnya berakhir. Semua orang pergi meninggalkan ruangan. Kini hanya menyisakan Rahardian dan Starla saja di ruangan tersebut. "Mona! Apa dia asisten baru yang Kau ceritakan waktu itu? Hebat!! Kau memang tak pernah salah merekrut seseorang!" Rahardian mengacungkan jempolnya ke arah Starla. Starla menelan saliva kemudian menampakkan senyum riangnya. "Benar sekali, Pak! dia asisten baru saya. Meskipun penampilannya kampungan, tetapi skill nya tak perlu di ragukan lagi..." jelas Starla diakhiri dengan tawa canggung. "Aku percayakan proyek ini padamu. Jika banyak investor tertarik, ku berikan bonus tiga kali lipat dari gaji bulanan mu!" "Tiga kali lipat??" mata Starla membulat sempurna. Jika digambarkan seperti ada simbol dollar di bola mata Starla saat ini. Cuan!! Cuan!! "Siap, Pak Rahardian! saya akan melakukan yang terbaik!" ucap Starla yakin. Keluar dari ruang meeting, Starla langsung menuju ke bagian advertising. "Selamat sore bu Monaaaa!!" sapa hampir semua karyawan yang selalu memasang wajah palsu mereka di depan Starla. "Sore!" Starla melambaikan tangannya dengan centil. "Ada yang bisa ngasih tahu letak meja Aditya Kumbara??" tanya Starla masih dengan gaya kemayu yang membuat para wanita ingin muntah melihatnya. "Pas di depan Anda, Bu!" seru Rosi lantang. Menunjuk meja di depan Starla. Perlahan Bara berdiri sehingga separuh tubuhnya terlihat oleh Starla. Wanita itu mendekat dengan langkah bak model papan atas. "Hai Kamu si pikat! mulai besok pagi Kamu pindah ke ruanganku!" Setelah mengatakan hal itu pada Bara, Starla keluar begitu saja. "Si pikat? apa maksudnya?" tanya Bara dengan wajah polos. "Otak Lo emang encer sih, Bar! tapi masa pikat aja Lo nggak ngerti!! Ahahahaha!!" seloroh Rudy diiringi tawa karyawan lain. "Betewe Gue ikut berdukacita atas kepindahan Lo ya, Bar! Lo musti kuat!" "Lo pasti bisa. Semangat!!" "Gaji Lo emang bakal naik, Bar! tapi gue harap tingkat ke stress an Lo nggak ikutan naik." Para karyawan bergantian menyalami Bara, seolah pria itu akan maju ke medan perang esok hari. Orang lain mungkin berduka, tetapi tidak dengan Bara, pria itu justru tersenyum bahagia dalam hati. Yess!! aku berhasil!! (Next➡)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD