Bab 5

1455 Words
Bara sekali lagi menatap tampilan wajahnya di depan cermin. Kemeja berlapis vest rajut, kacamata berbingkai tebal, dan tahi lalat sebesar biji jagung sudah tertempel di atas bibirnya. "Anda yakin tahi-nya sudah melekat erat, Tuan?" tanya Devan. Pria itu mengamati Bara dari belakang punggungnya. "Ta--hi??" Bara menoleh dengan tatapan tak terima. "Iya. Maksud saya--tahi lalat," jawab Devan seraya menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. "Lain kali jangan setengah-setengah menyebutnya. Kau membuatku makin jijik pada benda kenyal ini." Bara kembali menata tahi lalatnya supaya tertempel pada posisi yang benar. "Saya sudah menyarankan untuk menempelnya di pipi, dagu, atau hidung, tetapi Anda bersikeras menempelkannya di atas bibir. Hal itu membuatnya mudah terlepas ketika terkena hembusan nafas Anda." Bara bergeming. Ia masih sibuk menempelkan benda kecil yang khusus ia pesan dari ahli replika wajah itu. "Semua ini ada maknanya, Dev. Menurut primbon Jawa : Orang yang memiliki tahi lalat di bibir bagian atas memiliki sifat cerdas. Tak hanya itu, konon orang tersebut juga akan dipermudah dalam mencari sumber rezeki sehingga kelak hidup makmur dan sejahtera. Paham?!" tegas Bara yang mengutip kata-kata dari internet. "Saya paham." Devan mengangguk tanda mengerti. Bara bukanlah lawan yang tepat untuk diajak berdebat sehingga Devan memilih mengalihkan pembicaraan. "Sudah jam 06.35. Saatnya Anda sarapan dan berangkat ke kantor, Tuan." "Oke!" Bara bergegas menuju mobil. Sejak sebulan yang lalu Devan dan Bara menjalani rutinitas pagi yang sama setiap harinya. Devan mengantar Bara ke kantor baru menuju ke perusahaan D.A Company II ( D.A Mall). Jika Bara menyamar sebagai karyawan, maka tidak dengan Devan. Pria itu benar-benar bekerja sebagai dirinya sendiri. Awalnya Devan melakukan hal ini hanya untuk mendampingi Bara yang sedang dalam penyamaran, tetapi setelah memergoki Starla ke hotel dengan Johan beberapa waktu yang lalu, Devan memiliki misi baru untuk mengungkap hubungan apa yang terjalin antara wanita itu dengan Johan. "Thanks Dev! nanti malam jemput aku seperti biasa," kata Bara ketika hampir sampai di depan kantor. "Baik, Tuan!" Mobil Devan perlahan menjauh. Bara sengaja turun beberapa meter di luar kantor untuk menghindari kecurigaan karyawan lain jika sampai ada yang mengetahui mereka. Namun sepertinya memang tak ada yang peduli, Bara hanyalah figuran di dalam perusahaan. Selama ini tak ada yang peduli ataupun membuatnya peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Gosip, teman, musuh. Bara tak mau tahu tentang semua itu. Tujuannya datang ke perusahaan hanya satu : Membongkar kecurangan yang dilakukan oleh Rahardian! Namun, Bara tak menyadari satu hal. Ketika karir seseorang naik, otomatis dia akan menjadi pusat perhatian rekan-rekan di bawahnya. Apalagi jika atasan mereka adalah Starla Monalisa, wanita paling menyebalkan di tempat itu. "BARA!!" Bara tersentak oleh suara seseorang yang memanggilnya. Ia melirik ID Card yang menggantung di depan tubuh pria itu. Tertera nama : Deni. Deni yang berjalan bersama Rosi tiba-tiba menggelayutkan lengannya pada leher Bara, membuat Bara menggeliat risih. "Sial! Memangnya siapa dia? main rangkul-rangkul sembarangan!!" batin Bara kesal. "Busyet!! Lo tinggi banget sih, Bar!!" Deni mendongak menatap wajah kesal Bara. "Hai, mengapa mukamu seperti itu? Kau marah?!" tanya Deni, kaget dengan ekspresi Bara. "H-hai! Tidak! untuk apa aku marah?!" jawab Bara cepat sambil menggeser tubuhnya agar lengan Deni terlepas. "Eh! Lo naik apa ke kantor, Bar?" tanya Rosi yang kini berjalan mengimbangi. Dari enam orang yang bekerja satu bagian dengan Bara, hanya Rudy dan Rosi saja yang Bara kenal. Mengapa? Karena Rudy adalah pria paling kocak di divisinya. Terkadang ide-ide Rudy terdengar gila meskipun bisa dibilang sangat kreatif. Beda lagi dengan Rosi, dia terkenal sebagai wanita yang hobby ngutang, tapi malas membayar. Adanya tagihan yang hampir setiap hari datang ke bagian Advertising membuat Bara mau tak mau mengetahui masalah rumit wanita itu. Jika ada wanita yang harus dihindari di dunia ini, jawabannya adalah Rosi dan Monalisa. "Aku? Emm-- tadi bareng sama teman," jawab Bara. "Dari awal gue liat Lo selalu berjalan dari arah sini. Gue pikir Lo kost di sekitar sini, Bar!" Bara tak banyak bicara, ia hanya menanggapi pertanyaan yang mengarah padanya. Dia tak mau tahu dengan apa yang dibicarakan oleh orang-orang di sekitarnya. "Eh, Den! Lo denger nggak?! kemarin pak Rahardian mabuk lagi padahal hari ini ada meeting penting di kantor!" ujar Rosi. "Dan terjadi lagi... Kisah lama yang terulang kembali.." Deni menanggapi ucapan Rosi dengan lirik lagu pop milik Noah/Peterpan. (Judul : Separuh Aku. Bacanya sambil nyanyi yah!! hehe). Sedangkan Bara? Ia hanya tersenyum kecut mendengar perkataan Rosi. Sejak sebulan bekerja di tempat itu, lebih dari sepuluh kali Rahardian absen meeting karena alkohol. Begini kah tanggung jawab mu sebagai pemegang perusahaan?? "Bar, ngopi dulu!" Deni menarik lengan Bara menuju ke kantin di sebelah kantor. "Eh, tapi aku tidak biasa--" "Alahh!! santai aja, Bro! Kita ngopi dulu supaya otak makin encer!!" Deni terus menggiring tubuh Bara ke kantin. Terpaksa Bara menuruti ajakan dua teman yang tak pernah ia anggap sebagai teman itu. Di kantin, Deni dan Rosi terus mengobrol kesana kemari tiada henti. Ngopi bersama mereka yang bertujuan agar otak encer justru membuat otak Bara mulai mendidih. "Mending nge game dari pada ngopi sama mereka, Fuhh!!" gerutu Bara dalam hati. Seandainya Bara tak menyayangi lidahnya, ia sudah menghabiskan kopi itu dalam sekali teguk supaya moment menyebalkan ini segera berakhir. Sepuluh menit berlalu, ketika Bara akhirnya mulai bersahabat dan menikmati kopinya, Deni dan Rosi mendadak bangkit dengan kalut. "Woi!! udah jam 07.25!! telat semenit gaji dipotong seratus ribu, Bro!!!" "Lo, sih?! pake ngajakin ngopi segala!!" balas Rosi. Keduanya menghabiskan sisa kopi lalu menyambar gorengan dan bergegas pergi begitu saja dari Bara. "Eh?!! Kalian mau kemana?" tanya Bara. Deni dan Rosi menoleh bersamaan. "Ya kerja, lah Bar!!" sahut Deni. "Lha terus ini gimana? Kalian belum bayar--" "Bayarin dulu, Bar! ntar gue ganti kalau inget!!" jawab Rosi sambil melambaikan tangan tak peduli pada Bara. "BRENGS--" hampir saja Bara mengumpat, tetapi segera menahannya ketika melihat wajah si penjual. "Karyawan baru ya, Mas?" tanya si pemilik warung. "Sudah sebulan sih, Pak." "Saya baru lihat sampeyan hari ini. Lain kali jangan mau barengan sama mereka. Ya gitu, suka ngutang sembarangan. Semua penjual disini udah pada kena getahnya, Mas!" curhat si penjual dengan wajah kesal. "Oh, iya Pak! semua berapa?" "Dua ratus lima puluh ribu, Mas." "Hah?!" Bara terbelalak kaget. Jelas kaget. Perasaan mereka hanya minum tiga cangkir kopi dan beberapa gorengan. Lalu mengapa harganya sampai ratusan ribu? Rasa kopinya memang nikmat, tapi masa iya secangkir lima puluhan ribu?? "Pak, nggak salah hitung kan?" tanya Bara memastikan. "Nggak, Mas. Ini tadi bu Rosi bilang suruh sekalian notalin hutang mereka sebulan ini, mau di lunasin!" Mau dilunasi?? Lah kenapa orangnya malah pergi?! Masa iya Bara yang harus membayar hutang wanita itu?? "Tapi Pak, saya kan--" Bara ingin sekali protes, tetapi melihat wajah memelas bapak pemilik warung membuat dia tak tega. Ia mengeluarkan dompet lalu mengambil beberapa lembar uang. "Ini pak. Saya lunasi. Kembaliannya Bapak ambil saja." Bara menyodorkan uang tiga ratus ribu pada si bapak. "Makasih ya, Mas!" Tangan Bara digenggam erat oleh si pemilik warung. "Sama-sama, Pak! Lain kali usir aja mereka kalau kembali kesini!" "Siap, Mas!!" Bara kembali berjalan menuju kantor. Ketika memasuki lift, ia melirik pada jam di tangannya. Hmm.. Sisa dua menit. Pintu lift terbuka, Bara segera berlari menuju ruangan baru tempatnya mulai bekerja hari ini. Bara berhenti di depan pintu bertuliskan : Ast. General Manager Room. Sejenak dirinya mengatur nafas yang tersengal. Tangannya mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Sekali lagi Bara mencoba mengetuk pintu. Masih tak ada jawaban. Ia memberanikan diri membuka pintu tersebut. Sunyi. Tak ada siapapun di dalam ruangan. Oh! jadi si mak lampir belum datang. Baguslah!! Bara melenggang masuk dengan langkah ringan. Ia menaruh tas jinjing di atas meja bertuliskan asisten. Ketika Bara hampir menjatuhkan bok0ngnya di atas kursi, terdengar suara di dalam ruangan. "Terlambat dua menit!" Bara urung duduk. Ia mencari-cari si pemilik suara yang tak terlihat. Beberapa saat kemudian suara sepatu terdengar berjalan semakin mendekat. Deg! Wajah menor dengan lipstik merah darah muncul di balik tembok. Bara baru menyadari ada ruangan lain di tempat itu. "Ma-af Bu Mona. Macet. Saya siap dipotong gaji," ucapnya seraya menunduk. Starla berjalan mendekat. " Potong gaji??" Bara mengangkat wajahnya. Ya! Bukankah Deni tadi mengatakan telat semenit di potong ratusan ribu? "Baca peraturan kerja di atas meja Kamu!" Starla menunjuk kertas di atas meja Bara. "Fokus ke point lima!!" imbuh Starla dengan suara dingin. Bara membenarkan kacamatanya lalu membaca kertas di atas meja. Bara menelan saliva. Seketika mulutnya melongo kaget. "Baca yang keras!" perintah Starla. "Point lima : Dilarang terlambat! Konversi satu detik keterlambatan sama dengan satu menit tambahan waktu lembur di hari yang sama." Seketika otak Bara dipenuhi dengan angka-angka bak kalkulator hidup. Pagi ini dirinya terlambat dua menit. 2 menit = 120 detik 120 detik = 120 menit (konversi waktu menurut aturan Starla) Jadi, hari ini Bara harus lembur dua jam sebagai hukuman atas keterlambatannya pagi ini. "The Real Mak Lampir!!" Umpat Bara dengan gigi bergeletuk. (Next➡)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD